SALAM PAPUA (NABIRE) – Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua, Pdt. Yahya Lagoan, M.Th., menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan mendalam atas pembunuhan Pdt. Neles Peuki, hamba Tuhan yang melayani di Kampung Mogodagi, Distrik Kapiraya, Kabupaten Deiyai, Papua Tengah.

Dalam insiden tersebut, enam warga dilaporkan terluka, sementara sejumlah rumah warga dan fasilitas umum milik pemerintah turut dibakar.

“Korban adalah pengerja gereja yang menjalankan tugas pelayanan sebagai koordinator. Kehadiran hamba Tuhan tidak pernah bertujuan menciptakan konflik atau kekerasan,” ujar Pdt. Yahya kepada wartawan di Nabire, Jumat (28/11/2025).

Ia menegaskan bahwa visi Gereja selalu membawa damai, bukan memicu pertikaian. “Para hamba Tuhan itu diutus ke ladang Tuhan untuk membawa kabar baik dan membangun iman jemaat, bukan menciptakan kekerasan,” katanya.

Menurutnya, para pelayan gereja hadir dalam konteks adat dan budaya untuk membebaskan umat dari berbagai tantangan, baik spiritual maupun sosial. “Kami sangat ngeri melihat kejadian ini. Kasihan. Orang-orang yang melakukan kejahatan itu, apakah untuk kepentingan negara, pribadi, atau pemerintah?” ucapnya.

Pdt. Yahya juga menyoroti konflik terkait batas wilayah dan pemekaran yang dinilai tidak boleh mengorbankan para pelayan Injil. “Pemekaran provinsi atau kabupaten sering membawa malapetaka. Mereka bukan datang untuk membangun orang Papua,” katanya.

Mengutip kitab Yohanes 10, ia menegaskan, “Pencuri datang untuk mencuri, membunuh, dan membinasakan, tapi Tuhan datang untuk membawa damai.”

Ia menjelaskan bahwa Injil sudah hadir lebih dahulu di tanah Papua jauh sebelum sistem pemerintahan modern berkembang, dan sejarahnya selalu identik dengan perdamaian, bukan konflik. “Hamba-hamba Tuhan itu hadir bukan untuk urusan kekuasaan. Mereka hanya membawa Injil Yesus Kristus,” tegasnya.

Pdt. Yahya mengutuk keras tindakan kekerasan terhadap pelayan gereja yang terus berulang. “Ini bukan pertama. Tahun 2018, seorang penerjemah bahasa di Dugama dibunuh. Di Intan Jaya juga pernah terjadi. Pemerintahan yang seharusnya membawa kesejahteraan malah membuat rakyat menderita,” ungkapnya.

Ia meminta pemerintah mengusut tuntas kasus ini, khususnya Pemkab Mimika yang menurutnya memiliki tanggung jawab atas kondisi yang memicu terjadinya kekerasan.

“Pelaku-pelaku itu harus diproses. Bertanggung jawab terutama Bupati Mimika. Isu yang kami dengar, orang-orang ‘K’ yang melakukan kejahatan itu datang sebagai pencuri, perampok. Dia harus menghargai hak ulayat kami sebagai orang Papua,” tegasnya.

Ketua Sinode Kingmi juga mendesak Pemerintah Mimika, Pemerintah Deiyai, dan Gubernur Papua Tengah untuk segera duduk bersama pimpinan gereja menyelesaikan persoalan batas wilayah yang memicu ketegangan. “Masalah batas membuat masalah. Hamba Tuhan kami jadi korban. Cukup sekali ini, jangan terulang lagi,” ujarnya.

Di akhir pernyataannya, Pdt. Yahya mengajak masyarakat tetap tenang dan menyerahkan proses hukum kepada pemerintah dan aparat penegak hukum.

“Kematian itu nyata, tetapi harapan tetap ada. Negara ini negara hukum, gereja juga punya hukum. Kami berharap masyarakat menahan diri dan pemerintah serius menyelesaikan konflik ini,” tutupnya.

Penulis: Elias Douw

Editor: Sianturi