SALAMPAPUA (TIMIKA)- Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (Lemasko) Kabupaten Mimika menegaskan, bahwa Kampung Wakia yang terletak di Distrik Mimika Barat adalah Tanah Ulayat dan Adat Suku Kamoro. Hal itu tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Demikian ditegaskan pihak Lemasko dan para kepala suku serta perwakilan OKIA, ketika menggelar konferensi pers di Ossa de Villa, Rabu sore (29/05/2024).

Hadir dalam kesempatan itu Marianus Maknaipeku selaku Pimpinan Lemasko yang membidangi Hubungan Luar, Kepala Suku Wakia, Kosmas Roitapunamo, Kepala Suku Uta, Klemens Ipiaya, Antonius Tapipea, Tokoh Intelektual Kamoro dan juga Wakil Ketua OKIA serta Jeremias Imbiri Iri, Tokoh Masyarakat Wakia.

“Makanya kalau mau menaikkan berita-berita soal Wakia tanyalah ke sumbernya supaya jelas, bukan asal bunyi,” tegas Marianus.

Dia juga menegaskan bahwa adanya alat berat di Wakia didatangkan atas kesepakatan bersama warga. Sehingga pihaknya dari Lembaga Adat Lemasko sangat menyetujui pertambangan emas yang saat ini sedang ramai dan masyarakat sudah menyetujui hal itu. Kepala Dinas Pertambangan Papua Tengah juga diharapkan untuk segera menjawab, dan membuat satu rekomendasi dan memproses adminitrasi untuk melegalkan hal tersebut sehingga bisa jalan.

“Nanti mekanisme yang lain-lain itu kami dari Lembaga memberikan kepercayaan penuh kepada pimpinan kampung, dengan kepala suku dan Masyarakat. Tapi Lemasko mau meluruskan secara wilayah adat, bahwa Mimika masuk ada di wilayah atas. Saya mohon kepada Pemkab Mimika yang kurang memperhatikan Mimika Barat Tengah selama ini yang notabene sudah dirampas,” terangnya.

Mimika saat ini khususnya di Mimika Barat Tengah ada di bayang-bayang akibat masalah tapal batas tanah antara Mimika dengan Dogiya, Deiyai, Nduga harus diperhatikan. Untuk itu, Kampung Wakia masih berstatus tanah adat Suku Kamoro. Hingga saat ini patok belum dibuat di perbatasan antar kabupaten, sehingga hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.

“Jadi saudara-saudara yang mau datang harus bangun komunikasi terhadap kampung asli. Wakia masih masuk Wilayah Adat Mimika dan Wilayah Adat Bomberay bersama Kaimana dan Fakfak,” jelasnya.

Adapun pihak-pihak yang mengklaim Kampung Wakia adalah dari Nabire, Deiyai bahwa itu mereka punya. Ada juga yang demo dan menyerang padahal itu wilayah Mimika.

“Kalau mau mengklaim silahkan di kampungmu, jangan di kampung saya. Itu orang pu kampung, itu sa pu barang. Saya punya mau saya makan, mau diapakan itu urusan saya. Tapi jangan merampas,” tegasnya.

Ke depan Lemasko menegaskan, agar klaim mengklaim dari kabupaten lain tidak lagi terjadi, persoalan tapal batas harus segera diselesaikan antar Pemkab di Papua Tengah, sehingga bisa memproteksi wilayah Mimika.

“Pemerintah harus perhatikan ini dan Lemasko khawatir sebab ini ancaman bagi generasi berikutnya sehingga hal ini bisa diatur baik. Harus ada patok dengan kabupaten lain. Lemasko ada kekhawatiran jangan sampai ketika DOB muncul itu jadi satu paket. Jadi Pemkab harus segera selesaikan tapal batas. Ini PR bagi Pemkab dan DPRD Mimika,” ungkapnya.

Meski beberapa waktu lalu ada pertemuan dengan para bupati se Papua Tengah di Mimika dan Jayapura, namun bupati Deiyai saat itu tidak hadir, sehingga masalah ini gak selesai-selesai. Bahkan PT PAL juga bermasalah soal tapak batas tanah.

‘Makanya Pemkab jangan hanya bersenang-senang dengan APBD Rp 7,5 triliun. Tapi hal-hal seperti ini juga harus diselesaikan, agar semua masalah ini selesai,” tandasnya.

