SALAM PAPUA (MERAUKE)- “Sigera…sigera…sigera!” teriak
Alosius Sangra berulang kali kepada kedua anaknya, Yakobus Sangra dan Anton
Sangra. Dalam bahasa Suku Marind Kanume, Merauke, sigera artinya: kejar.
Sehingga, dengan lincah dan tangkas, kedua anak laki-laki Alosius ini berlari
mengejar hewan buruan mereka.
Hari itu, keduanya memang sengaja diikutkan dalam kegiatan
perburuan secara tradisional yang selama ini dijalani keluarga Alosius Sangra.
Setiap melakukan perburuan, Alosius dan anaknya atau kerabat
lainnya, selain memanah hewan buruan, juga harus mengejar hewan buruan itu. Ini
adalah salah satu ciri khas perburuan tradisional yang dilakukan Suku Marind
Kanume untuk mendapatkan hewan buruannya.
“Biasanya, hewan buruan seperti rusa dan kanguru
(saham-dalam bahasa Marind) jika sudah terkena panah, masih kuat berlari. Maka
satu-satunya cara dengan mengejarnya, agar tak hilang masuk ke dalam hutan,”
jelas Alosius, ketika ditemui bumipapua di kampungnya yang berada di dalam
Taman Nasional Wasur Merauke.
Suku Marind Kanume adalah salah satu suku yang mendiami
tanah datar berawa di wilayah perbatasan antara Republik Indonesia di Merauke
dengan wilayah Negara Papua Nugini (PNG). Suku ini hidup di hutan adat. Mereka
bertahan hidup mengandalkan sumber daya alamnya. Sehingga kegiatan berburu
hewan secara tradisional, sudah menjadi aktivitas sehari-hari yang masih
dipertahankan masyarakat adat setempat.
Hal ini juga yang dilakukan suami istri, Alosius Sangra dan
Martha Dimar bersama kedua anaknya Yakobus Sangra dan Anton Sangra. Untuk
melakukan perburuan hewan secara tradisional, keluarga Suku Marind Kanume ini
sering membuat bevak (tempat tinggal) di dalam hutan. Hutan yang merupakan
wilayah adat dari marga suku Sangra ini masuk dalam kawasan Taman Nasional
Wasur di Merauke.
Mempertahankan Cara Berburu Tradisional
Tradisi berburu hewan di hutan sudah menjadi bagian yang tak
terpisahkan oleh Alosius Sagra dan anak-anaknya. Berburu dengan menggunakan
senjata tradisional, seperti panah dan busurnya. Hasil perburuan seperti rusa
dan kanguru hanya digunakan untuk makan sehari-hari. Kalaupun ada lebih,
biasanya dijual ke pasar tradisional di Merauke.
Cara berburu hewan di hutan biasanya dilakukan secara
kelompok keluarga. Menurut Alosius, ketika hendak berburu, yang selalu
disiapkan adalah panah (jubi) beserta busurnya, parang, serta senter.
Suku Marind Kanume tak setiap hari melakukan perburuan.
Warga setempat hanya melakukan perburuan pada bulan tertentu saja. Misalnya di
saat musim bulan tak terang.
“Seperti di langit tidak ada bulan atau bulan gelap,
biasanya kami berburu. Sebab, jika bulan terang, hewan akan lari melihat kami.
Kalau di bulan gelap itu, kami hanya modal senter saja,” ujarnya.
Kata Alosius, cara berburu rusa dan kanguru itu berbeda.
Kalau berburu rusa tak perlu harus merayap pelan-pelan, mendekati hewan
sasaran, hanya memantau dari jauh dan lepaskan anak panah dari busur ke
sasarannya. “Jadi kita sasar di bagian leher atau kaki, sehingga hewan itu
mudah jatuh,” katanya.
Namun yang paling penting sebenarnya adalah cahaya senter
jika berburu pada malam hari. Sebab rusa maupun kanguru itu, jika tiba-tiba
kena senter ke arah bagian matanya, langsung hewan itu tak bisa bergerak atau
diam di tempat.
“Nah, ketika hewan ini diam di tempat karena kena silau
cahaya senter, maka disitulah langsung bersamaan kita tembakan anak panah ke
sasarannya. Sedangkan berburu kanguru, kita harus tiarap sambil menepuk-nepuk
tanah. Sebab dengan cara menepuk tanah, kanguru yang diburu ini menganggap kita
temannya,” jelasnya.
Menjaga Hewan Buruan Lewat Tradisi
Berburu saat ini, kata Alosius, paling lama dilakukan dua
hari perjalanan, biasa dapat 3-4 ekor hewan buruan. Berbeda dengan dulu, tahun
1980 hingga tahun 1990-an, hewan buruan seperti, rusa dan kanguru masih banyak
ditemukan dan lokasinya dekat.
“Tapi sekarang harus cari lebih jauh masuk hutan. Bahkan
saat ini, hewan buruan agak susah dapat dibanding seperti dulu. Kanguru atau
saham dan rusa mulai berkurang,” jelas Alosius.
Berkurangnya hewan buruan karena makin maraknya kegiatan
perburuan yang dilakukan oleh orang dari luar kawasan Taman Nasional Wasur atau
orang luar bukan warga setempat.
