SALAM PAPUA (TIMIKA) – Warga suku Kamoro yang tergabung dalam kelompok tani Aimikamo terus berjuang  di tengah menjamurnya produksi sagu di Kabupaten Mimika.

Untuk diketahui, pangkur sagu merupakan mata pencaharian bagi masyarakat Papua yang mendiami wilayah pesisir Mimika, khususnya suku Kamoro, salah satu suku besar di Kabupaten Mimika.

Aktivitas ini tentunya menjadi warisan leluhur mengingat sagu adalah makanan pokok. Namun seiring waktu dengan tujuan pemenuhan kebutuhan hidup, pangkur dan menjual sagu bukan lagi hanya aktivitas suku Kamoro, namun dapat dilakukan secara bebas oleh masyarakat umum.

Hal ini pun terjadi di Kabupaten Mimika. Jika masyarakat Kamoro masih memproduksi dengan cara tradisional, warga pendatang mampu menghadirkan teknologi yang dapat memproduksi dengan jumlah yang banyak. Demikian juga penjualan sagu bukan lagi hanya Mama-Mama suku Kamoro, tapi nyaris dijual oleh semua pedagang, baik yang merupakan orang asli Papua (OAP) ataupun pedagang perantau yang datang dari berbagai daerah se-Nusantara.

Meski demikian, kelompok tani sagu Aimikamo terus berjuang menjalani aktivitas warisan leluhur tersebut demi menyekolahkan anak serta biaya hidup sehari-hari.

Ketua Kelompok Tani Aimikamo, Lukas Wayawiyuta saat dijumpai salampapua.com, mengatakan bahwa sebagai orang Kamoro dirinya dihidupkan dengan sagu sehingga sejak kecil ia telah pandai pangkur sagu dengan cara tradisional.

Saat ini, ia bersama 12 petani mandiri telah membentuk kelompok dan dibina Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Mimika.

Hal ini tentunya memberi ruang untuk bisa bersaing, baik dalam produksi maupun dalam mendapatkan penghasilannya. Yang diproduksi adalah sagu tepung dan sagu basah. Produksi disesuaikan dengan cuaca, karena ketika musim hujan maka produksi dihentikan.

Lukas mengaku kelompoknya telah memiliki mesin penggiling batang sagu sehingga setiap harinya masing-masing anggota kelompok bisa menghasilkan satu timang sagu basah. Sagu yang diproduksi langsung dijual di pasar seharga  Rp 250.000 per timang jika sepi penjual, tetapi ketika penjual ramai, maka harganya hanya Rp 150.000 per timang.

“Yah mau bagaimana lagi, memang sekarang sagu tidak hanya dipangkur dan dijual oleh orang Kamoro tapi masyarakat pendatang juga ramai-ramai menjual, bahkan dibuatkan perusahaan khusus. Jadi dengan membentuk kelompok tani, kami juga setidaknya bisa bersaing,” ungkapnya, Jumat (28/7/2023).

Dengan membentuk kelompok tani dan dibina Dinas Ketahanan Pangan, jumlah produksi dan hasil penjualannya diakui cukup memuaskan. Diharapkan ke depannya pihaknya tetap mendapat dukungan pemerintah sehingga petani lokal dapat bersaing dan ikut membangun Mimika.

“Sejauh ini kami dibantu Dinas Ketahanan Pangan Mimika, tapi diharapkan Pemkab terus mendukung dan memberi ruang untuk kami,” ujarnya.

Wartawan: Acik

Editor: Jimmy