SALAM
PAPUA (TIMIKA) - Sejumlah Kontraktor yang merupakan
orang asli Papua (OAP) di Timika mengaku tidak kebagian proyek karena diduga
adanya praktik nepotisme yang diterapkan di beberapa OPD lingkup Pemkab Mimika,
Provinsi Papua Tengah.
Kontraktor OAP, Michael Yesaya Adadikam
menyebutkan saat ini masih banyak Dinas yang tidak transparan dalam pengelolaan
proyek PL. Hal ini menurut dia patut diduga adanya praktik nepotisme sehingga
proyek PL diberikan kepada kroni ataupun keluarga dekat pejabat terkait.
"Itu kan sama dengan korupsi karena
meskipun regulasinya jelas tapi praktiknya lain. Kalau sudah begini
berarti ada praktik nepotisme," ujarnya.
Disampaikan bahwa di setiap OPD ada paket
kegiatan PL, namun masih ada OPD-OPD yang menutup diri. Karena itu diharapkan
setiap OPD harus transparan, mengingat regulasi terkait proyek PL sangat jelas
bahwa proyek dengan anggaran Rp 1 Miliar ke bawah harus dikerjakan oleh OAP
melalui penunjukan langsung, berarti wajib hukumnya proyek dimaksud diberikan
kepada OAP.
"Memang ada beberapa Dinas yang sangat
terbuka dan melayani kami, tetapi masih ada Dinas yang sangat tidak transparan.
OPD terkait selalu memberi alasan bahwa proyeknya telah ditutup, menunggu
ketentuan pimpinan serta alasan lainnya yang sulit dipercaya," ungkapnya.
Michael mengatakan, kontrak OAP yang terdata
pada Sistem Informasi Pelaku Usaha Timika (Siput) di LPESE 2024 terdapat
sekitar 700, sedangkan jumlah 6000 paket kegiatannya PL.
"6000 paket itu kalau dibagikan ke
kontraktor OAP, maka bisa dipastikan tahun ini tidak akan ada Sub lagi bagi
kontraktor OAP, karena jumlah paketnya sangat besar dan jumlah kontraktor OAP
sedikit saja," katanya.
Jika memang di OPD-OPD telah dipasang orang
lain, maka diharapkan bisa dialihkan ke kontraktor OAP. Demikian juga jika
dikarenakan adanya kepentingan pejabat tertentu, diharapkan tidak menabrak
aturan yang telah ditentukan oleh negara untuk OAP.
Mengakhiri keluhannya, ia berharap agar
seluruh OPD agar membuka diri terhadap OAP, baik OAP yang kontraktor mandiri
ataupun asosiasi. Sebab setiap kontraktor OAP yang berjuang mendapat proyek
merupakan kontraktor yang berbadan hukum dan bertujuan mulia membangun Mimika.
"Kami tidak permasalahkan kalau misalnya
kegiatan-kegiatan PL itu diberikan kepada sesama kontraktor OAP, tapi kami
sangat kecewa kalau itu diberikan kepada yang bukan OAP, karena itu porsinya
OAP," tegasnya.
Hal ini juga dibenarkan kontraktor OAP asli
suku Kamoro, Rony Nakiaya. Rony menyebutkan bahwa pihaknya akan terus
mendatangi OPD-OPD yang masih menutup diri untuk OAP agar OPD tersebut bisa
mengikuti aturan yang ada.
Sebenarnya menurut dia, kontraktor OAP sangat
bisa berkompetisi, akan tetapi ruangnya ditutup oleh kepentingan dan praktik
nepotisme.
Di sisi lain Rony memberikan apresiasi kepada OPD-OPD
yang selama ini membuka diri kepada OAP, dan diharapkan dpat menjadi contoh
bagi OPD lain.
"Kami sangat apresiasi kepada OPD-OPD yang
selama ini telah membuka diri dengan kami sebagai OAP. Ke depannya kami akan
datangi OPD lain yang terkesan takut dengan atasan," ujarnya.
Kontraktor OAP lainnya, Emus Kogoya mengatakan,
regulasi yang telah diketahui oleh seluruh orang Papua ialah proyek yang
bernilai Rp 1 Miliar ke bawah harus diberikan kepada OAP tanpa melalui proses
lelang.
"Sekarang ini regulasinya sudah berubah
dan penambahan, jadi nilainya di bawah Rp 2,5 Miliar itu PL bagi OAP,"
ujar Emus yang juga menyampaikan apresiasi kepada OPD-OPD yang selama ini mengakui
keberadaan kontraktor OAP.
Ia juga mengharapkan supaya OPD yang belum
memberi hak OAP agar bisa membuka diri. Sangat disayangkan selama ini OPD-OPD tersebut
hanya memberi alasan yang dinilainya sangat aneh. Seperti alasan lainnya
ialah penunjukan PL telah ditutup, padahal ini baru bulan Mei. Alasan ini
dinilainya sebagai bentuk upaya menutupi permainan atas kepentingan pribadi
atau oknum tertentu.
"Kami sebagai OAP juga bisa kalau dikasih
proyek bersih-bersih jalan, tapi kenapa kami diremehkan? Kami hanya meminta hak
kami yang sesuai regulasi itu," tegasnya.
Sedangkan kontraktor OAP Firsa Lokobal mengaku
kecewa dengan pejabat Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan
(DKP2). Sebab dirinya telah berupaya menemui Kepala OPD dan Kabid pada Dinas
terkait, namun tidak bisa memberi jawaban apa-apa.
Firsa menduga pejabat OPD terkait tidak
mampu memberi jawaban lantaran mendapat intervensi dari atasan, faktor politik
atau karena telah ada pemain khusus yang dipercayakan untuk menangani proyek PL
bagi OAP.
Sebagai kontraktor, dirinya mengaku siap
membagi fee kalau memang OPD terkait mempertimbangkan terkait fee, namun harus
diberi kepercayaan menangani proyek khusus paket pembangunan perumahan.
"Kepala OPD sebagai pengelola
anggaran tidak bisa menjawab apa-apa. Saya menduga tidak bisa memberi
jawaban karena takut, entah itu karena mendapat intervensi dari atasan
atau kah faktor politik dan telah ada pemainnya," ujarnya.
Dengan tegas ia berharap agar Pemkab
Mimika tidak menilai bahwa setiap kontraktor OAP itu sama, dimana ketika
ada satu kontraktor OAP yang gagal, maka semuanya gagal.
"Kami akui memang ada kontraktor OAP lain
yang ketika dapat proyek, lalu tidak kerja dan ada yang hanya dapat fee tapi
tidak kerja. Namun, jangan samakan kami semua dengan kontraktor yang
gagal," tegasnya.
Penulis: Acik
Editor: Jimmy