SALAM PAPUA (TIMIKA)- Aksi penyerangan ke sekolah yang kembali terjadi di Mimika minggu lalu tepatnya di SMA Negeri 1 Mimika dan aksi tawuran antara siswa SMP Negeri 2 Mimika dan SMP Negeri 11 Mimika bukanlah sekadar kenakalan remaja biasa. Ini adalah peringatan keras bagi kita semua selaku orang tua, guru, sekolah, bahkan pemerintah bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam cara kita membentuk karakter generasi muda. Hal ini sebagai salah satu kegagalan kita semua dalam mendidik dan menyiapkan generasi muda kita.

Bagaimana mungkin institusi pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang paling aman dan bermartabat, berubah menjadi brutal dengan melakukan aksi penyerangan? Belakangan ini, kasus-kasus penyerangan antarsekolah di Mimika, baik dalam bentuk baku lempar batu, hingga saling tantang lewat media sosial, menunjukkan bahwa kekerasan mulai menjadi bahasa komunikasi anak-anak kita.

Para pelaku di samping melakukan aksi pelemparan dengan batu ke sekolah SMA Negeri 1 Mimika, juga diduga kuat membawa benda tajam. Beruntung aksi ini segera diketahui pihak sekolah sehingga para pelaku yang berasal dari sekolah di Mimika ini langsung dihalau. Aparat keamanan juga langsung bertindak menghalau para pelaku yang kabarnya mengendarai sepeda motor dan kabur setelah aksinya ketahuan.

Penyebabnya bukan tunggal. Pertama, ada masalah serius dalam literasi emosi anak. Remaja kita belum cukup dibekali kemampuan untuk memahami, mengendalikan, dan menyalurkan emosinya secara sehat. Sedikit salah paham, sedikit ejekan di media sosial, langsung berubah menjadi amarah yang memanas dan meledak di dunia nyata.

Kedua, pengaruh lingkungan sekitar turut membentuk karakter pelajar. Mimika dan sekitarnya masih menyimpan ketegangan sosial yang belum benar-benar pulih, baik akibat faktor ekonomi, keamanan, maupun relasi antar kelompok. Budaya kekerasan yang tak tertangani bisa dengan mudah menular ke dalam ruang kelas dan halaman sekolah.

Ketiga, sekolah kehilangan fungsinya sebagai rumah kedua yang aman. Banyak lembaga pendidikan terlalu fokus pada target akademik, tetapi lalai menghidupkan pendidikan karakter. Pelajar diajari berhitung dan membaca, tapi tidak diajarkan bagaimana menghadapi konflik tanpa kekerasan, bagaimana berdialog, atau bagaimana menghargai perbedaan.

Tidak kalah penting adalah lemahnya pengawasan. Orang tua dan guru tidak boleh lepas tangan. Banyak remaja berkonflik karena merasa tidak didengar, tidak diperhatikan, atau bahkan tidak dikenali oleh lingkungannya sendiri. Ketika anak-anak merasa sendirian, mudah bagi mereka untuk mencari identitas lewat kelompok, bahkan lewat tindakan ekstrem.

Karena itu, penanganan terhadap kasus penyerangan sekolah di Mimika harus dilakukan secara holistik. Menghukum pelajar yang terlibat hanyalah permukaan. Yang lebih penting adalah memperbaiki sistem. Sekolah harus kembali menjadi ruang aman dan inklusif. Pemerintah harus hadir lewat program-program pencegahan kekerasan di usia dini. Dan orang tua harus lebih terlibat dalam kehidupan anak, bukan sekadar hadir secara fisik.

Ini bukan hanya soal tawuran, ini soal masa depan. Jika kekerasan jadi kebiasaan sejak remaja, maka kita sedang menyiapkan generasi yang kehilangan arah dan empati. Mimika, dan Papua pada umumnya, membutuhkan anak-anak muda yang kuat bukan karena ototnya, tapi karena jiwanya yang tangguh dan damai.

Peran lembaga keagamaan juga sangat besar dalam mengarahkan para pelajar agar aktif dalam pelayanan di masing-masing tempat ibadah. Memperbanyak kegiatan juga menjadi salah satu cara positif dalam menyalurkan bakat dan minat para pelajar, sehingga tidak gampang teralihkan oleh aksi pribadi dan akan terpancing melakukan aksi penyerangan. Ini bukan hanya tanggung jawab orang tua, sekolah, pemerintah dan lembaga keagamaan. Ini tanggung jawab bersama sehingga membutuhkan aksi kolaboratif dan berkesinambungan.

Dinas Pendidikan Mimika diharapkan harus bersikap tegas dan aktif. Tak cukup hanya mengimbau, Dinas perlu menyiapkan protokol tanggap darurat untuk penanganan konflik antar pelajar. Membentuk tim pemulihan keamanan dan psikologi pascainsiden. Menyusun strategi pencegahan jangka panjang melalui pendidikan karakter, pelatihan guru, serta kolaborasi dengan kepolisian dan tokoh adat setempat. Menyediakan saluran mediasi lintas sekolah untuk menyelesaikan konflik antarpelajar sebelum membesar.

Penyerangan sekolah adalah puncak dari gunung es masalah sosial dan pendidikan. Jika tidak ditangani menyeluruh, bukan tidak mungkin Mimika akan menghadapi krisis keamanan pelajar yang makin akut. Sekolah harus kembali menjadi tempat damai. Dan itu hanya bisa terjadi jika semua pihak, terutama Dinas Pendidikan, bergerak cepat, tegas, dan tidak ragu membongkar akar masalah.

Ketika terjadi penyerangan sekolah atau tawuran antar pelajar, sekolah sebagai institusi pendidikan tidak boleh bersikap pasif atau defensif semata. Ada beberapa sikap yang perlu diambil secara cepat, tegas, dan strategis.

Seperti sekolah harus segera berkoordinasi dengan aparat keamanan setempat (Polsek, Babinsa, atau Satpol PP) untuk mengamankan area sekolah. Jika perlu, kegiatan belajar mengajar ditunda sementara demi keselamatan semua pihak.

Sekolah tidak bisa bekerja sendiri. Dinas Pendidikan harus dilibatkan untuk memberikan dukungan kebijakan, serta tokoh masyarakat dan adat untuk memberikan pendekatan kultural jika konflik melibatkan kelompok pelajar dari latar belakang tertentu.

Sikap sekolah harus tegas, terbuka, dan berpihak pada pembinaan siswa. Tidak boleh ada toleransi terhadap kekerasan, tetapi juga tidak boleh ada pendekatan yang hanya menghukum tanpa memulihkan. Penanganan harus menyeluruh karena yang dipertaruhkan bukan hanya nama baik sekolah, tetapi masa depan anak-anak Mimika.

Penulis: Sianturi