SALAM PAPUA (TIMIKA) - Problem konflik selama bertahun-tahun yang terjadi di semua wilayah Papua pada umumnya terletak pada sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Namun hal itu tidak dipahami oleh Pemerintah Pusat yang selalu mementingkan sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia dan selalu mengkesampingkan sila kedua.

Hal tersebut dikatakan oleh Rocky Gerung saat menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan diskusi publik yang digelar Lembaga Pusat Bantuan Mediasi GKI (PBMGKI) di ruang pertemuan Hotel Cartenz Timika, Rabu (10/7/2024).

Dialog tersebut, dihadiri oleh berbagai kalangan, seperti, dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh pemuda, mahasiswa dan mahasiswi, anggota DPRD, DPRP dan MRP.

Salah satu tokoh masyarakat, Petrus dalam sesi diskusi paradox ia mengatakan, kemerdekaan yang diinginkan oleh orang Papua itu ada dua hal, merdeka dari NKRI dan merdeka dalam membentuk nasibnya sendiri.  

Selama ini, kebebasan selalu dikatakan telah diakomodir dalam pemberian Otonomi Khusus (Otsus) tetapi kenyataan yang dirasakan masyarakat Papua tidak demikian. Sebab secara kekhususan itu tidak dirasakan seperti Otsus yang ada di wilayah Aceh dan Jogjakarta.

“Kami tidak bisa merdeka karena selama ini hak politik kami dikuasai oleh orang lain. Contoh saja, jabatan ASN diduduki oleh orang lain, itu mengapa kami katakan tidak ada kekhususan, sehingga kami merasa tidak merdeka,” ujarnya.

Selanjutnya menurut salah satu mahasiswa hukum, Edita mengatakan, untuk merdeka, yang dilakukan bukan dengan membunuh tetapi merdeka dalam segi pembangunan juga SDM yang ditingkatkan.

“Namun yang menjadi pertanyaan, apakah pemekaran di Papua ini, murni untuk kepentingan Papua atau kepentingan kalangan tertentu?” cetusnya.

Karena dengan pemekaran, orang Papua belum merasa merdeka, merdeka dengan memutuskan nasibnya. Contohnya, meski dengan pemekaran anak-anak OAP masih susah mencari kerja.

Hal tersebut langsung ditanggapi oleh Rocky Gerung, bahwa wacana merdeka yang terus diwariskan secara terus menerus, sehingga itu terus melekat di memori masyarakat Papua karena semua ingin adanya identitas primer.

“Problem Papua ada di sila kedua, Kemanusiaan dan Adil dan Beradab ini konkrit yang dihadapi setiap hari, dan keinginan merdeka selalu tertanama hingga ke anak-anak Papua,” ucap Rocky.

Seharusnya kata Rocky dengan adanya pendekatan value, namun sampai saat ini hal tersebut diabaikan Pemerintah Pusat. Sehingga ada ketegangan potensi di Papua, sebab yang terjadi Jakarta butuh sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia tetapi kenyataannya di Papua ingin adanya  sila kedua, yaitu keadilan yang adil dan beradab.

“Mengapa demikian, karena Papua merasa diabaikan, sehingga orang Papua selalu berteriak soal sila kedua. Karena merasa adanya ketidakadilan, beda hal yang dipikirkan oleh para petinggi di pusat, yang hanya mementingkan Kesatuan Indonesia,” pungkasnya.

Penulis: Evita

Editor: Sianturi