SALAM PAPUA (TIMIKA) - Mengingat tanah adat khususnya
milik suku Amungme di Timika makin menipis, Lembaga Musyawarah Adat Suku
Amungme (LEMASA) menggandeng kuasa hukum dan berupaya memproteksi seluruh tanah
adat untuk keberlangsungan hidup generasi penerus suku Amungme.
Amungme Nagawan, Menuel Jhon Magal mengaku prihatin dengan
kondisi tanah adat yang saat ini tidak lagi dikuasai orang Amungme sendiri.
Meskipun ada tanah di wilayah gunung tetapi orang Amungme akan kesusahan.
"Kita tahu sekarang ini tanah-tanah adat semakin
sedikit, bahkan hampir habis. Makanya kami sebagai lembaga adat berupaya supaya
proteksi semua tanah adat. Kita tidak mau 20 tahun ke depan, tanah adat habis,"
ungkapnya saat menggelar konferensi pers, Rabu (25/10/2023).
Banyak aturan hukum dan undang-undang yang akan menjadi
instrumen dalam upaya proteksi tanah adat. Salah satu yang bisa menjadi pagar
dasarnya ialah undang-undang otonomi khusus (Otsus) bagi orang asli Papua
(OAP).
Berkaitan dengan hal itu, diharapkan ke depannya Bupati Mimika
dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) bisa bersama-sama melindungi tanah adat dua
suku yang ada di Timika sehingga masyarakat tidak kehilangan tanahnya. Dalam
hal ini, Pemkab dan BPN berjalan seiring dengan LEMASA memetakan seluruh tanah
adat.
"Tanah-tanah yang ada saat ini bukan tanah kosong.
Orang Amungme ada di atas tanah ini bukan karena negara dan PTFI ada. Orang
Amungme ada sejak nenek moyang sehingga kami harus pertahankan tanah adat
kami," katanya.
Disampaikan bahwa yang perlu diketahui, meskin tidak
terbukti secara tertulis, akan tetapi seluruh
orang Amungme tahu bagian-bagian tanah yang merupakan miliknya ataupun
milik orang lain. Namun seiring waktu karena harus dikuatkan dengan kepemilikan
sertifikat, maka banyak orang Amungme yang kehilangan tanahnya.
"Makanya kami ajak pemerintah, BPN, OPD terkait, dan
semua pihak untuk bekerjasama. Kita buat tim yang bagus demi perlindungan tanah
adat serta supaya masyarakat asli tidak kehilangan tanah," tuturnya.
Menuel menegaskan bahwa upaya pemetaan tanah adat yang
dilakukan tidak bermaksud mengganggu ataupun merebut tanah-tanah yang saat ini
telah ada pemiliknya, namun akan menata tanah-tanah yang konflik tanpa ada
pelepasan adat sehingga bisa diselesaikan secara musyawarah.
Sedangkan tokoh masyarakat Amungme, Agus Anggaibak menyampaikan,
seluruh masyarakat harus tahu bahwa tanah Papua merupakan tanah adat. Bagi
orang Papua, tanah adalah "Mama" yang harus dilindungi dan dijaga.
Agus menyebutkan, saat ini banyak oknum yang menjadi mafia
tanah dan berusaha memiskinkan OAP sehingga OAP menjadi pendatang di atas
tanahnya sendiri.
"Saya sampaikan kepada seluruh instansi yang berkaitan
dengan urusan tanah dan mengeluarkan sertifikat yang asal-asalan itu harus
stop. 10 atau 20 tahun mendatang, orang Amungme dan Kamoro akan menjadi
pendatang di atas tanah leluhurnya sendiri," kata Agus.
Saat ini Agus pun mengaku sementara menghadapi permasalahan
tanahnya, yaitu di pasar SP2 Timika. Padahal pasar tersebut merupakan tempat
mencari nafkahnya mama-mama Papua yang dibangun dengan dana APBN senilai Rp 3 Miliar
lebih. Namun saat ini ada oknum pendatang yang menggugat ke pengadilan bahwa
sebagian tanah pasar SP2 sebagai miliknya.
"Harusnya oknum yang bersangkutan itu tidak hanya
menggugat saya, tapi harus menggugat lembaga adat kami yang memberikan
pelepasan. Gugat juga pemerintah kampung yang memberikan rekomendasi. Oknum itu
sama dengan orang pengadilan, karena mereka gugat saya tanpa adanya informasi
secara resmi. Ini upaya yang sengaja memiskinkan kami orang asli (Papua),"
ujar Agus.
Selain tanah pasar SP2, tanah milik Agus yang ada di SP5
juga digugat orang lain, padahal tanah tersebut memiliki sertifikat asli secara
turun temurun sebagai warisan.
"Saya sudah ajukan bukti sertifikat lengkap atas tanah
itu ke pengadilan, tapi malah pengadilan memenangkan pihak lain. Itulah makanya
kami menduga penegak hukum dan BPN sengaja memiskinkan kami di atas tanah kami
sendiri," ujar Agus yang didampingi Kuasa Hukumnya, Ali Pati.
Dari pengalaman itu, Agus mengaku, siap berjalan bersama
LEMASA dan menggandeng kuasa hukum untuk menggenggam seluruh tanah adat di Mimika.
Sementara Kuasa Hukum Aloysius Ranwarin mengatakan bahwa persoalan
tanah di atas tanah Amungme sangat berat. Dalam hal ini orang Amungme dan
Kamoro ibaratnya memikul beban sejak masuknya Perusahaan besar di tahun 1968.
Hal itu pun berkelanjutan setelah investor-investor lainnya masuk.
"Betul sekali bahwa bagi orang Papua, tanah itu adalah
Mama sehingga harus dipertahankan," kata Aloysius.
Disampaikan, dalam undang-undang pokok Agraria sudah jelas
mengatur hak Ulayat. Demikian juga sistem kepemilikan tanah di Papua adalah
komunal atau milik bersama suku-suku yang ada. Karena itu, upaya pemetaan tanah
adat sangatlah penting agar generasi penerus Amungme tetap hidup di atas
tanahnya.
"Betul soal tanah adat saat ini menjadi beban berat
bagi orang Amungme dan Kamoro," katanya.
Untuk hal ini, Aloysius dan rekan-rekannya siap berjalan
bersama LEMASA sehingga bisa merancang tanah sesuai prosedur adat yang diakui
oleh negara. Aloysius dan rekan-rekannya siap membela LEMASA dalam melindungi
seluruh tanah adat di atas tanah Amungme.
Pria yang telah banyak menangani kasus tanah di Papua ini
mengaku, ia dan rekan-rekannya siap menegakkan undang-undang Agraria dan
undang-undang Otsus. Selain itu, sebagai kuasa hukum, pihaknya akan siapkan
materi Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) melindungi tanah adat di Timika.
"Kalau di Jayapura, siapapun yang mau beli tanah harus
ada pelepasan oleh lembaga adat supaya sah ketika mengurus sertifikat tanah.
Saya sangat bersyukur dengan kesepakatan Kepala BPN Timika yang siap berjalan
bersama LEMASA dalam memetakan tanah adat," ungkapnya.
Penulis : Acik
Editor : Jimmy