SALAM PAPUA (TIMIKA)- Pernyataan Bupati Mimika, Johannes
Rettob, bahwa jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Mimika telah
mencapai sekitar 9.000 orang, seharusnya menjadi alarm serius bagi semua pihak.
Dengan beban keuangan yang besar untuk belanja pegawai, pemerintah daerah perlu
mengevaluasi ulang arah kebijakan kepegawaian dan efektivitas kinerja
birokrasi.
Fenomena “birokrasi gemuk” bukan hal baru di Mimika. Banyak
ASN yang secara administratif tercatat aktif, tetapi kontribusinya terhadap
pelayanan publik tidak seimbang dengan jumlah dan biaya yang dikeluarkan.
Ironisnya, sebagian besar unit kerja di lapangan justru masih kekurangan tenaga
teknis yang benar-benar dibutuhkan masyarakat seperti tenaga kesehatan, guru di
pedalaman, atau penyuluh lapangan.
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa masalah utama bukan
sekadar jumlah ASN, tetapi distribusi dan kompetensi. Ketika birokrasi terlalu
menumpuk di pusat kota dan diisi oleh jabatan-jabatan administratif, sementara
pelayanan dasar di kampung dan distrik terpencil minim, maka hakikat kehadiran
negara di tingkat lokal justru menjadi kabur.
Dengan struktur ASN yang besar, belanja pegawai otomatis
menyedot porsi signifikan dari APBD Mimika. Akibatnya, ruang fiskal untuk
pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat semakin sempit.
Padahal, daerah ini memiliki potensi PAD besar dari sektor
pertambangan dan jasa. Namun jika dana hanya terserap untuk menggaji birokrasi
yang tidak efisien, maka kesejahteraan rakyat sulit meningkat secara nyata.
Langkah Bupati Mimika menghentikan penerimaan dan mutasi ASN
dari luar daerah merupakan kebijakan berani yang patut diapresiasi. Namun, itu
baru tahap awal. Pemerintah perlu melangkah lebih jauh dengan melakukan audit
kinerja ASN secara menyeluruh, menata ulang struktur organisasi perangkat
daerah, dan mendorong digitalisasi pelayanan publik agar lebih ramping, cepat,
dan akuntabel.
Selain itu, pembinaan disiplin dan etika ASN perlu
ditegakkan kembali. Banyak keluhan publik muncul karena masih ada aparatur yang
abai terhadap tugas dan waktu kerja. Padahal, ASN seharusnya menjadi wajah
pelayanan pemerintah bukan beban administrasi yang menambah kelambatan.
Birokrasi seharusnya menjadi mesin penggerak pembangunan,
bukan sekadar penumpang anggaran. Jika jumlah ASN di Mimika sudah “kelebihan
muatan”, maka inilah saatnya pemerintah daerah berani melakukan reformasi
struktural yang menyehatkan tubuh birokrasi: ramping dalam jumlah, tapi kuat
dalam kinerja. Dengan begitu, setiap rupiah dari rakyat kembali menjadi manfaat
nyata bukan hanya untuk membayar sistem yang tidak efisien.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pemerintah daerah
disarankan melakukan audit jumlah, sebaran, dan fungsi ASN. Perlu database
digital yang menunjukkan siapa yang benar-benar aktif, produktif, dan di mana
mereka bertugas. Dari situ baru bisa dilakukan penataan formasi dan
redistribusi.
Kebijakan moratorium perlu diperkuat menjadi aturan daerah
jangka menengah. Rekrutmen baru harus berbasis kebutuhan, terutama untuk tenaga
fungsional seperti guru, tenaga kesehatan, dan penyuluh lapangan. 
Penumpukan ASN di ibu kota kabupaten disebut sebagai salah
satu masalah utama. Ia menyarankan agar pegawai ditempatkan di distrik sesuai
kebutuhan dengan dukungan insentif daerah terpencil. Kalau perlu pakai sistem
absensi berbasis GPS supaya mereka benar-benar hadir di tempat tugas.
Setiap ASN dan OPD perlu memiliki indikator kinerja yang
jelas. Kinerja harus jadi dasar pemberian tunjangan kinerja daerah. Jangan
sampai tunjangan besar tapi produktivitas minim.
Dengan jumlah ASN besar, banyak pekerjaan administratif
seharusnya bisa diotomatisasi. Gunakan sistem digital untuk perizinan,
keuangan, dan surat-menyurat agar lebih efisien. ASN bisa dialihkan ke
pelayanan langsung di lapangan.
Selain aspek teknis, budaya kerja ASN juga perlu dibenahi.
Ditekankan pentingnya pembinaan rutin, coaching kepemimpinan, dan pengawasan
internal yang aktif melalui Inspektorat Daerah.
Pemerintah daerah diminta menjelaskan kepada masyarakat
bahwa reformasi ASN bukan pemangkasan, melainkan penataan agar pelayanan publik
lebih cepat dan tepat sasaran.
Jika langkah-langkah tersebut diterapkan secara bertahap,
terutama dimulai dari audit ASN dan redistribusi ke distrik prioritas, maka
dalam dua hingga tiga tahun ke depan, Mimika bisa memiliki birokrasi yang lebih
ramping, efisien, dan berorientasi pelayanan masyarakat.
Penulis: Sianturi

                            
                                    