Sementara itu, Jeremias Imbiri Iri menegaskan bahwa tambang emas rakyat adanya di Kampung Wakia, bukan di Mogodagi. Hal ini harus diluruskan dan itu hoax kalau dikatakan di Mogodagi. Sebab Mogodagi masuk dalam wilayah administrasi Deiyai. Mogodagi ada dalam lintasan jalan Kapiraya.

“Wakia itu di kilo 18 di jalan lintasan yang sama. Mogodagi ditempati Masyarakat dari Suku Mee, namun tiba-tiba masuk administrasi Deiyai padahal itu masuk Mimika. Mungkin karena adanya potensi kayu, emas dan sumber daya alam lainnya di Wakia, bukan di Mogodagi,” ujar Jeremias.

Sementara itu Kepala Suku Wakia, Kosmas Roitapunamo menambahkan pihaknya jika mau mendatangkan alat berat untuk normalisasi sungai tidak memiliki dana, sehingga pihaknya ketika menyewa alat berat menggunakan sistem barter.

“Pekerja nanti menggunakan emas nanti tolong buatkan kita jalan. Dari kampung sampai ke Pantai Wakia.  Lagi pula sudah ada sekitar 15 tahun aliran Sungai Wakia sudah tertutup. Aliran air dibuang ke Umuka, sehingga kami tidak punya akses kemana-mana,” terangnya.

Di Wakia sendiri fasilitas kesehatan dan petugasnya tidak ada. Sekolah juga tidak ada sehingga anak-anak belajar secara paralel di satu gereja. Sehingga hal ini juga harus menjadi perhatian serius pemerintah.

“Sekolah dan faskes tidak ada. Orang sakit di Wakia sakit harus ke Uta dimana ada Puskesmas Wakia. Kita turun ke Kapiraya yang jaraknya 18 kilometer dengan longboat ke Uta selama sejam. Itu kalau ada longboat, kalau tidak ada ya mati di situ,” paparnya.

Jeremias menambahkan saat ini, warga yang hendak masuk ke area pertambangan rakyat dikoordinir oleh Jhon Iri. Sehingga siapapun yang hendak masuk ke Kampung Wakia tidak masuk sembarangan tanpa seizin warga Wakia.  Warga yang datang dibentuk berkelompok-kelompok dan diatur dan dalam rentang waktu tertentu memberikan Sebagian hasil yang didapatkan warga tersebut kepada pihak warga Kampung Wakia.

“Kita berharap pemerintah Mimika memperhatikan masalah ini sehingga tidak ada masalah di masa depan,” imbuhnya.

Sementara itu, itu Antonius Tapipea mengatakan, Wakia adalah masuk wilayah Mimika Barat Tengah beribukota Kapiraya, sehingga pihaknya mengklaim bahwa itu masuk wilayah Mimika. Kemudian soal pertambangan yang sedang berjalan, beberapa waktu lalu pihaknya belum mengetahui secara jelas perkembanan di Wakia dan setelah kemudian berdiskusi tentang bagaimana masyarakat di sana dan ini memang sudah cukup lama.

“Saya berpikir bahwa kalau ada koperasi, kalau ada bagian-bagian hukum dari koperasi membantu Masyarakat dalam bentuk kemitraan kepada Perusahaan-perusahaan yang punya modal dan dapat membantu masyarakat, saya kira ini sebuah peradaban baru. Yang mana itu dapat menolong pemerintah, sehingga itu diatur dalam regulasi,” kata Anton.

Menurutnya, kehadiran koperasi ini akan menjadi mitra bagi Perusahaan sehingga bisa membuka akses bagi masyarakat, hal pasti didukung para tokoh masyarakat dan warga sendiri.

“Soal pertambangan ini, kami semua mengawal proses ini. Bahwa pertambangan ini benar-benar adalah pertambangan rakyat. Bukan pertambangan illegal, karena sementara diurus oleh Dinas Pertambanga, MRP termasuk Lemasko sehingga dengan ini kami mau mengedukasi publik bahwa untuk Wilayah Mimika Barat Tengah sedang berproses,” terangnya.

Anton yang juga ketua LPPD Mimika ini menambahkan, bahwa yang pasti Wilayah Kampung Wakia adalah wilayah Adat Suku Kamoro.  

Penulis/Editor: Sianturi