SALAM PAPUA (TIMIKA)- Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya Pertalite dan solar, di Kabupaten Mimika dalam beberapa hari terakhir kembali menunjukkan betapa rentannya sistem distribusi energi kita di daerah.

Lonjakan harga yang menembus Rp25.000 bahkan Rp30.000 per liter di pengecer menjadi simbol dari buruknya tata kelola energi di tingkat lokal. Bahkan ada yang menjual Rp50 ribu per botol besar air mineral. Ironis. Dalam situasi ini, bukan hanya Pertamina yang harus disorot, tetapi juga peran aktif Pemerintah Kabupaten Mimika dan DPRK Kabupaten Mimika sebagai pengawas dan penyambung aspirasi rakyat.

Sebagai BUMN yang memegang mandat distribusi energi nasional, Pertamina memiliki tanggung jawab tidak hanya menyediakan BBM, tetapi juga menjamin distribusi yang adil, merata, dan terjangkau. Kelangkaan di SPBU resmi, sementara stok tetap tersedia (namun mahal) di tangan pedagang eceran, menandakan ada mata rantai distribusi yang bocor atau bahkan disengaja dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk keuntungan pribadi.

Pertamina wajib menjelaskan kepada publik: Apa penyebab utama kelangkaan BBM di Mimika? Berapa kuota BBM yang diberikan untuk Mimika? Bagaimana sistem pengawasan dan evaluasi terhadap SPBU dan agen penyalur dilakukan? Tanpa keterbukaan, krisis seperti ini akan terus berulang.

Fungsi pengawasan adalah salah satu tugas utama Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK). Dalam konteks ini, DPRK Mimika seharusnya tidak tinggal diam melihat krisis energi yang memukul rakyat kecil.

DPRD memiliki hak: Memanggil Pertamina untuk rapat dengar pendapat (RDP), mendesak Pemkab untuk segera bertindak dan membentuk tim pengawasan khusus (panitia kerja atau pansus) jika diperlukan

Sudah saatnya DPRK Mimika turun ke lapangan, bukan hanya menunggu laporan di meja. Krisis BBM bukan isu kecil. Ini soal roda ekonomi rakyat, mobilitas, dan daya beli yang tergerus. Rakyat butuh wakil yang berani bersuara lantang, bukan hanya saat kampanye, tetapi ketika kebutuhan mereka terancam.

Pemerintah Kabupaten Mimika, melalui dinas teknis terkait seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Bagian Ekonomi, memiliki kewenangan untuk:

Mengawasi harga dan distribusi BBM di pasaran, melakukan sidak ke SPBU dan pedagang eceran, menyampaikan laporan dan koordinasi resmi ke Pertamina dan pemerintah pusat.

Jika Pemkab hanya menyerahkan semua urusan BBM ke Pertamina, maka Pemkab sedang melepas tanggung jawab moralnya terhadap rakyat. Pemerintah daerah tidak bisa abai terhadap kondisi ini, apalagi jika dugaan penimbunan dan permainan harga semakin terbukti.

Kelangkaan BBM bukan masalah baru. Ia terus berulang dengan pola yang sama: kelangkaan antrean panjang harga naik distribusi tidak merata rakyat marah pihak berwenang saling lempar tanggung jawab.

Sudah waktunya pola ini diputus. Pertamina, DPRK, dan Pemkab Mimika harus duduk bersama, membuat sistem distribusi yang transparan, pengawasan berbasis data, dan sanksi tegas untuk siapa pun yang bermain di tengah penderitaan rakyat.

Rakyat Mimika tidak butuh alasan teknis yang berbelit. Mereka butuh BBM tersedia, harga stabil, dan pelayanan yang adil. Dan untuk itu, ketiga pilar utama Pertamina, DPRK, dan Pemkab Mimika harus menjalankan perannya secara aktif, serius, dan bertanggung jawab.

Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Mimika bukan hanya tentang harga Pertalite yang tembus Rp25.000 hingga Rp30.000 per liter bahkan Rp50.000 per botol kemasan 1600 ml. Ini adalah krisis yang menyentuh langsung sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ojek tidak bisa beroperasi, harga logistik naik, dan akses masyarakat terhadap layanan dasar ikut terganggu. Namun, dalam situasi seperti ini, kita tidak bisa hanya menunjuk Pertamina, Pemkab, atau DPRK. Rakyat pun harus bersikap.

Masyarakat bukan hanya korban dalam situasi ini. Rakyat adalah bagian dari sistem sosial dan pengawasan publik. Ketika pemerintah lambat merespons, ketika lembaga pengawas tidak menjalankan fungsinya, maka suara rakyat menjadi penyeimbang yang krusial.

Penulis: Sianturi