SALAM PAPUA (TIMIKA) – Menyikapi polemik pendirian Pondok
Pesantren Al Islami Tahfidzil Qur’an An Nahdhiyyah di SP3, Timika, Kementerian
Agama (Kemenag) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Mimika
menggelar pertemuan dengan dua pihak terkait: perwakilan Gereja Baptis Batu
Karang SP3 dan pengurus yayasan pondok pesantren, Sabtu (19/7/2025) di Kantor
FKUB Mimika, Jalan Yos Sudarso.
Ketua FKUB Mimika, Dr. Jeffreys Hutagalung, kepada
Salampapua.com menjelaskan bahwa pertemuan ini menjadi langkah awal untuk
mendengarkan langsung pendapat kedua pihak serta menggali akar persoalan.
“Dari gereja disampaikan bahwa ada dua hal utama yang
menjadi keberatan, yaitu jarak antar rumah ibadah yang terlalu dekat dan
kurangnya komunikasi. Sementara pihak pondok pesantren merasa sudah lama
tinggal di wilayah tersebut dan menganggap semua orang sudah saling kenal,
sehingga mengabaikan pentingnya komunikasi awal,” jelasnya.
Jeffreys menekankan bahwa komunikasi tetap harus dibangun,
terlebih jika menyangkut persoalan keyakinan.
“Keyakinan itu sudah mengkristal. Tidak bisa diganggu, tidak
bisa dipengaruhi, dan tidak bisa memengaruhi. Maka dari itu komunikasi tetap
penting, meski antara teman dekat sekalipun,” ujarnya.
FKUB juga mengingatkan bahwa beredarnya video dan komentar
di media sosial berpotensi menimbulkan salah tafsir di tengah masyarakat.
“Kita harap masyarakat menahan diri. Banyak komentar di
media sosial sulit dipertanggungjawabkan. Gereja juga sudah menjelaskan bahwa
saat terlihat membawa alat atau benda tertentu, itu bukan untuk mengancam,
melainkan karena mereka baru saja berkegiatan,” tambahnya.
Jeffreys menggarisbawahi bahwa penolakan terhadap rencana
pembangunan pesantren diduga muncul karena adanya hambatan komunikasi. Ia juga
menilai masyarakat Papua umumnya memiliki sikap terbuka dan menjunjung tinggi
nilai adat serta toleransi.
“Saudara-saudara kita di Papua memiliki karakter yang
beradab dan bermartabat dalam hal keyakinan dan keberagaman. Mereka berbeda
dengan suku lain karena budaya mereka dibentuk oleh kearifan lokal,” katanya.
Ketua FKUB berharap ke depan setiap rencana pembangunan
tempat ibadah dapat diawali dengan komunikasi terbuka kepada semua tokoh
masyarakat setempat.
“Pengurus ponpes seharusnya lebih dahulu bertemu para tokoh
masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman. Jangan kaitkan kejadian ini
dengan peristiwa di luar Papua, karena masyarakat kita punya kekhasan
tersendiri dalam hidup bersama,” tandasnya.
FKUB juga akan terus berkoordinasi dengan Kemenag,
Kesbangpol, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menindaklanjuti hasil
pertemuan ini.
“Kita tidak ingin terburu-buru, tapi juga tidak boleh
terlalu lama. Harus dicari momentum yang tepat, karena ini menyangkut hal-hal
yang sangat sensitif menyangkut hati,” pungkas Jeffreys.
Penulis/Editor: Sianturi