Oleh: Hendrikus Purnomo

SALAM PAPUA (OPINI) - Kita melihat belakangan ini, khususnya di Papua, bagaimana informasi yang provokatif, informasi palsu (hoax), dan pelbagai konten negatif lainnya beterbaran, dikonsumsi publik, via media sosial, media berbasis video, dan pelbagai media informasi formal maupun non formal, sehingga kerap menciptakan sensitifitas hingga pertikaian, bahkan konflik di masyarakat. Tak sedikit bermunculan berita berita provokatif dengan misi dari kelompok-kelompok tertentu, atau media-media yang hanya menebarkan sensasi dengan judul-judul bombastis untuk sekadar menarik perhatian pembaca dan mendulang keuntungan dari sana.

Akhirnya, sebuah isu diberitakan tak berimbang, bahkan cenderung memprovokasi masyarakat untuk menghakimi individu, kelompok, atau pihak tertentu. Akibatnya, masyarakat terseret dalam aliran cara pandang tak sehat, menuju kubangan gelap yang panas, penuh prasangka dan kebencian pada sesama, dan tak jarang berlanjut pada pertikaian, bahkan kekerasan dan perpecahan.

Melihat persoalan tersebut, maka pendekatan jurnalisme damai menjadi sangat relevan dipraktikkan oleh setiap insan pers atau pekerja media. Seorang pakar jurnalisme, Jake Lynch (2008) menjelaskan, jurnalisme damai (peace journalism) adalah situasi ketika para editor dan reporter membuat pilihan mengenai apa yang akan dilaporkan dan bagaimana melaporkannya, yang menciptakan kesempatan bagi masyarakat luas untuk mempertimbangkan dan menilai tanggapan non-kekerasan terhadap sebuah konflik.

Arif Zaini dalam tulisannya di Surat Kabar Kedaulatan Rakyat (27/2/2017), menjelaskan bahwa pendekatan jurnalisme yang dirumuskan oleh para pakar dan pemerhati jurnalistik John Galtung, Rune Ottosen, Wilhem Kempt, dan Maggie O’Kane, bertujuan menghindari atau mencegah terjadinya kekerasan di masyarakat. Pendekatan ini berprinsip membingkai laporan suatu kejadian lebih luas, lebih berimbang, dan lebih akurat dengan didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan yang terjadi dengan mengarahkan penyampaian informasi yang berdampak pada perdamaian.

Pelaksanaan jurnalisme damai didasari tekad dan komitmen insan pers, mulai dari redaktur sampai wartawan untuk memilih cara penyelesaian masalah secara damai. Karena mengedepankan perdamaian, jurnalisme damai berupaya sebisa mungkin untuk menghindari kata-kata yang mengandung makna provokasi. Di samping itu, dalam konteks konflik, kekerasan, atau bahkan perang, jurnalisme damai lebih mengedepankan empati pada para korban, sehingga topik-topik yang dipilih sebagai bahan berita tak hanya memaparkan masalah, namun juga menawarkan solusi.

Kita tahu bahwa ‘pers’ melalui pemberitaannya tentang suatu konflik, berpotensi dua hal. Yakni menjernihkan persoalan dan meredam konflik atau malah meruncingkan konflik karena pemberitaan yang mungkin berat sebelah atau terlalu mengeksplorasi pertentangan di antara dua pihak. Di titik ini, jurnalisme damai membuat pers berperan bukan mempertajam konflik, namun sebagai peredam. Dengan kata lain, jurnalisme damai lebih mengedepankan harapan akan terwujudnya rekonsiliasi atas suatu konflik.

Memahami Konflik

Tidak banyak jurnalis yang pernah mendapatkan pendidikan formal atau informal tentang teori konflik dan analisis konflik, suatu bidang studi yang berkembang di universitas-universitas dan di kalangan para praktisi. Keahlian dalam penyelesaian konflik bukanlah keahlian yang diperoleh begitu saja, melainkan harus dipelajari dan dipraktekkan.  Dengan perkembangan bidang kajian “media dan konflik” didasarkan pada anggapan bahwa membekali jurnalis/reporter/wartawan dengan keahlian penyelesaian konflik akan membuatnya menjadi wartawan yang humanis. Konflik adalah suatu proses dimana dua atau lebih pelaku mencoba untuk mencapai tujuan yang saling berlawanan dengan mengabaikan proses pencapaian tujuan dari pihak-pihak lain.

Konflik sesungguhnya tidak sama dengan kekerasan, meskipun dalam banyak liputan, kata “konflik” sering digunakan untuk mengartikan “kekerasan”. Konflik bisa berarti positif dan konstruktif serta membuka peluang untuk perubahan bila dikelola secara efektif. Pihak yang bertikai memiliki persepsi yang salah tentang pihak lain; adanya ketidakpercayaan, adanya hal yang tak terselesaikan di masa lalu, pihak yang bertikai tidak menghargai hubungan di antara mereka kekuasaan tidak terbagi dengan rata. Berbagai konflik yang diliput jurnalis seringkali mengarah pada hasil negosiasi. Ini biasa berupa penyelesaian, mengandung unsur-unsur kemenangan (dan kekalahan, jika salah satu pihak menyerah untuk beberapa hal), penarikan diri atau kompromi dimana akhirnya masing-masing pihak memperoleh hasil yang kurang dari yang diharapkan sebelum perundingan, namun hal ini masih menyimpan benih kekerasan.

