SALAM PAPUA (TIMIKA)- Kenaikan harga daging babi di Timika hingga Rp 200.000., sampai Rp 250.000 per kilogram bukan lagi sekadar gejala inflasi musiman. Ini adalah sinyal jelas dari krisis pasokan pangan lokal, terutama komoditas yang secara budaya dan ekonomi sangat vital bagi masyarakat asli Papua (OAP).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Mimika menyebutkan bahwa hingga Juni 2025, daging babi menjadi penyumbang inflasi terbesar di Mimika, yakni 1,17 persen dari total inflasi 3,16 persen. Ini berarti hampir sepertiga dari tekanan harga yang dirasakan masyarakat berasal dari satu komoditas saja. Lebih dari sekadar angka, ini menunjukkan ada rantai pasok yang patah dan belum ada upaya serius untuk menyambungnya kembali.

Wabah Demam Babi Afrika (ASF) telah menyerang Mimika sejak beberapa tahun lalu, dan hingga kini, dampaknya masih membekas dalam-dalam. Ribuan babi mati, peternak bangkrut, dan konsumen tercekik harga. Tidak ada vaksin, tidak ada ganti rugi, dan tidak ada solusi pemulihan jangka panjang yang nyata.

Alih-alih respons cepat, yang terjadi adalah pembiaran sistemik. Peternak dibiarkan kehilangan modal hidupnya tanpa dukungan. Tidak ada program restocking yang terstruktur, tidak ada distribusi bibit babi tahan penyakit, dan bahkan edukasi biosekuriti pun berjalan sporadis.

Kita tidak sedang bicara daging sapi atau ayam yang bisa diganti. Daging babi di tanah Papua adalah simbol budaya, bagian dari identitas, dan elemen penting dalam acara adat, gerejawi, hingga ritual syukuran. Saat harga melambung, bukan hanya perut rakyat yang tercekik, tapi juga tatanan sosial yang ikut terganggu.

Bagi masyarakat Mimika, terutama OAP, mahalnya daging babi berarti semakin jauhnya akses terhadap kebutuhan dasar dan warisan budaya. Bukan tidak mungkin ke depan, hanya segelintir orang yang mampu menghadirkan babi dalam pesta adat, sementara sisanya hanya bisa menyaksikan dari pinggir.

Krisis ini seharusnya menjadi momen refleksi sekaligus momentum perubahan. Kabupaten Mimika, dengan APBD besar dan potensi lahan yang luas, tidak boleh membiarkan hal ini berlama-lama. Harus ada keberanian politik untuk membangun kedaulatan pangan lokal, termasuk di sektor peternakan babi.

Beberapa langkah yang harus segera diambil: Program pemulihan ternak babi skala kabupaten, dengan pendampingan dan perlindungan kesehatan hewan. Insentif bagi peternak lokal, baik dalam bentuk modal usaha maupun subsidi pakan. Penerapan ketat sistem biosekuriti di kandang dan area distribusi. Dan kebijakan harga yang adil, agar konsumen tidak terus menjadi korban permainan pasar dan spekulasi.

Harga daging babi yang mahal di Timika bukan sekadar soal pasokan terbatas, tapi cermin dari kegagalan manajemen krisis dan abainya negara atas ekonomi rakyat kecil. Jika hari ini kita hanya melihatnya sebagai angka inflasi, maka kita sedang menutup mata terhadap derita peternak, rapuhnya ketahanan pangan lokal, dan tergesernya budaya masyarakat Papua oleh ketidakpedulian.

Saatnya Mimika bangkit, bukan hanya sebagai pusat tambang, tetapi juga sebagai simbol kemandirian pangan yang berpihak pada rakyatnya sendiri. Peternak harus secepatnya dibantu demi mengembalikan kejayaan peternakan babi di Kabupaten Mimika. Semoga saja.

Penulis: Sianturi