SALAM PAPUA (TIMIKA) – Sejumlah kontraktor Orang Asli Papua (OAP) di Kabupaten Mimika mengeluhkan tidak mendapat bagian dalam proyek-proyek Penunjukan Langsung (PL) yang dikelola hampir seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mimika.

Padahal, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 17 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua, proyek dengan skema PL yang bernilai di bawah Rp1 miliar seharusnya menjadi hak normatif pelaku usaha OAP yang berbadan hukum.

“Sampai sekarang kami merasa diboikot. Sudah beberapa kali mendatangi dinas-dinas untuk meminta paket PL, tapi tidak digubris. Ada yang bilang sudah habis dibagi, ada juga yang menyebut diutamakan untuk tim sukses pejabat tertentu,” ungkap salah satu kontraktor OAP, Yesaya M. Adadikam, kepada Salam Papua, Senin (30/6/2025).

Menurut Yesaya, Perpres 17/2019 secara jelas mengatur bahwa pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan skema PL adalah bentuk afirmasi pemerintah pusat untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan ekonomi OAP.

“Paket PL adalah hak normatif kami sebagai pelaku usaha OAP, bukan hak politik. Tapi yang terjadi sekarang, malah seakan-akan diatur berdasarkan kedekatan politik. Padahal kami juga ada yang jadi tim sukses, tapi tetap bersikap profesional saat mengajukan permintaan,” tegasnya.

Ia menambahkan, sebagian dinas juga berdalih bahwa belum ada petunjuk dari pimpinan atau bahwa pekerjaan hanya tersedia dalam bentuk tender terbuka, bukan PL. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada kelompok tertentu yang ingin menguasai proyek untuk kepentingan pribadi.

Yesaya berharap, distribusi paket PL di setiap OPD dilakukan secara terbuka dan transparan. Menurutnya, jika informasi mengenai jumlah dan jenis paket PL dibuka ke publik, maka pembagiannya bisa lebih adil bagi seluruh pelaku usaha OAP.

“Kalau informasinya terbuka, setiap kontraktor OAP yang berbadan hukum bisa dapat lima paket PL. Tapi sekarang serba tertutup. Tahun 2023 misalnya, dari APBD sekitar Rp7 triliun, ada sekitar 7.000 paket PL. Sedangkan jumlah pelaku usaha OAP hanya sekitar 700 kontraktor. Tapi masih banyak yang tidak kebagian. Pertanyaannya, siapa yang kerjakan ribuan paket itu?” ujarnya.

Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan Pemkab Mimika dalam implementasi Perpres tersebut. Menurutnya, sudah enam tahun kebijakan afirmatif ini berjalan, namun belum terlihat hasil nyata dalam pembinaan dan penguatan pelaku usaha OAP.

“Pemkab Mimika sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat seharusnya bekerja sama dengan lembaga terkait untuk melakukan pendampingan, pemantauan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Bahkan bila perlu, berani menindak tegas pelanggaran terhadap Perpres 17 Tahun 2019,” pungkasnya.

Penulis: Acik

Editor: Sianturi