SALAM PAPUA (TIMIKA)- Selain sebagai tempat tinggal,
honai juga berfungsi sebagai tempat menyimpan senjata, mendidik anak-anak,
hingga mengatur strategi perang. Honai merupakan salah satu produk kekayaan
budaya masyarakat Papua berupa bangunan atau rumah adat. Ciri khas honai
sebagai rumah adat terletak pada bentuk, fungsi, dan strukturnya. Ciri khas
tersebut tentunya dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat setempat.
Di Mimika sendiri, masih ada warga yang tinggal di honai
meski tidak banyak, terutama yang masih tinggal di daerah pegunungan. Honai terlihat
kokoh dan pekarangan di sekelilingnya ditanami dengan tanam-tanaman pangan seperti
umbi-umbian dan sayuran.
Dalam e-modul"Keberagaman di Sekitarku" rumah adat
adalah hasil dari penggunaan peralatan dan teknologi oleh kelompok masyarakat.
Hal inilah yang kemudian menciptakan keunikan-keunikan pada setiap rumah adat
yang ada di Tanah Air, termasuk honai.
Secara spesifik, rumah adat honai lahir dalam kebudayaan
suku Dani di Papua. Melansir buku elektronik "Rumah Adat Nusantara"
suku Dani adalah suku yang tinggal di lembah dan pegunungan di bagian tengah
Papua. Wilayah tinggal suku Dani berada di lembah Baliem atau Wamena, sementara
suku Dani Barat atau suku Lani hidup di wilayah Pegunungan Toli.
Suku Dani merupakan salah satu suku di Papua yang
menggantungkan hidupnya dari alam. Awal mulanya, Suku Dani tidak tinggal di
honai, melainkan di bawah pohon-pohon besar. Namun, tinggal di bawah pohon saja
tidak bisa melindungi dari udara dingin, angin kencang, dan hujan deras.
Seiring berjalannya waktu, Suku Dani mulai mempelajari cara
membangun hunian yang bisa melindungi mereka dari kondisi alam sekitar. Dari
sinilah kemudian masyarakat mulai membangun rumah sederhana yang kemudian
disebut onai atau honai.
Berbeda dengan rumah adat lainnya, rumah adat honai memiliki
bentuk yang bundar dengan struktur dinding yang melingkar. Ini yang menjadikan
rumah adat tersebut unik dan berbeda dibanding rumah adat lainnya.
Bentuk honai yang melingkar tersebut tentu tidak mudah
dibuat. Namun, masyarakat suku Dani sangat ahli membuatnya meskipun tidak
menggunakan jangka atau peralatan khusus. "Seseorang pernah berkata bahwa
kemampuan itu berasal dari hati," terang Fangnania Trifena Rumthe dalam
"Rumah Bundar."
Honai sederhana hanya terdiri dari satu pintu dan tidak
memiliki jendela. Padahal Suku Dani juga meletakkan tungku api yang dibakar di
dalam honai sebagai penghangat.
Oleh karena itu, sirkulasi udara tidak berjalan dengan baik,
menyebabkan asap mengendap di sekitar rumah. Hal ini menyebabkan banyak
masyarakat Suku Dani terkena masalah pernapasan ketika tinggal di dalam honai
sederhana.
Kabar baiknya, saat ini masyarakat Suku Dani sudah mengenal
honai sehat yang memiliki jendela di sekitarnya. Bangunan pun juga dibuat
kokoh, dengan menambahkan batu sebagai penguat struktur. Honai dibuat dari
bahan-bahan yang seluruhnya didapat dari alam. Rumthe menjabarkan sejumlah
bahan yang dibutuhkan dalam membuat honai, yaitu:
Proses pembuatan rumah honai sendiri tidak dilakukan
sendirian, melainkan bergotong-royong. Ketika seseorang ingin membangun honai,
ia akan mengundang kerabat dan saudaranya. Setiap orang yang diundang kemudian
diajak melakukan tradisi bakar batu atau kegiatan makan bersama.
Untuk membuat rumah honai, masyarakat terlebih dahulu
menggali tanah tempat untuk membangun honai. Tanah digali akan menjadi tempat
untuk menancapkan papan cincang. Galian tersebut dibuat untuk mencegah tiang
tidak cepat lapuk karena resapan air.
Galian tanah dibuat dalam bentuk melingkar dengan papan
cincang ditancapkan mengikuti lingkaran tersebut. Papan cincang yang sudah
ditancapkan kemudian diikat dengan tali rotan, sulur, atau akar pohon agar
dapat berdiri kokoh.
Selanjutnya, masyarakat suku Dani membangun rangka atap
menggunakan kayu buah. Rangka ini berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan
rumput dan alang-alang sebagai atap. Alang-alang adalah bahan yang cepat
membusuk, sehingga membutuhkan pengasapan untuk memperlambat pembusukannya.
Selagi badan honai dibangun oleh para pria, para wanita
menganyam lokop atau pinde. Anyaman tersebut akan dibentuk sebagai tikar untuk
alas tidur. Tikar lokop atau pinde untuk tidur biasanya dilengkapi dengan
rumput-rumput kering agar lebih hangat.
Sebagai sentuhan terakhir, sebuah tungku api dibangung di
dalam honai. Tungku tersebut berfungsi sebagai penghangat ruangan sekaligus
tempat untuk membakar ubi. Honai yang dibangun dengan baik dapat bertahan
selama 4 hingga 5 tahun. Jika honai sudah tidak bisa digunakan lagi, maka
masyarakat Suku Dani akan kembali membangunnya dengan proses yang sama.
Fungsi dan Jenis Honai
Selain sebagai tempat tinggal, honai juga memiliki berbagai
fungsi lainnya dalam kehidupan masyarakat suku Dani. Dalam "Indonesiaku
Unik" honai juga digunakan sebagai tempat menyimpan senjata, tempat
mendidik anak, tempat menaruh hewan ternak, tempat berdiskusi, hingga tempat
merencanakan dan mengatur strategi perang. Dengan banyaknya fungsi tersebut,
maka dibagilah honai dalam tiga jenis, yaitu:
1. Honai Laki-laki
Honai laki-laki adalah honai tempat tinggal kaum laki-laki
dan anak laki-laki yang beranjak dewasa. Honai jenis ini biasanya dibuat lebih
besar karena juga digunakan sebagai tempat pertemuan dan menyambut tamu. Di
honai inilah masyarakat Suku Dani mendidik anak laki-laki untuk memimpin dan
bertanggung jawab atas keluarga serta sukunya.
2. Ebei atau Honai Perempuan
Honai perempuan digunakan untuk tempat tinggal perempuan,
anak-anak, dan remaja perempuan. Di ebei anak-anak perempuan mendapat
pendidikan untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menganyam noken.
3. Wamai atau Honai Kandang Babi
Wamai adalah honai yang dibangun untuk meletakan ternak
babi. Hewan ternak berupa babi merupakan aset yang berharga bagi masyarakat
suku Dani, maka dari itu hewan ternak juga diberi tempat tinggal berupa honai.
(tirto.id)
Editor: Sianturi