SALAM PAPUA (TIMIKA)- Kabupaten Mimika merupakan salah satu
wilayah strategis di Papua Tengah dengan potensi sumber daya alam yang besar,
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta menjadi pusat aktivitas
pemerintahan, industri, dan migrasi penduduk. Namun, di balik geliat
pembangunan tersebut, Mimika masih kerap dihadapkan pada konflik antar warga
yang berdampak serius terhadap stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat
(kamtibmas).
Konflik horizontal yang terjadi baik dipicu oleh persoalan
lahan, kasus perselingkuhan, kesalahpahaman antar kelompok, pengaruh minuman
keras, hingga provokasi informasi di media sosial menjadi ancaman nyata bagi
iklim pembangunan yang berkelanjutan. Setiap konflik yang berujung kekerasan
bukan hanya menimbulkan korban jiwa dan luka-luka, tetapi juga menciptakan rasa
takut, trauma sosial, serta ketidakpercayaan antarkelompok masyarakat.
Dari perspektif pembangunan, konflik antar warga berdampak
langsung pada terhambatnya aktivitas ekonomi. Akses jalan bisa terputus,
kegiatan usaha terhenti, pelayanan publik terganggu, bahkan investasi
berpotensi tertunda. Kondisi keamanan yang tidak stabil membuat pelaku usaha
dan investor bersikap lebih berhati-hati, sementara masyarakat kecil menjadi
pihak yang paling merasakan dampaknya mulai dari sulitnya akses bahan pokok
hingga berkurangnya penghasilan.
Situasi kamtibmas yang terganggu juga memaksa aparat
keamanan untuk fokus pada penanganan konflik jangka pendek, sehingga energi dan
sumber daya yang seharusnya digunakan untuk pembinaan masyarakat dan pencegahan
kejahatan menjadi terbagi. Padahal, pembangunan yang efektif membutuhkan
suasana aman, kondusif, dan kepercayaan kolektif antara pemerintah, aparat, dan
masyarakat.
Di sisi lain, konflik antar warga sering kali mencerminkan
persoalan sosial yang lebih dalam, seperti ketimpangan ekonomi, pengangguran,
lemahnya literasi hukum, serta belum optimalnya ruang dialog antar komunitas.
Tanpa penanganan menyeluruh, konflik berpotensi berulang dan menciptakan siklus
kekerasan yang merugikan semua pihak.
Oleh karena itu, penyelesaian konflik di Mimika tidak cukup
hanya mengandalkan pendekatan keamanan semata. Diperlukan strategi kolaboratif
yang melibatkan tokoh adat, tokoh agama, pemuda, perempuan, serta pemerintah
daerah. Penguatan nilai-nilai kearifan lokal, dialog budaya, serta pengendalian
miras menjadi langkah penting dalam mencegah konflik sejak dini.
Pembangunan di Mimika pada akhirnya tidak hanya soal
infrastruktur fisik, tetapi juga pembangunan sosial: membangun rasa aman,
keadilan, dan kebersamaan. Tanpa stabilitas kamtibmas, pembangunan berisiko
kehilangan makna dan tujuan. Sebaliknya, dengan masyarakat yang rukun dan aman,
Mimika memiliki peluang besar untuk tumbuh sebagai daerah maju yang inklusif
dan berkelanjutan.
Konflik antar warga masih menjadi tantangan serius dalam
menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di Kabupaten
Mimika. Di tengah kompleksitas persoalan sosial, ekonomi, dan budaya, peran
tokoh agama dan tokoh adat menjadi sangat vital dalam meredakan ketegangan
serta mendorong terciptanya perdamaian yang berkelanjutan.
Tokoh adat dan tokoh agama memiliki posisi strategis karena
mereka dipercaya oleh masyarakat lintas suku, agama, dan kampung. Kepercayaan
ini menjadikan mereka figur yang mampu menjadi penengah ketika konflik terjadi.
Tidak jarang, kehadiran tokoh adat dan agama di lokasi konflik dapat menurunkan
emosi massa dan membuka ruang dialog yang sebelumnya tertutup akibat
ketegangan.
Dalam konteks Mimika, mekanisme penyelesaian konflik
berbasis adat masih sangat relevan. Tokoh adat berperan menghidupkan kembali
nilai-nilai lokal seperti musyawarah, tanggung jawab kolektif, dan sanksi adat.
Penyelesaian melalui adat tidak hanya menyasar pelaku konflik, tetapi juga
memulihkan hubungan antar keluarga dan kelompok, sehingga dendam berkepanjangan
dapat dihindari.
Sementara itu, tokoh agama berperan penting dalam menjaga
konflik agar tidak berkembang menjadi persoalan identitas. Melalui khotbah,
ceramah, doa bersama, dan ajakan moral, tokoh agama menegaskan bahwa kekerasan
bertentangan dengan nilai keimanan, kemanusiaan, dan persaudaraan. Pesan-pesan
ini sangat efektif dalam meredam provokasi, terutama yang berkembang melalui
media sosial.
Selain sebagai mediator, tokoh agama dan adat juga berperan
dalam edukasi moral masyarakat. Banyak konflik dipicu oleh konsumsi minuman
keras, kesalahpahaman, dan emosi sesaat, khususnya di kalangan anak muda. Dalam
situasi ini, nasihat dan teguran dari tokoh yang dihormati sering kali lebih
efektif dibandingkan pendekatan hukum semata.
Peran lainnya yang tidak kalah penting adalah sebagai
jembatan komunikasi antara masyarakat dengan aparat keamanan dan pemerintah
daerah. Informasi yang disampaikan melalui tokoh agama dan adat umumnya lebih
mudah diterima masyarakat, sehingga upaya pengamanan dapat dilakukan secara
persuasif dan humanis. Hal ini membantu mencegah tindakan represif yang justru
dapat memperbesar konflik.
Yang paling krusial, tokoh agama dan adat berperan menjaga
perdamaian pasca-konflik. Perdamaian sejati bukan hanya berhentinya kekerasan,
tetapi juga terbangunnya kembali kepercayaan dan kebersamaan. Dengan
pendampingan berkelanjutan dari para tokoh ini, kesepakatan damai dapat dijaga
dan potensi konflik ulang dapat diminimalkan.
Pada akhirnya, di tengah dinamika sosial Mimika yang
multikultural, tokoh agama dan adat adalah pilar utama dalam menjaga harmoni.
Pelibatan aktif mereka dalam setiap upaya penanganan konflik bukan hanya
memperkuat kamtibmas, tetapi juga menjadi fondasi penting bagi pembangunan yang
aman, adil, dan berkelanjutan.
Penulis: Sianturi


