SALAM PAPUA (TIMIKA) – Kabar menggembirakan bagi masyarakat Mimika yang selama ini mendambakan kehadiran lembaga pengawas pelayanan publik kini terwujud. Ombudsman Republik Indonesia resmi membuka Posko Pengaduan di Kabupaten Mimika.

Ombudsman merupakan lembaga negara yang berwenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, serta menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat terkait dugaan maladministrasi seperti pelayanan tidak efisien, tidak jujur, atau tidak bersih. Lembaga ini juga berperan mendorong pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Ketua Posko Pengaduan Ombudsman Mimika, Antonius Rahabav, mengungkapkan bahwa posko yang baru beroperasi sekitar satu bulan di Timika tersebut sudah menerima puluhan laporan masyarakat. Posko ini dibentuk berdasarkan Keputusan Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Papua Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pembentukan Posko Siaga Ombudsman.

“Layanan pengaduan masyarakat di sini gratis, tanpa biaya apa pun. Masyarakat bisa langsung mengadu tanpa harus ke Jayapura atau Jakarta. Kami hadir di Mimika supaya lebih dekat dengan masyarakat,” ujar Antonius, Kamis (30/10/2025).

Menurutnya, Ombudsman menangani pengaduan dengan melihat dua unsur utama, yakni adanya korban dan pelaku. Korban adalah masyarakat, sedangkan pelaku bisa berupa pejabat negara, ASN, maupun pihak BUMN/BUMD yang mengelola keuangan negara.

Prosedur pengaduan dilakukan melalui formulir konsultasi atau laporan. Setelah diverifikasi, laporan yang memenuhi syarat diteruskan ke Perwakilan Ombudsman Papua di Jayapura dan selanjutnya ke Ombudsman Pusat untuk proses pemeriksaan.

Antonius menyebutkan, sejak berdiri, pihaknya telah memproses dan memverifikasi tiga laporan warga yang kini sudah masuk tahap pemeriksaan oleh Ombudsman Pusat, yakni:

Pertama, pembayaran ganti rugi tanah di tujuh titik lokasi, yang ditemukan adanya tindakan maladministrasi akibat penundaan berlarut-larut. Kedua, tindakan maladministrasi terhadap pekerja media oleh oknum aparat kepolisian.

Ketiga, pengaduan masyarakat adat Amungme dan Kamoro terkait penundaan pengakuan atas keberadaan dua suku tersebut oleh Pemkab Mimika, sebagaimana diamanatkan Perda Nomor 08 Tahun 2023 dan Permendagri Nomor 54 Tahun 2014.

“Yang paling banyak kami terima adalah laporan soal tanah, terutama pembayaran ganti rugi lahan tujuh titik yang penanganannya dibiarkan berlarut-larut,” jelasnya.

Dari hasil kajian, Ombudsman menemukan bahwa persoalan tanah di Timika sangat serius dan sumber utamanya adalah tidak adanya Panitia Pengadaan Tanah (P2T) yang sah di Pemkab Mimika.

Akibatnya, sistem pembayaran tanah menjadi semrawut dan tidak sesuai prosedur hukum. Banyak proses ganti rugi dilakukan hanya berdasarkan studi kelayakan tanpa verifikasi kepemilikan yang jelas, sehingga menimbulkan indikasi korupsi dan pemborosan anggaran daerah.

“Kami tidak menemukan adanya P2T yang serius. Dari penelusuran, SK P2T hanya ada saat Yonathan Demme Tangdilintin menjabat sebagai Pj Bupati Mimika. Setelah itu, setiap OPD langsung berhubungan dengan tim appraisal, padahal tidak seharusnya begitu,” tegas Antonius.

Menurutnya, kondisi ini menyebabkan anggaran ganti rugi lahan bisa dikategorikan ‘total loss’, karena dana yang dikeluarkan tidak sampai ke pemilik tanah sebenarnya dan aset Pemkab tidak tercatat dengan baik.

“Kalau yang paham soal korupsi, salah bayar itu termasuk total loss. Artinya, uang negara hilang percuma. OPD yang mengajukan pengadaan tanah harus bertanggung jawab,” ujarnya lagi.

Ombudsman akan mengeluarkan rekomendasi atas hasil pemeriksaan tersebut. Jika ditemukan indikasi korupsi, rekomendasi akan diserahkan kepada KPK, Kepolisian, atau Kejaksaan Negeri untuk ditindaklanjuti secara hukum.

Antonius berharap Pemkab Mimika segera menyelesaikan pembayaran ganti rugi lahan di tujuh titik yang selama ini dibiarkan tanpa kejelasan.

“Tujuh titik tanah ini menjadi sampel pemeriksaan kami dan ditemukan banyak kejanggalan. Kami minta Pemkab segera menuntaskan pembayaran tersebut,” tandasnya.

Penulis: Acik

Editor: Sianturi