SALAMPAPUA (TIMIKA)- Kondisi geografis Provinsi Papua
yang bergunung dengan ketinggian mencapai 3.500 meter di atas permukaan laut
(MDPL) membuat kebutuhan moda transportasi udara sangat tinggi. Di sisi lain,
masih banyak kawasan di Papua yang belum terhubung akses transportasi darat.
Dengan kondisi tersebut, Papua memiliki landasan terbang
paling banyak di Indonesia, jumlahnya lebih dari 500 unit. Namun, sebagian
besar landasan terbang masih berstatus perintis yang belum teraspal sehingga
hanya sedikit pilot yang berani mendaratkan pesawat di lokasi tersebut.
Ditambah lagi, di sebagian daerah pegunungan Papua terdapat Kelompok Kriminal
Bersenjata (KKB) yang beberapa kali menembaki pesawat yang akan mendarat.
Penerbangan Jadi Kebutuhan Pokok di Papua
Ketua IPI Rama Noya menyampaikan, layanan penerbangan,
khususnya penerbangan sipil di wilayah pegunungan Papua menjadi misi
kemanusiaan bagi para pilot dan maskapainya. Masih banyaknya daerah yang hanya
bisa didatangi dengan jalur udara membuat seluruh kebutuhan masyarakat harus
dikirim menggunakan pesawat terbang.
Karenanya, Rama menegaskan, faktor keamanan menjadi sangat
penting agar para pilot dapat terbang dengan aman dan kebutuhan masyarakat bisa
terpenuhi. "Penerbangan sipil di Papua ini adalah kemanusiaan, kita
membantu masyarakat meningkatkan kesejahteraan ekonomi, memenuhi kebutuhan,
menjaga kesehatan, karena itu kita ingin pelayanan kepada masyarakat ini tidak
terganggu dan pilot serta penerbangan adalah aset masyarakat Papua, kita harus
jaga bersama-sama," tuturnya.
Hal senada juga
disampaikan oleh Pemilik SAM Air Wagus Hidayat yang menyatakan bahwa dunia
penerbangan perintis di Papua kerap mendahulukan faktor kemanusiaan dibanding
sisi bisnisnya. Tidak jarang mereka harus terbang ke wilayah yang tidak
memiliki infrastruktur penerbangan yang lengkap, bahkan tidak ada sama sekali,
karena harus menjemput warga yang sakit.
"Kami melayani penerbangan ini bukan hanya tentang
bisnis, tapi juga kemanusiaan. Kalau ada yang menghubungi lewat radio bahwa ada
orang sakit yang butuh dijemput, malah mereka (pilot) disandera, ini suatu hal
yang tidak manusiawi," tuturnya. Ia berharap para penerbang perintis di
Papua bisa mendapat jaminan keamanan agar mereka dapat bertugas dengan nyaman.
Banyak Bandara Tidak Aman
Ikatan Pilot Indonesia (IPI) mencatat, setidaknya para
penerbang di Papua sudah mendarat di 500 landasan yang sebagian besar berada di
wilayah pegunungan. Hanya sebagian kecil dari 500 lapangan terbang yang telah
memiliki perangkat pendukung hingga aparat keamanan, sehingga faktor
keselamatan para pilot tidak terjamin ketika akan mendarat. Hal ini pun diakui
oleh TNI AU yang juga terkendala dari berbagai hal sehingga tidak dapat
mengamankan seluruh bandara di Papua.
"Banyak sekali bandara yang belum ada pengamanannya,
tadi saja disampaikan ada sekitar 500 bandara di Papua, tapi dari 500 itu kita
bisa pilih-pilih, mana yang tingkat kerawanannya paling tinggi itu yang akan
diisi oleh keamanan," ujar Danlanud Silas Papare Marsekal Pertama Pnb
Mochamad Dadan Gunawan.
Dari sisi personel, Dadan menyebut penempatan Komando
Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) yang biasa bertuga di bandara-bandara, juga
masih sangat terbatas.
"Sekarang kami hanya mengisi (Kopasgat) sebanyak 12 pos
untuk pengaman bandara wilayah setempat," ucapnya. Jumlah personel
Kopasgat yang telah ditempatkan pun belum memadai bahkan jauh dari ideal. Dadan
menyebut jumlah ideal yang ditempatkan dalam setiap pos adalah 30 personel,
namun realita yang ada masih jauh dari data ideal.
"Idealnya untuk di bandara itu 30 personel atau pos
untuk pengamanan wilayah bandara, sekarang ada yang diisi hanya 10 orang ada
yang 20 orang," tuturnya. Dengan diskusi yang diselenggarakan IPI di
Jayapura, Dadan berharap akan ada tindak lanjut yang bisa diteruskan ke
pemerintah pusat dan juga Mabes TNI.
"Keamanan adalah hal yang sangat penting di dunia
penerbangan, para penerbang ini bagaimana mau masuk ke satu daerah kalau tidak
aman. Setelah diskusi ini, tentu kami sebagai pelaksana bukan penentu
kebijakan, nanti dari IPI akan meneruskan ke Kementerian Perhubungan yang
mungkin akan diteruskan lagi ke atasan kami di Mabes TNI," kata Dadan.
Bandara paling rawan Situasi keamanan di sebagian wilayah
pegunungan Papua belum kondusif karena keberadaan Kelompok Kriminal Bersenjata
(KKB) yang juga kerap menyasar pesawat terbang perintis. Lanud Silas Papare
mencatat sejak Januari hingga Agustus 2022, ada tujuh kali aksi kontak senjata
antara aparat keamanan dengan KKB di kawasan bandara.
Bandara Aminggaru di Kabupaten Puncak, lalu Bandara Oksibil,
dan Bandara Kiwirok di Kabupaten Pegunungan Bintang, menjadi kawasan terbang
paling berbahaya karena rawan aksi penembakan. Karenanya Ikatan Pilot Indonesia
(IPI) meminta aparat keamanan dan pemerintah memberi atensi terhadap hal
tersebut agar keamanan para penerbang yang bertugas di wilayah pedalaman bisa
terjamin.
"Ada 12 titik yang rawan, salah satunya Kenyam. Itu
mungkin bisa jadi perhatian dari pihak otoritas," ucap Ketua IPI Rama
Noya. Penempatan aparat keamanan di bandara-bandara pedalaman dipandangnya
sangat penting karena para pilot yang akan mendarat di landasan tertentu bisa
memperoleh informasi mengenai situasi terkini di lokasi yang akan dituju.
"Paling tidak kalau ada lokasi yang dianggap merah
(rawan) seharusnya diberitahukan kepada pilot atau operator, harus ada
kepastian bahwa memang lapangan terbang tersebut ditutup kalau tidak
aman," tuturnya.
Wagus Hidayat sebagai pemilik SAM Air yang kerap melayani
rute penerbangan perintis di pegunungan Papua juga menyampaikan hal yang sama.
Ia memberi perhatian khusus untuk Bandara Kenyam, Nduga, yang hingga kini belum
dijaga oleh Kopasgat, sementara wilayah itu tergolong sangat rawan aksi KKB.
"Kami dari operator meminta, khususnya kepada TNI AU, bisa menempatkan
Kopasgat di lapangan terbang yang ada di pedalaman.
Karena seperti di Ilaga jam operasionalnya hanya dari jam
06.00 sampai 12.00 WIT, tapi ada penempatan Kopasgat di sana, sedangkan di
Bandara Kenyam jam terbangnya bisa sampai sore tapi tidak ada penempatan
pasukan di sana," ungkapnya. (kompas.com)
Editor: Sianturi