SALAM PAPUA (TIMIKA) - Maraknya dugaan praktik
politik uang pada pelaksanaan Pemilu 14 Februari 2024 lalu di Kabupaten Mimika
dinilai menutup peluang bagi putra-putri Orang Asli Papua (OAP) khususnya suku Amungme
dan Kamoro untuk duduk di kursi legislatif Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua Tengah.
Melihat fenomena ini, Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme
(LEMASA) pimpinan Menuel Jhon Magal meminta agar Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dan Panitia Pemilihan Umum Distrik (PPD) agar berani menentang dan menggugat praktik
politik kotor tersebut hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK) demi hak politik OAP.
Menuel Jhon Magal dengan tegas menyampaikan bahwa secara
umum Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua adalah
kebijakan afirmatif dengan pemberlakuan diskriminasi khusus. Padahal kebijakan
Otsus tersebut oleh negara supaya ada keseimbangan antar pendatang dan orang
asli, namun Otsus jilid I telah gagal dan kemudian muncul Otsus jilid II yang
juga dipenuhi berbagai macam kecurangan bagi OAP.
"Kita tahu Otsus jilid I telah gagal dan muncul lagi
Otsus jilid II yang juga gagal. Seperti yang telah kita ketahui, meski banyak
masyarakat Papua yang menolak, tapi pemerintah pusat sengaja paksakan membentuk
daerah otonomi baru (DOB) dan Otsus jilid II dengan undang-undang nomor 2 tahun
2021. Dalam Otsus jilid II ini mengatur supaya OAP bisa setara dengan non OAP
di atas tanah Papua, tetapi nyatanya pelaksanaan Pemilu saat ini sangat tampak
bahwa hak politik OAP tidak terakomodir," ungkapnya kepada salampapua.com,
Selasa (20/2/2024).
Dia mengatakan, praktik politik uang (money politics) sangat
terlihat pada Pemilu 2024, sehingga benar-benar tidak memberi kesempatan bagi
OAP, sedangkan Caleg non OAP bisa bermain uang untuk menempati kursi dewan.
Karena itu, jika hasil Pemilu 2024, secara keseluruhan kursi
dewan diduduki oleh warga non OAP, maka itu membuktikan bahwa kebijakan negara
sengaja mengambil alih semua hak OAP.
"Itu berarti sengaja membuka peluang orang non OAP yang
datang menduduki jabatan sebagai PNS,
anggota dewan dan menduduki jabatan Bupati di tanah Papua. Itu berarti, setelah
hak ekonomi dikuasai, maka hak politik OAP juga dikuasai dan tidak adil bagi
OAP," katanya.
Dalam undang-undang Otsus nomor 2 pasat 28 ayat (3) dan ayat
(4) mengatur bahwa setiap partai politik (Parpol) wajib mengkaderkan OAP untuk
maju berkompetisi serta wajib berkonsultasi dengan Majelis Rakyat Papua (MRP).
Namun yang saat ini terjadi adalah calon legislatif dari setiap Parpol disahkan
mendahului pelantikan anggota MRP.
"MRP dilantik setelah Caleg Parpol ditetapkan, berarti ada
unsur politik. Harusnya tidak bisa seperti itu," tegasnya.
LEMASA menegaskan agar sebelum pleno hasil pemilihan anggota
legislatif Kabupaten dan Provinsi Papua Tengah dilaksanakan, harus dilakukan
pertemuan bersama antara KPU, Bawaslu, PPD, TNI-Polri dan LEMASA demi
mempertimbangkan porsi bagi putra-putri Amungme dan Kamoro.
"Kita harus duduk bersama karena ini menyangkut hak
politik OAP termasuk anak Amungme dan Kamoro. Hasil Pemilu yang saat ini
terjadi adalah atas sistem transaksional sehingga banyak putra-putri Amungme
dan Kamoro yang tersingkir," jelasnya.
Lebih lanjut dia meminta KPU, Bawaslu dan DPP agar tidak
takut jika ada temuan penumpukan suara dan politik uang yang marak terjadi,
karena MRP dan Lembaga Adat siap bersama-sama mendorong demi pemenuhan hak
politik OAP.
"KPU dan PPD jangan takut untuk gugat perolehan suara hasil
politik uang. Orang non Papua itu tidak punya hak untuk monopoli. Status Otsus
berarti ada kekhususan, sehingga KPU dan PPD jangan takut menetapkan
putra-putri orang lokal," ujarnya.
Porsinya perolehan kursi harus 80% OAP dan 20% pendatang,
baik yang menduduki kursi anggota dewan Provinsi maupun di Kabupaten.
"LEMASA harapkan supaya pleno penetapan hasil pemilihan
memprioritaskan orang lokal. Terserah dengan upaya penggelembungan suara, tapi
hak putra-putri lokal harus terpenuhi," tegasnya.
Hal senada juga
ditegaskan tokoh masyarakat Amungme sekaligus pengurus LEMASA, Yanes Natkime
bahwa KPU dan Bawaslu harus tegas menentang upaya politik uang dalam merebut
kursi di DPRD Mimika. Sebab dengan politik uang, maka putra-putri Amungme dan
Kamoro sudah pasti kalah, karena tidak punya uang. Sementara pendatang datang
membangun bisnis dan mengumpulkan uang untuk kemudian bermain politik dan
membeli suara untuk memboikot jabatan yang harusnya diduduki putra-putri orang
asli Papua (OAP) khususnya orang Amungme dan Kamoro.
Karena itu, tahun ini harus beri kesempatan bagi putra-putri
Amungme dan Kamoro, sehingga kecemburuan tidak terjadi terus menerus.
"Semua suku bangsa boleh saja datang cari nafkah di
Timika, tapi bukan berarti berupaya memboikot atau menguasai jabatan, baik
anggota DPRD, Bupati atau jabatan lainnya. Harus bisa menghargai dan memberi
kesempatan kepada masyarakat setempat khususnya dua suku asli dan lima suku
kekerabatan," tegasnya.
Yanes mengungkapkan, pemboikotan hak bagi masyarakat asli sudah
terjadi sejak lama, namun anggota DPRD yang lama menjabat juga terkesan berdiam
diri.
"Banyak anggota dewan yang selama ini menjabat tidak
berbuat apa-apa, khususnya kalau ada masalah bagi masyarakat asli,"
katanya.
Sedangkan Direktur Eksekutif LEMASA, Fransiskus Pinimet mengingatkan
supaya penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU, Bawaslu dan PPD tidak perlu
takut, karena LEMASA siap mendorong demi keadilan dan hak politik bagi OAP
khususnya anak asli Amungme dan Kamoro serta lima suku kekerabatan.
Menurut Fransiskus, jika 80% non OAP yang menduduki kursi
DPRD Mimika, maka Otsus jilid II hanya upaya menyingkirkan OAP dan jauh lebih
baik UU Otsus dikembalikan ke Jakarta.
"UU Otsus itu full berikan peluang bagi OAP sehingga
hak OAP harus diperjuangkan. Permainan politik memang sudah sangat jelas karena
Caleg-Caleg disahkan untuk berkompetisi baru anggota MRP dilantik,," tegas
Fransiskus.
Penulis: Acik
Editor: Jimmy