SALAM PAPUA (TIMIKA) – Dua kelompok warga yang bertikai di Distrik Kwamki Narama masih enggan melakukan prosesi patah panah (ritual perdamaian adat) sebelum hadirnya perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Mimika dan Pemerintah Kabupaten Puncak.

Kapolsek Kwamki Narama, Ipda Yusak Sawaki, menjelaskan bahwa Polres Mimika bersama pemerintah distrik telah berupaya melakukan koordinasi dan mediasi antara kedua kelompok. Namun, warga dari kedua belah pihak tetap bersikukuh agar prosesi adat tersebut melibatkan dua pemerintah kabupaten.

“Memang situasi sampai hari ini sudah kondusif, tetapi dua kelompok yang bertikai belum bubar dan masih berjaga-jaga di masing-masing kubu. Mereka mau patah panah, tapi syaratnya harus dihadiri Pemkab Mimika dan Pemkab Puncak,” ujar Ipda Yusak, Selasa (11/11/2025).

Ia menuturkan, prosesi patah panah harus disertai dengan acara bakar batu (penyembelihan babi) sebagai simbol perdamaian adat. Karena itu, Polsek dan Komite Pemuda Kwamki Narama telah menjalin komunikasi lanjutan agar pemerintah daerah segera turun langsung untuk memfasilitasi perdamaian.

“Selama ini yang terlibat koordinasi baru Polres dan pemerintah distrik. Karena itu, Komite Pemuda Kwamki Narama juga sudah berkoordinasi dengan Pemkab Mimika dan Pemkab Puncak agar mereka hadir dalam prosesi adat nanti,” jelasnya.

Berdasarkan data kepolisian, jumlah korban luka akibat perang panah yang terjadi sejak Oktober 2025 mencapai 46 orang.

“Yang kami data ada 46 korban luka, namun kemungkinan masih ada beberapa yang belum melapor,” ungkap Kapolsek.

Ia menambahkan, meskipun situasi lapangan mulai kondusif, ancaman balas dendam (bayar kepala) pasca tewasnya seorang pendeta masih terdengar dari pihak keluarga korban.

“Ancaman bayar kepala itu masih ada, tapi kami terus berusaha meredam dan memberi pemahaman kepada pihak korban agar tidak terjadi konflik susulan,” tutupnya.

Penulis: Acik

Editor: Sianturi