SALAM PAPUA (TIMIKA)- Di Timika dan berbagai wilayah Papua,
kata begal sudah tak lagi asing di telinga. Namun yang lebih mengkhawatirkan,
pelakunya kini semakin banyak berasal dari anak di bawah umur. Fenomena ini
bukan sekadar catatan kriminal, tapi alarm bahaya tentang kondisi sosial yang
sedang memburuk di sekitar kita.
Kita bicara tentang anak-anak yang seharusnya sibuk belajar,
bermain, dan mempersiapkan masa depan tapi justru memegang parang di jalanan,
mengancam nyawa orang lain. Ironisnya, sebagian kelompok kriminal dewasa secara
sadar memanfaatkan kerentanan hukum untuk merekrut remaja sebagai eksekutor.
Dalam sistem peradilan kita, hukuman untuk pelaku anak memang lebih ringan dan
fokus pada rehabilitasi, bukan pemenjaraan panjang. Celah inilah yang
dimanfaatkan.
Mari jujur. Papua, termasuk Timika, menghadapi tantangan
sosial-ekonomi yang berat: kemiskinan, pengangguran, akses pendidikan yang
timpang, dan lemahnya kontrol sosial. Bagi sebagian remaja yang kehilangan
arah, tawaran uang cepat atau rasa “diakui” dari kelompok tertentu bisa terasa
menggoda.
Di sisi lain, minimnya pengawasan ruang publik seperti
ketiadaan CCTV di titik rawan atau patroli yang terbatas membuat aksi begal
bisa terjadi berulang tanpa pencegahan berarti. Bahkan ada wilayah yang sudah
“terkenal” rawan, namun belum tersentuh pengamanan maksimal.
Penegak hukum berada di persimpangan. Di satu sisi, ada
tuntutan dari masyarakat, bahkan lembaga adat, untuk menindak tegas, termasuk
opsi “tembak di tempat” bagi pelaku yang membahayakan nyawa korban. Di sisi
lain, ada prinsip perlindungan anak yang diatur undang-undang.
Pertanyaannya, apakah pendekatan represif saja cukup? Jelas
tidak. Tanpa pencegahan dan pembinaan, akan selalu ada gelombang remaja baru
yang siap menggantikan mereka yang ditangkap.
Sekolah dan komunitas harus menjadi benteng pertama. Anak
perlu diajarkan tentang konsekuensi hukum dan moral dari tindakan kriminal,
sambil diberikan alternatif kegiatan yang produktif.
Pasang CCTV di titik rawan, perbanyak patroli, dan libatkan
warga melalui pos ronda atau sistem pelaporan cepat. Anak yang terlibat begal
harus benar-benar dibina, bukan sekadar “dikeluarkan” dari tahanan lalu kembali
ke jalanan.
Lembaga adat punya pengaruh moral yang kuat. Mereka bisa
menjadi jembatan antara penegakan hukum dan pendekatan sosial-budaya.
Begal remaja di Papua bukan sekadar kriminalitas biasa. Ini
adalah cermin retak dari wajah masyarakat kita cermin yang menunjukkan bahwa
ada anak-anak yang kehilangan arah karena sistem yang membiarkan mereka tumbuh
tanpa pegangan.
Jika kita hanya sibuk menghukum tanpa membina, maka kita
sedang menyiapkan generasi yang kehilangan masa depan. Sebaliknya, jika kita
hanya membina tanpa melindungi masyarakat dari ancaman nyata, kita sedang
mempertaruhkan nyawa orang-orang yang tak berdosa.
Keseimbangan inilah yang harus kita perjuangkan. Dan
perjuangan itu, mau tidak mau, harus dimulai hari ini.
Orang tua bukan hanya pemberi nafkah, tapi juga pengawas
moral dan perilaku anak. Banyak kasus begal remaja terjadi karena orang tua
tidak tahu, atau tidak mau tahu, aktivitas anaknya di luar rumah. Ada yang
bekerja hingga larut tanpa sempat memantau, ada pula yang sibuk dengan urusan
pribadi.
Di daerah dengan risiko kriminal tinggi seperti Timika,
orang tua harus mengetahui dengan siapa anak bergaul, memastikan anak tidak
pulang larut malam tanpa alasan jelas, mengajarkan nilai tanggung jawab dan
empati sejak dini, membangun komunikasi terbuka agar anak tidak mencari
“keluarga pengganti” di jalanan. Tanpa keterlibatan aktif orang tua, anak mudah
terseret arus lingkungan yang salah.
Sekolah di Papua punya tantangan ganda: mendidik dan
melindungi. Guru tidak cukup hanya menyampaikan pelajaran, tapi juga perlu
menjadi mentor moral dan pendeteksi dini masalah perilaku.
Langkah yang bisa dilakukan sekolah antaralain; memperkuat
pendidikan karakter dan pembinaan disiplin. Membuat kegiatan ekstrakurikuler
yang menarik untuk menyalurkan energi anak. Bekerja sama dengan orang tua,
aparat, dan tokoh adat untuk mengawasi siswa di luar jam sekolah. Memberikan
konseling bagi siswa yang menunjukkan tanda perilaku berisiko.
Sekolah yang membiarkan anak datang dan pulang tanpa tahu
apa yang mereka hadapi di luar pagar, sama saja menutup mata terhadap masalah
yang bisa meledak kapan saja.
Penulis: Sianturi