SALAM PAPUA (TIMIKA)- Perang melawan narkoba di Indonesia
belum selesai, dan kini muncul babak baru yang jauh lebih berbahaya. Bukan lagi
sabu, ganja, atau ekstasi, melainkan narkoba jenis baru atau New Psychoactive
Substances (NPS), zat rekayasa laboratorium yang efeknya sama bahkan lebih kuat
dari narkotika biasa, namun belum tercantum dalam Undang-Undang Narkotika.
Masih segar di depan mata masyarakat Mimika, adanya dua
kasus peredaran narkoba jenis sabu dan tembakau sintetis dan para pelaku sudah
ditangkap polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum dan
makin maraknya perdagangannya di Mimika selama ini. Belum lagi yang belum
tertangkap diduga masih bebas memperdagangkan barang haram itu. Bahkan bukan
tidak mustahil peredaran narkoba jenis baru juga telah beredar di Kota Dollar
ini.
Zat-zat ini menjadi tantangan baru bagi penegak hukum karena
tidak bisa dijerat secara hukum, sekalipun efeknya merusak otak, perilaku, dan
kejiwaan pengguna. Celah hukum inilah yang kini dimanfaatkan oleh jaringan
pengedar untuk menyasar anak-anak muda di daerah, termasuk di Mimika dan kabupaten
lain di Papua Tengah.
BNN mencatat lebih dari 200 jenis narkoba baru telah masuk
ke Indonesia, di antaranya Flakka, AB-FUBINACA, 4-CMC, Etizolam, hingga NBOMe
series. Zat ini banyak beredar melalui media sosial, toko daring, atau bahkan
dibawa oleh pekerja dan pelajar dari luar daerah.
Yang mengerikan, zat-zat ini sering dijual dengan kemasan
“herbal penenang”, “obat relaksasi”, atau “pil pesta” yang tampak legal. Banyak
pemuda tidak sadar bahwa yang mereka konsumsi adalah racun kimia yang bisa
mengubah kepribadian dan menghancurkan fungsi otak secara permanen.
Di Mimika, dengan karakter masyarakat yang majemuk dan
mobilitas tinggi karena aktivitas tambang dan ekonomi, risiko penyebaran
narkoba jenis baru ini sangat besar. Arus keluar-masuk penduduk yang tinggi
menjadi celah empuk bagi sindikat untuk menyusupkan barang haram tersebut tanpa
terdeteksi.
Yang menjadi korban paling rentan adalah pelajar dan
mahasiswa. Mereka ingin mencoba hal baru, mencari kesenangan instan, dan mudah
tergoda dengan narasi bahwa zat itu “tidak ilegal”.
Padahal efeknya jauh lebih menghancurkan: halusinasi berat,
agresivitas ekstrem, kehilangan kontrol diri, bahkan kematian mendadak. Di
sejumlah kota besar di Indonesia, sudah ada kasus pengguna Flakka yang
berperilaku seperti “zombie” karena kehilangan kesadaran total.
Bayangkan jika ini sampai menjalar ke kalangan muda Mimika —
generasi yang seharusnya menjadi harapan pembangunan Papua Tengah malah hancur
karena racun kimia yang belum sempat dilarang.
Masalah besar kita adalah hukum yang berjalan lebih lambat
dari kejahatan. Begitu satu jenis zat dimasukkan ke daftar larangan, produsen
segera mengubah sedikit struktur kimianya agar menjadi “produk baru” yang
secara teknis tidak bisa dipidana.
Sementara itu, proses peninjauan dan revisi daftar narkotika
di Indonesia bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Akibatnya, narkoba jenis baru bebas beredar di ruang abu-abu hukum, sementara
generasi muda menjadi kelinci percobaan.
Kondisi ini tidak boleh terus dibiarkan. Pemerintah pusat
bersama BNN dan Kemenkes harus menerapkan pendekatan berbasis efek
farmakologis, bukan hanya daftar nama zat. Artinya, setiap bahan yang
menimbulkan efek psikoaktif harus otomatis dikategorikan sebagai narkotika,
meski belum tercantum secara resmi.
Pemerintah daerah dan aparat di Mimika juga tidak boleh
tinggal diam. Koordinasi lintas sektor antara Dinas Kesehatan, Pendidikan, dan
Kepolisian harus diperkuat.
Sosialisasi tentang bahaya narkoba jenis baru harus masuk ke
sekolah, kampus, dan komunitas pemuda. Edukasi publik sangat penting, sebab
banyak anak muda masih mengira bahwa “belum dilarang” berarti “tidak
berbahaya”.
Padahal yang belum dilarang justru paling berbahaya karena
belum dikenal, belum diawasi, dan efeknya belum diteliti.
Narkoba jenis baru adalah ancaman sunyi bagi masa depan
Papua Tengah. Ia tidak datang dengan kekerasan, tetapi perlahan mencuri masa
depan generasi muda generasi yang seharusnya membangun Mimika menjadi daerah
maju dan berdaya saing.
Jika negara dan masyarakat terlambat bertindak, kita bukan
hanya kehilangan anak-anak muda yang cerdas dan potensial, tapi juga kehilangan
arah pembangunan itu sendiri.
Kini saatnya Mimika berkata tegas: “Kami tidak mau generasi
kami dikorbankan oleh zat yang belum sempat dilarang.”
Penulis: Sianturi

 
                             
                                    
 
                                                     
                                                     
                                                     
                                                     
                                                     
                                                     
                                                     
                                                     
                                                     
                                                    