Orang dari luar kawasan Taman Nasional Wasur biasanya
berburu menggunakan senjata api (senjata modern). Menurut Alosius, berburuan
dengan cara modern membuat hewan buruan mulai berkurang, belum lagi yang lari
ke wilayah Papua Nugini (PNG). Selain itu juga ada pengaruh dibukanya lahan
kebun kelapa sawit berdekatan kawasan Taman Nasional Wasur. “Hutan sekitranya
gundul, makanya hewan lari. Jadi kebun kelapa sawit berpengaruh,” katanya.
Suku Marind Kanume, kata Alosius, berburu hanya untuk makan
sehari-hari, bukan untuk dijual. Sebab dalam adat, ada aturan-aturan dalam hal
berburu. Misalkan, satu kepala keluarga hanya bisa berburu 3-4 ekor saja.
Selain itu, dalam adat juga mengatur, jika di dalam satu
kawasan wilayah adat, hewan mulai berkurang, maka ketua adat memasang sassi,
dengan simbol dari daun kelapa atau kayu yang ditanam di wilayah itu.
“Sassi adalah suatu tanda larangan orang untuk melakukan
perburuan di kawasan yang ditandai itu dengan jangka waktu tertentu. Itu
aturan-aturan adat yang hingga kini juga berlaku untuk kami,” jelas Alosius.
Berburu dengan Sejata Api dan Parang
Mungkin aturan adat sassi itu dijalani baik dan berlaku
untuk Suku Marind Kanume yang mendiami hutan Taman Nasional Wasur seperti
keluarga Alosius. Tapi kadang aturan adat itu dilanggar orang yang tinggal di
luar hutan Taman Nasional Wasur.
Rahman misalnya, ia mengaku berburu kapan saja bisa
dilakukannya, sebab tak ada yang melarang. Rahman mengaku, dirinya melakukan
aktivitas perburuan di hutan maupun di luar hutan Taman Nasional Wasur sejak
dirinya masih berumur belasan tahun.
“Bahkan sampai saat ini pun kegiatan berburu masih terus
saya lakukan. Ya, kalau mau di bilang dulu itu rusa dan kanguru masih banyak,
tapi sekarang mulai berkurang,” ujarnya.
Rahman mengaku saat berburu ia menggunakan senjata api
sewaan milik sejumlah aparat keamanan. Tapi belakangan, sekitar 2 tahun lalu
tepatnya, ia sudah tak bisa lagi menyewa senjata api, karena selama ini berburu
dengan senjata api itu mendapat sorotan terus-menerus.
”Jadi, sekarang ini cara berburu kami menggunakan parang,
atau sistem bacok (tebas),” jelasnya. Berburu mengunakan cara tebas, biasa
dilakukan pada malam hari. Saat berburu, Rahman dan kelompoknya juga
menggunakan motor.
“Orang yang menebas itu dibonceng di belakang. Jadi orang
yang bonceng itu tangannya satu memegang senter dan tangan satunya lagi
memegang parang. Nah, ketika melihat rusa atau kanguru, senter langsung
diarahkan ke mata hewan itu, lalu dengan kencang motor itu menuju ke arah hewan
yang jadi sasaran. Saat dekat, langsung ditebas pada bagian tubuh hewan,”
katanya.
Hasil perburuan yang dilakukan oleh Rahman, biasanya
langsung dibawa ke penjual daging. Jika nasib sedang mujur, Rahman dan
kelompoknya bisa membawa 1-2 ekor rusa. Tapi kalau sial, bisa berhari-hari tak
dapat hewan buruan.
“Apalagi dalam melakukan perburuan hewan, kini sudah banyak
orang juga ikut berburu. Bahkan kadang di dalam hutan suasananya sudah seperti
kota-kota kecil yang cukup ramai,” katanya.
Salah satu staf Balai Taman Nasional Wasur Merauke, Laisa
menjelaskan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan setiap tahun, keberadaan
rusa maupun kanguru atau saham jumlahnya menurun setiap tahun. “Kami hanya
survei di tiga lokasi, yakni sekitar Kali Wanggo, lalu di Kampung Ukra, dan di
sekitar Kampung Rawa Biru,” jelasnya.
Survei yang dilakukan pada tiga lokasi ini, seluruhnya masuk
dalam kawasan Taman Nasional Wasur. Survei yang dilakukan adalah populasi dan
kondisi habitatnya. Misalnya, dari populasi di wilayah Rawa Biru, jika
dibanding dengan tahun 2015, memang jumlahnya agak menurun. Sebab interaksi
(perburuan) masyarakat semakin tinggi di daerah itu.
Laisa juga mengatakan, interaksi dengan masyarakat yang
berdomisili di wilayah kawasan Taman Nasional Wasur sudah terjadi sejak dulu.
Namun masyarakat adat tahu cara mengonservasi wilayah adatnya, makanya warga
setempat sering buat sassi. Artinya, wilayah tertentu dipasang sassi untuk
beberapa tahun agar untuk sementara waktu tidak lakukan perburuan di lokasi
itu.
Menurut Laisa, ada perburuan yang dilakukan orang dari luar
kawasan hutan Taman Nasional Wasur,sebab di wilayah tersebut banyak daerah
jalan tikus (jalan tak resmi). Sehingga membuat pengawasan semakin sulit,
terutama bagi para pemburu yang masuk ke dalam kawasan hutan Taman Nasional
Wasur lewat jalan tikus.
Pihaknya juga sering melakukan patroli dan lakukan
sosialisasi, agar warga tidak melakukan perburuan dengan menggunakan senjata
api di dalam kawasan hutan Taman Nasional Wasur. Hasilnya, perburuan
menggunakan senjata api mulai menurun. (kumparan plus)
Editor: Sianturi