SALAM PAPUA (TIMIKA) - Film terbaru produksi Yoikatra Timika
berjudul Soebertono Mote atau The Silent Path akan tayang perdana (world
premier) di International Film Festival Rotterdam (IFFR) di Belanda, akhir
Januari 2024.
Film berdurasi 77 menit ini berkisah tentang seorang pastor
dari Belanda bernama Lambertus Hagendoorn atau Soebertono Mote yang tinggal di
Papua selama 50 tahun. Saat ia pulang ke
kampung halamannya dan kemudian meninggal di sana, buku hariannya dibaca oleh
pembuat film. Melalui pembacaan itu, menguak kisah-kisah lain yang tidak pernah
diceritakan oleh Pater Bert (sapaan-red) selama ia tinggal di Papua, khususnya
di Timika.
Dalam laman resmi IFFR, Kurator Film Srikanth Srinivasan
menilai film ini menampilkan imam tidak hanya sebagai otoritas klerikal, yang
memimpin pemakaman dan pembaptisan, namun sebagai manusia biasa dalam
lingkungan sederhana, terbuka terhadap dunia di sekitarnya.
“Baik terbaring terluka di ranjang rumah sakit atau
menikmati makanan bersama teman-temannya, dia tampaknya memiliki semangat dan
selera humor yang tak kenal lelah,” kata sang kurator.
Lanjutnya, meskipun film ini diakhiri dengan pidato yang
disampaikan pada pemakaman Pater Bert, film ini jauh dari hagiografi atau
sebuah karya biografi yang memuja subjeknya.
“Sebaliknya, The Silent Path tercatat sebagai kenangan bisu
tentang seorang warga Belanda yang penuh semangat yang menjadikan Papua sebagai
rumahnya, sebuah penghormatan pribadi dari pembuat film tersebut kepada sosok
yang menginspirasinya seperti yang dilakukan banyak orang lainnya,” kata
Srinivasan.
Sutradara film ini, Yonri Revolt mengatakan, film ini lebih
menghadirkan kenangan intim dari sosok Pater Bert.
“Pandangannya mengenai cinta, konflik bersenjata, dan
kolonialisme yang terjadi secara bersamaan selama 50 tahun mengabdi di Papua,
menjadi kisah yang dituturkan dalam film ini,” kata Yonri (13/1/2024).
Sebagai seorang imam Katolik, Pater Bert adalah pengkhotbah
kabar baik, pemikir dan tokoh yang disegani di masyarakat.
“Hingga nafas terakhirnya akibat Covid-19, belum ada rasa
hormat yang berarti terhadapnya. Dia datang sendirian ke Papua, dan pergi
sendirian,” kata Yonri.
Produser film, Rendy Rizal menjelaskan, film ini merupakan
upaya untuk mengenang dan menghormati jasa-jasa Pater Bert dan sejarah serta
kisah yang ia saksikan di Papua.
“Dia merupakan orang yang menjadi bapak bagi banyak orang
dan guru bagi sejumlah pemikir dan seniman di Papua, dia juga menjadi saksi
dari banyak sejarah dan perubahan penting di Papua, dari era Orde Baru hingga
Reformasi” kata Rendy.
Film akan tayang di sejumlah lokasi di Rotterdam, Belanda
pada 26, 29, dan 30 Januari 2024.
Rendy Rizal sendiri akan mewakili seluruh tim
mempresentasikan film ini kepada audiens internasional di Rotterdam. Perjalanan
yang merupakan aktivitas pertukaran pengetahuan seni ke luar negeri ini
mendapatkan sponsor penuh dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia.
“Untuk selanjutnya, film ini akan berkeliling di sejumlah
festival di luar negeri dan kembali ke Timika untuk diputar dan ditonton
bersama,” tutup Rendy.
Yoikatra merupakan organisasi nirlaba-egaliter yang aktif
memproduksi, mengarsipkan, dan mendokumentasikan film dan media di Papua.
Berdiri di Timika pada 16 Juni 2014 oleh para jurnalis, seniman, dan aktivis
muda Papua, Yoikatra telah memproduksi berbagai macam film dengan isu budaya,
perburuhan, kesehatan, dan HAM. Film Yoikatra berjudul Mayday! May Day! Mayday!
(2022) memenangkan Peransi Award di Arkipel - Jakarta International
Experimental and documentary Film Festival 2022, Official Selection di Festival
Film Dokumenter Jogja dan Internasional Film Festival Rotterdam 2023, dan
nominasi dokumenter panjang terbaik FFI 2023.
Penulis: Tim Yoikatra
Editor: Acik