SALAM
PAPUA (TIMIKA) - Belakangan ini kehadiran transportasi
online Maxim menuai pro-kontra di tengah masyarakat Kabupaten Mimika, Provinsi
Papua Tengah.
Bagi sebagian masyarakat di
kabupaten yang dijuluki kota dollar ini, kehadiran Maxim seolah menutup
celah rezeki bagi pengusaha di bidang yang sama.
Bagaimana tidak, transportasi dari perusahaan
bersekala internasional ini melayani masyarakat dengan tarif yang
dinilai murah meriah, dan disebut-sebut tanpa izin operasional.
"Sebetulnya saya tidak menolak kehadiran
Maxim, tapi kenapa terlalu murah dan tidak memperhitungkan harga sparepart dan
kebutuhan bahan pokok di wilayah Papua. Kasihan pengusaha taksi offline
(manual) di Timika, begitu juga sopir-sopir jadinya tidak mendapatkan
apa-apa," ungkap Septiani yang, merupakan warga salah satu BTN di wilayah
SP 3.
Septiani pun berharap agar Pemkab Mimika,
harus melek melihat setiap investor yang masuk. Meski mendapat izin dari pusat,
akan tetapi harus sepengetahuan Pemkab Mimika, sebagai tuan rumah serta
mengatur dengan peraturan khusus sehingga tidak menjadi kisruh di tengah
masyarakat.
"Pemerintah harus melek dong, jangan
tidur. Harus cek semua investor yang beroperasi di Timika," pesannya.
Selain Septiani, hasil survei Salampapua.com,
pernyataan yang sama juga disampaikan oleh beberapa warga lainnya. Mereka
mengaku, kehadiran Maxim tentunya membuat pengusaha transportasi offline geram
akibat tarif yang dikenakan sangat murah.
"Ada juga beberapa taksi
online di Timika, tapi tidak semurah Maxim. Harusnya tarif itu ada
kesepakatan bersama supaya disesuaikan dengan tarif mobil rental yang sudah
lama di Timika," ungkap Azan yang berdomisili di Petrosea.
Mekanik di salah satu CV ini menyebutkan,
kehadiran Maxim yang menuai protes ratusan sopir rental ini menjadi poin yang
menunjukkan tidak agresifnya Pemkab Mimika. Demikian juga halnya dengan
pengelola bandara, yang hanya melihat tanpa memberikan satu regulasi khusus
sehingga semuanya berjalan aman tanpa kisruh.
"Tidak usah salahkan sopir taksi offline
kalau protes Maxim, karena memang terlalu banting harga. Sopir-sopir taksi
offline juga harusnya tidak kejar keuntungan dengan tarif yang mahal. Pokonya
ini jadi pembenahan bagi Pemkab supaya bisa mengatur semuanya," katanya.
Hal berbeda disampaikan Erlina yang merupakan
warga SP 3, Kelurahan Karang Senang, Distrik Kuala Kencana. Ibu rumah tangga
ini menyebutkan, kehadiran sangat membantu dan mengirit keuangan rumah tangga.
"Saya sangat senang dengan layanan Maxim.
Saya biasa pesan untuk antar atau jemput anak-anak di sekolah hanya dengan
bayar Rp 15, Rp 18 dan Rp 20 ribu saja sampai depan rumah," ujarnya.
Selain mengantar anak sekolah, ia juga kerap
menggunakan jasa Maxim untuk kelancaran urusan keluarga.
"Dari rumah saya di SP 3 ke rumah orang
tua di Nawaripi hanya bayar Rp 30 ribu saja. Itu sangat irit dibandingkan jasa
offline," tuturnya.
Hal yang sama juga disampaikan Rickard Watu
yang merupakan salah satu pekerja di wilayah Tembagapura. Pria ini mengaku, ia
bersama tiga rekannya selalu menggunakan jasa Maxim dari wilayah
Gorong-gorong ke Jalan Cenderawasih, SP 2 dan SP 3.
"Kami pesan mobil Maxim dari
Gorong-gorong. Saya ke Jalur 3 SP 2 bayar Rp 22.900 saja. Teman saya ke SP 3
bayar Rp 30 ribu saja. Sebelumnya kita gunakan jasa lain bayar Rp 150 sampai Rp
200 ribu," jelasnya.
Murahnya Maxim juga diakui Frenky Wetipo yang
berdomisili di Irigasi. Ia mengaku, pernah mengorder Maxim dari Irigasi ke
kantor DPRD Mimika di Jalan Cenderawasih.
"Seminggu lalu saya pesan Maxim dan antar
ke kantor DPRD, bayarnya Rp 30 ribu lebih. Memang di aplikasi itu tampil
tarifnya Rp 22.900, tapi ada juga penawaran untuk penambahan harga, makanya
saya klik penawaran tambah Rp 10.000 dan saya langsung dijemput," ujarnya.
Saat diminta tanggapan terkait aksi protes
ratusan sopir rental, Frengky mengaku bahwa hal tersebut merupakan tradisi yang
kerap terjadi di kota lain di Indonesia. Baginya Pro-kontra merupakan dampak
atas pendapat dan pendapatan yang berbeda.
"Pro dan kontra terhadap sesuatu itu
sudah jadi tradisi dan sering terjadi di kota-kota lainnya, bukan hanya di
Timika. Di Jayapura juga sempat ada keributan karena persoalan yang sama,"
ungkap Pria asal Wamena, Papua Pegunungan ini.
Ia pun berharap, agar Pemkab Mimika segera
turun tangan atas persoalan yang terjadi akibat kehadiran Maxim. Setidaknya,
Pemkab Mimika bisa membuat aturan dan penetapan tarif bagi seluruh jasa
transportasi, baik roda empat maupun roda dua (ojek).
"Layanan apapun itu harus berpihak ke
masyarakat, karena sifatnya melayani, jangan hanya mau mengambil keuntungan
sendiri. Yang saya harapkan supaya Pemkab Mimika harus respon dengan persoalan
beberapa hari ini. Saya melintas di Polres Mimika dan lihat ratusan sopir ramai
di sana, ternyata mau protes Maxim. Sangat kasihan kalau begini kondisinya.
Jadi Pemkab jangan diam," katanya.
Sebelumya saat menghadiri mediasi antara
Asosiasi Sopir Rental dan Maxim di Polres Mimika 7 Mei 2024, Kepala Seksi LLAJ
dan MRLL Dishub Mimika, Ferdi Richard Saija sampaikan bahwa pihaknya menunggu
data kendaraan yang sah dari Asosiasi Sopir Rental dan Maxim, untuk dikaji dan
diajukan ke Pimpinan.
Selanjutnya akan ada edaran Bupati tentang
tarif dasar yang mengacu pada edaran Gubernur. Tarif akan dihitung perkilo
meter, sesuai biaya sparepart serta kebutuhan ekonomi di Mimika.
"Kita menunggu data dari asosiasi sopir
rental dan Maxim, karena memang kami tidak tahu. Pemerintah tidak akan
keluarkan regulasi, tapi edaran Bupati dan mengacu pada edaran
Gubernur," tutupnya.
Penulis: Acik
Editor: Sianturi