SALAM PAPUA (TIMIKA) - Adanya pernyataan dan dorongan keras
dari Majelis Rakyat Papua (MRP) yang meminta, agar nantinya di Pemilihan Kepada
Daerah (Pilkada) serentak 2024 harus diisi oleh Orang Asli Papua (OAP),
mendapat tanggapan dari beberapa masyarakat, salah satunya dari Ketua DPC
Hanura Kabuapaten Mimika, Saleh Alhamid.
Saleh menegaskan, pada pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia menyebutkan
bahwa “setiap warga negara berhak untuk
dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui
pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sehingga apabila MRP
menginginkan Pilkada harus OAP, maka jelas pernyataan ini menyalahi aturan.
“Kalau MRP hanya menginginkan agar Bakal Calon Bupati dan
Wakil Bupati di Mimika hanya untuk OAP, maka yang Orang Bukan Papua (OBP) alias
pendatang juga tidak perlu memilih,” ujarnya saat dikonfirmasi salampapua.com,
Senin (20/5/2024).
Ia menjelaskan, terkait undang-undang tersebut dalam Pasal
2, bahwa setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan
langsung atau tidak dengan perantara wakil yang dipilihnya dengan bebas,
menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
“Kalau sampai tetap dalam menginginkan Pilkada 2024 di
Mimika harus OAP, maka saya minta Pemerintah Pusat lakukan revisi pada
undang-undang tersebut atau dibatalkan saja Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
39 tahun 1999 tentang HAM, supaya apa? Supaya kita tidak ada masalah lagi, jadi
kita (pendatang) tidak usah memilih,” tegasnya.
Menurutnya, saat ini tahapan Pilkada 2024 telah berjalan,
sehingga untuk keterpihakan tersebut dirinya merasa akan terlambat untuk Bupati
dan Wakil Bupati Mimika, namun untuk Gubernur yang telah memiliki regulasi
dapat berjalan sesuai undang-undang yang dikeluarkan.
“Seharusnya sudah tidak boleh ada perdebatan, karena
Pemerintah Pusat telah memberikan hak Otsus kepada DPRK atas 9 kursi tanpa
adanya pemilihan, bahkan sudah ada regulasi untuk Gubernur dan Wakil Gubernur.
Jadi saya rasa untuk Bupati dan Wakil Bupati dapat diisi oleh pendatang,”
tutupnya.
MRP Dorong Kepala Daerah Harus OAP
Sementara itu sebelumnya, Ketua MRP Provinsi Papua Tengah
(PPT) , Agustinus Anggaibak mengatakan, setelah dibentuknya MRP se-Papua ada 23
kesepakatan yang harus didorong MRP. Namun melihat situasi saat ini MRP
se-Papua telah menetapkan untuk fokus pada satu poin yaitu Bupati, Wakil
Bupati, Walikota, Wakil Walikota, Gubernur, dan Wakil Gubernur harus OAP.
Penetapan tersebut bukan tanpa dasar, namun sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus, pada Pasal 20 dimana MRP Mempunyai Tugas dan Wewenang memberikan
pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur
yang diusulkan oleh penyelenggara Pilkada.
“Dalam pasal 20 itu memang hanya untuk Gubernur dan Wakil
Gubernur, namun kami sekarang sedang berjuang dan mendorong untuk regulasi
tersebut direvisi kembal sehingga semua Kepala Daerah harus OAP,” ujarnya saat
melakukan Jumpa Pers di Jalan Timika Indah, Minggu (19/5/2024).
Ia menjelaskan, dorongan tersebut dilakukan MRP dengan
melakukan koordinasi bersama Pemerintah Pusat, Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Maksud dan tujuan MRP
meminta revisi Pasal 20 tersebut dikarenakan, semua konflik yang terjadi di
Papua ini hanya bisa diatasi oleh OAP.
“MRP berkeinginan untuk menjawab niat baik Pemerintah Pusat
yang telah kembali memberikan Otsus jilid 2 ini, sehingga apabila jilid 2 ini
mau berhasil, harus OAP yang menjadi tuan di tanahnya, menjadi pemimpinnya dan menjadi
pereda konflik di daerahnya,” jelas Agustinus.
Menurutnya, apabila OAP telah menjadi pemimpin di daerahnya
maka dapat mengangkat dan meningkatkan OAP dalam segala sektor, dari
pendidikan, kesehatan maupun politik, sehingga OAP tidak minta merdeka namun
dapat bangkit dalam satu bingkai NKRI.
“Ini masih ada waktu 3 bulan untuk merevisi undang-undang
tersebut, sebelum masuk pada Pilkada. Undang-undang ini yang buat manusia jadi
harus bisa diubah. Mari semua masyarakat Papua maupun non Papua kita sama-sama
mengangkat OAP menjadi tuan di tanah leluhur mereka, sehingga OAP tidak dapat
dipisahkan dari NKRI,” ungkapnya.
Ia menambahkan, apabila ada satu dua orang atau pihak
manapun yang tidak dapat menerima revisi yang diminta oleh MRP maka itu
merupakan hak setiap orang dalam demokrasi. Namun ia memastikan, regulasi
tersebut harus tetap dijalankan sebab ini bukan hanya aspirasi MRP namun
aspirasi semua masyarakat OAP.
“Apabila ada kelompok-kelompok yang berbicara ini itu yang
tidak setuju, tidak apa-apa. Karena sekarang sistem demokrasi, yang jelas kami
tetap dorong revisi ini,” tutupnya.
Penulis: Evita
Editor: Sianturi