Memahami Kekerasan

Kekerasan itu dapat dikategorikan dalam 3 bentuk yakni kekerasan langsung, individu atau kelompok yang hendak menyakiti atau membunuh orang lain, misalnya memukul, menusuk, memperkosa, dll, kekerasan kultural citra atau cerita yang membenarkan atau memuja kekerasan, misalnya: tulisan yang menuturkan kebencian, mitos atau legenda tentang pahlawan perang, dsb, sedangkan kekerasan struktural adalah jenis kekerasan yang tak bisa sepenuhnya dijelaskan sebagai kekerasan yang sengaja dilakukan oleh individu, biasanya juga terbangun dalam kebiasaan sehari-hari, misalnya: kemiskinan, kesenjangan, kolonialisme, rasisme yang terlembaga, Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).

Dampak kekerasan tak bisa diukur hanya dengan melihat kerusakan fisik, kematian dan penghancuran saja, karena ada dampak lain yang tak terlihat yang mungkin bahkan lebih penting di masa mendatang, contohnya: kebencian yang berasal dari kehilangan atau perlakuan yang tidak pantas, keinginan balas dendam, trauma, kerusakan pada struktur sosial dan kehilangan kemampuan dalam menyelesaikan konflik.

Mahatma Gandhi memahami masalah seperti ini dengan ungkapannya: “Saya menentang kekerasan karena kalau ia menunjukkan kebaikan, ia hanya merupakan kebaikan yang sementara sifatnya, kejahatan yang sesungguhnya tetaplah ada.” Dalam sebuah peperangan, banyak manusia yang terbunuh, terluka, diperkosa atau juga terusir. Pada setiap dampak  yang kelihatan atau nampak, terdapat juga dampak lain yang tak terlihat yang mungkin bahkan menjadi lebih penting di masa mendatang, termasuk yaitu; kebencian yang berasal dari kehilangan atau perlakuan yang tidak pantas, keinginan terus menerus untuk membalas dendam dan meraih kemenangan, mitos dari trauma dan kemenangan sebagai tambahan pada budaya kekerasan, kerusakan pada struktur sosial, masyarakat kehilangan kemampuan dan keinginan untuk menyelesaikan konflik lewat cara kerjasamanya.

Memahami Perdamaian

Damai adalah kata yang sulit didefinisikan dengan “kedamaian” atau “suasana damai”. Setidaknya kata tersebut merujuk pada suasana tenang dan tidak adanya konflik. Atau bahkan paling buruk, ini adalah sebuah kata yang ironis tentang suatu kondisi yang nyaris tidak mungkin terwujud. Masyarakat yang hidup damai bukan berarti tidak memiliki pertentangan di dalamnya, seperti juga konflik dalam diri sendiri yang mengarahkan kita untuk mengkaji ulang dan menunjukkan kemampuan diri kita yang terbaik, begitu pula halnya dengan konflik sosial yang berguna untuk menguji kebijakan yang ada dan mengajak terjadinya suatu perubahan yang perlahan-lahan. Sebuah masyarakat yang dapat hidup secara damai adalah masyarakat yang dapat dengan baik mengatakan konflik-konflik yang ada tanpa menggunakan kekerasan.

Menulis Berita Investigasi dan Berita Heboh (Breaking Story)

Kalangan jurnalistik menyatakan bahwa berita yang paling baik adalah berita yang memberi informasi, mendidik dan menghibur. Adalah tantangan terbesar bagi seorang jurnalis ketika diperhadapkan dengan satu hasil liputan investigasi yang kemungkinan akan menyangkut masalah transaksi keuangan yang cukup ruwet, melaporkan setiap dokumen yang terkumpul dan setiap jumlah yang dikeluarkan, jika mengaitkan setiap nama dan jabatan, yang juga dapat memancing konflik, maka akan terkesan sebuah hasil liputan yang memusingkan.

Wartawan investigasi menghadapi salah satu tugas menulis yang paling sulit karena mereka harus membuat sebuah berita yang dapat dipahami dari segunung informasi yang sudah mereka kumpulkan dan mereka secara emosional sudah terikat pada informasi tersebut. Seorang jurnalis menilai bahan berita itu dari sudut pandang netral lalu kemudian menyusun dan menulis sebuah berita bagi orang yang belum pernah tahu tentang topik berita itu. Menyadari sulitnya tugas tersebut, ada redaksi yang menugaskan tim wartawan dalam pelaporan investigasi, seorang wartawan akan mengumpulkan informasi dan wartawan lainnya akan menulis tapi bisa juga mereka bekerja sama dalam satu tim. Mereka dapat melakukan pekerjaan tersebut dalam sebuah proses tahap demi tahap: (1) menentukan inti pemberitaan; (2) melakukan pengorbanan (waktu, tenaga, biaya); (3) menjajarkan narasumber / tersangka; (4) menentukan format; (5) mengutip dokumen.

Professionalisme Jurnalis

Jurnalis dituntut agar bersikap professional dalam melakukan pekerjaannya, sebab pers memiliki kekuatan untuk mempengaruhi publik melalui informasi dan memiliki “hak istimewa” dalam menjalankan professinya, seperti hak mendapatkan akses informasi/data dan hak tolak. Suatu pekerjaan bisa disebut profesi, seperti juga seorang jurnalis, apabila dapat memenuhi kriteria kriterianya yaitu; pekerjaan penuh waktu (full-time), praktisinya sangat berdedikasi pada tujuan profesinya, cara memasuki dan bertahan dalam profesi diatur oleh sebuah organisasi formal yang memiliki standar professional, para praktisinya diterima dalam profesi setelah mengikuti pendidikan formal yang khusus dan mendapatkan sertifikat kompetensi (ijazah), pekerjaannya melayani masyarakat, pekerjaannya memiliki tingkat otonomi yang tinggi. Dari ke-enam kriteria tersebut, hanya dua kriteria yang benar-benar menjadi ciri mutlak seorang jurnalis yaitu pekerjaan penuh waktu dan melayani masyarakat, sedangkan selebihnya bersifat standar.

Editor: Jimmy