SALAM PAPUA (TIMIKA) - Setiap anak berhak mendapatkan
akses pendidikan dan teknologi untuk menggapai masa depan cerah, merupakan gagasan
yang dijunjung tinggi Bayu Widyatmoko, guru yang mengabdikan dirinya sejak
tahun 2003 di Papua.
Setelah menamatkan pendidikan Strata-1 (S1) di Universitas
Negeri Malang pada tahun 2002, Bayu merantau ke Papua untuk mengajar di Sekolah
Yayasan Pendidikan Jayawijaya (YPJ). Sekolah ini didirikan oleh PT Freeport
Indonesia (PTFI) pada tahun 1973 untuk menyediakan pendidikan inklusif bagi
putra-putri karyawan perusahaan dan juga anak-anak asli Papua dari desa-desa di
sekitar wilayah operasional perusahaan. Menyediakan pendidikan mulai dari PAUD,
SD, hingga SMP, Sekolah YPJ saat ini memiliki 1.150 siswa, 148 guru dan tenaga
kependidikan, tiga tenaga ahli teknis, dan telah meluluskan sekitar 6.700
siswa.
Bayu yang kini telah menjadi Kepala Sekolah YPJ Tembagapura,
menanamkan pendidikan inklusif untuk mengakomodasi semua anak tanpa memandang
kondisi intelektual, sosial, dan berbagai kondisi lainnya. Mengajar anak-anak
asli Papua dari desa-desa sekitar yang bersekolah di YPJ memiliki tantangan
tersendiri agar mereka mampu berkompetisi dengan anak-anak karyawan yang
memiliki latar belakang keluarga dan lingkungan jauh lebih memadai.
“Ketika saya memutuskan merantau di Papua, saya melihat
semangat belajar anak-anak di Papua tidak kalah besar dengan anak-anak di pulau
Jawa. Dengan latar belakang yang beragam, saya terpacu untuk memaksimalkan
potensi mereka,” ungkap Bayu dalam rilis yang diterima salampapua.com.
Ia menceritakan pengalamannya ketika mengajarkan perbedaan
antara paruh burung dan mulut mamalia karnivora dan herbivora. Seorang siswa
bertanya, “Apakah Pak Bayu tahu bahwa kuskus suka makan yang manis-manis?”.
Lalu siswa tersebut bercerita bahwa ia pernah memberi makan kuskus dan
mengetahui bahwa kuskus suka makan cookies.
“Pengalaman tersebut menggugah kesadaran saya bahwa apa yang
tercantum di buku teks sering kali tidak kontekstual dan bahkan bisa
mengkerdilkan pengalaman nyata anak. Dari situ saya belajar bahwa saya sebagai
pengajar perlu mempertimbangkan konteks lokal dari keseharian di lingkungan
mereka yang menjadi ketertarikan siswa dan dapat digunakan dalam proses
belajar-mengajar,” katanya.
Hal tersebut membawa Bayu dan timnya untuk
mentransformasikan kurikulum yang bekerja bagi para siswa. Dengan upaya Bayu
bersama para tenaga pendidik, YPJ kemudian mengadopsi kurikulum yang lebih
fleksibel dengan menyesuaikan konteks dan muatan lokal, serta fokus pada siswa
dengan pendekatan student-centered.
“YPJ kini menerapkan International Baccalaureate
Organization (IBO) sebagai kerangka belajar yang kami nilai paling cocok karena
dapat mengakomodasi kebutuhan dan potensi unik para murid,” katanya.
Latar belakang budaya para siswa yang beragam menjadi
tantangan tersendiri. Nilai-nilai budaya yang dibawa siswa dapat saja berbeda
dengan nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah.
“Adalah peran guru untuk dapat berkomunikasi dengan para
siswa dan bahkan keluarga mereka, sehingga tidak berdampak dalam proses
belajar-mengajar,” ujar Bayu.
Bayu menceritakan masih ada pandangan bahwa anak perempuan
dianggap tidak terlalu perlu mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini mendorong
para guru untuk melakukan sosialisasi kepada para orangtua murid.
“Berbagai tantangan tersebut tak lantas membuat para
pengajar YPJ menyerah. Kami melakukan berbagai upaya, salah satunya melakukan
sosialisasi kepada para orang tua murid secara berkala. Kami percaya ketika
mereka mendapatkan pendidikan yang berkualitas, mereka akan siap berkompetisi
dan berkesempatan untuk membangun karier profesional, serta menggapai masa
depan yang cerah,” tuturnya.
Menjabat sebagai Kepala Sekolah YPJ Tembagapura, memicu Bayu
untuk menanamkan semangat yang ia miliki kepada para pengajar di YPJ.
“Para pendidik di YPJ didorong untuk terus belajar (learn),
menerima paradigma baru (relearn), dan rela mengenyampingkan pemahaman
sebelumnya yang sudah tidak relevan (unlearn). Hal ini senantiasa
dikomunikasikan sehingga kami tidak terjebak dalam pola pikir lama yang mungkin
tidak efektif bagi perkembangan anak," lanjut Bayu.
Hari Guru Nasional menjadi momentum pengingat bagi para guru
untuk selalu memberikan yang terbaik.
“Pada akhirnya, kami harap upaya ini dapat berkontribusi
dalam mewujudkan Generasi Emas 2045, sebuah cita-cita dan gagasan pemerintah
Indonesia untuk mempersiapkan generasi muda yang unggul, kompeten, dan memiliki
daya saing tinggi,” ungkapnya.
PTFI selaku pendiri sekolah memberikan dukungan penuh terhadap
inovasi dan pendekatan yang dilakukan oleh pihak sekolah untuk memberikan yang
terbaik dalam proses belajar-mengajar.
“Sebagai guru yang terjun langsung ke lapangan, saya melihat
bahwa PTFI menunjukkan komitmen luar biasa dalam mendukung pendidikan di Papua
melalui serangkaian inisiatif termasuk YPJ. Upaya yang PTFI lakukan berhasil
menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung pembangunan kualitas sumber
daya manusia yang unggul untuk Papua,” kata Bayu.
Editor: Jimmy