SALAM PAPUA (TIMIKA) – Ada perbedaan pelaksanaan kampanye di saat Pilkada nanti dibandingkan saat Pemilu beberapa waktu lalu.

Hal ini diungkapkan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini,S.H,M.H, pada Seminar Peraturan Pemilihan Tahun 2024 yang digelar Bawaslu Kabupaten Mimika, di ruang pertemuan hotel Swiss-Bellin Timika, Sabtu (15/6/2024).

Dosen tidak tetap bidang Hukum Tata Negara dan juga sebagai mahasiswa Doktoral di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menjelaskan bahwa tantangan kampanye di Pilkada jauh lebih besar karena UU Pilkada disusun sebelum UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, dimana definisi kampanye di UU Pilkada jauh lebih terkebelakang.

Di UU Pemilu nomor 7 tahun 2017, Definisi kampanye disebutkan adalah kegiatan peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta Pemilu. Disebutkan “dan/atau” yang bersifat alternatif, artinya ada salah satu dari empat hal tersebut sudah disebutkan kampanye.

Sedangkan di UU nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan Perppu nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU, atau yang biasanya dikenal sebagai UU Pilkada, definisi kampanye disebutkan adalah kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program calon Gubernur, calon Bupati, dan calon Walikota. Disebutkan “dan” yang bersifat kumulatif, artinya melakukan ketiga hal tersebut baru disebut kampanye.

Tantangan lainnya, di UU Pemilu, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), kampanye boleh dilakukan hanya di tingkat Perguruan Tinggi, tapi pendidikan di bawah Perguruan Tinggi seperti sekolah atau madrasah tidak diperbolehkan. Sementara di UU Pilkada, kampanye dilarang di tempat-tempat pendidikan. Hal ini disebabkan yang pernah di uji di MK adalah UU Pemilu, sedangkan untuk UU Pilkada belum diuji atau belum mengalami perubahan.

Dia menambahkan masih terkait isu kampanye ini, terkait berkampanye pada Car Free Day (CFD), di dalam peraturan perundang-undangan, yang namanya membagi bahan kampanye makan dan minum diperbolehkan, tapi ada batasan harganya, yang diatur di PKPU. Termasuk transportasi juga boleh difasilitasi pada saat kampanye, tapi tidak boleh uang tunai. Masalahnya di saat Pemilu yang lalu itu tidak diakui, padahal hal tersebut merupakan bagian dari aktivitas kampanye yang menyangkut citra diri. Hal ini memang menjadi indikator perdebatan pada pelaksanaan kampanye di saat Pilkada nanti.

“(Pemasalahan-pemasalahan hukum ini) yang saat ini sedang diajukan judicial reviewnya oleh beberapa pihak. Jadi kita ini akan siap terkejut terus dengan keputusan-keputusan pengadilan, seperti keputusan Mahkamah Agung, misalnya soal batasan usia, dan keputusan-keputusan di MK. Jadi peserta Pilkada dan penyelenggara antenanya harus waspada untuk mencermati regulasi-regulasi baru (yang akan muncul ke depan),” ungkapnya.

Di sisi lain, saat menjawab pertanyaan peserta terkait permasalahan penyelenggara Pemilu, Dia pun tidak menampik bahwa memang hulunya ada di rekrutmen penyelenggara Pemilu. Jika rekrutmennya bagus, dimana penyelenggara Pemilunya kredibel dan berintegritas, itu berarti sudah mempunyai modal 50 persen dalam mewujudkan Pemilu yang berintegritas.

Titi mengatakan hal ini mengutip penelitian dari Holly Ann Garnett, seorang dosen di Royal Military College of Canada, yang menyebutkan bahwa modalitas Pemilu yang beritegritas sudah tersedia 50 persen jika penyelenggara Pemilunya berintegritas. Tapi jika hendak merusak Pemilu yang paling gampang, rusaklah penyelenggara Pemilunya.

“Jadi hasil evaluasi mendasar dari rekrutmen penyelenggara Pemilu adalah bagaimana kita kembalikan kepada “hitahnya”, yakni kapasitas, kompetensi dan integritas, karena ini profesi yang membutuhkan bukan sekedar jejaring tapi juga pengetahuan, keilmuan dan kredibilitas personalnya,” tegasnya.

Dalam hal ini, penyelenggara harus bersandar pada regulasi-regulasi formal dalam menjalankan tugasnya untuk menyukseskan Pilkada mendatang.

“Sementara jika ada ketidakpuasan sejumlah pihak (terkait regulasi tentang Pilkada), harus mengambil langkah menguji PKPU ke Mahkamah Agung atau menguji UU (Pilkada) di Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan tafsir sesuai dengan hal-hal yang menjadi aspirasinya,” tutupnya.

Penulis/editor: Jimmy