SALAMPAPUA (TIMIKA)- Sudah bukan hal aneh jika
Indonesia kaya akan budaya dan bahasa yang tersebar dari ujung Sabang hingga
ujung Merauke, dari barat Indonesia hingga timur Indonesia. Meskipun demikian,
berbeda-beda namun tetap satu, Satu Indonesia.
Bisa dikatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara
yang memiliki berjuta-juta budaya. Budaya pada setiap daerah pun berbeda-beda,
mulai dari bahasa, pakaian, hingga rumah adat.
Salah satu daerah yang memiliki banyak budaya adalah Papua.
Selain memiliki sumber daya alam yang melimpah, Papua juga terkenal sebagai
daerah yang memiliki jumlah suku terbanyak di Indonesia.
Setiap suku di papua memiliki budaya dan tradisi yang
berbeda-beda. Tradisi-tradisi yang ada di suku Papua juga memiliki makna yang
dalam di setiap upacara pelaksanaanya.
Dan biasanya selalu menyimbolkan segala hal yang berkaitan
dengan alam. Penasaran dengan tradisi unik yang dimiliki Papua? Yuk, langsung
simak ulasannya berikut ini.
1. Tradisi Bakar Batu
Tradisi Bakar Batu adalah sebuah tradisi yang penting bagi
seluruh penduduk asli Papua. Tradisi Bakar Batu bermakna sebagai bentuk rasa
syukur dan ajang silaturahmi antar warga sekampung.
Acara Bakar Batu biasanya diadakan pada saat ada kelahiran,
perkawinan adat, penobatan kepala suku, dan pengumpulan prajurit perang.
Tradisi Bakar Batu biasanya dilakukan oleh suku asli Papua yang tinggal di
pedalaman, seperti di Lembah Baliem, Panaiai, Nabire Pegunungan Bintang, dan
lain-lain.
Nama dari pesta adat ini berbeda-beda di setiap daerahnya.
Di suku Paniai, tradisi Bakar Batu disebut dengan Gapiia, di Wamena disebut
dengan Kit Oba Isogoa, sedangkan di Jayawijaya disebut dengan Barapen.
Disebut dengan tradisi Bakar Batu karena memang benar-benar
batu dibakar hingga panas. Fungsi batu yang panas adalah untuk mematangkan
daging, ubi, dan sayur-sayuran beralaskan daun pisang yang akan menjadi
santapan seluruh warga pada acara yang sedang berlangsung.
Makanan sengaja dimasak dengan cara seperti ini agar semua
masakan dapat langsung dimasak secara bersamaan dan matang di saat yang
bersamaan pula. Terlihat sangat seru dan akrab banget, ya?
2. Tradisi Potong Jari
Tradisi Potong jari adalah tradisi yang dilakukan oleh suku
Dani di Papua. Suku Dani adalah suku yang mendiami Lembah Baliem. Tradisi
potong jari pada suku Dani sudah ada sejak zaman dahulu dan masih dilaksanakan
hingga sekarang.
Tradisi potong jari menyimbolkan suatu kerukunan, kesatuan,
dan kekuatan yang berasal dari dalam diri seorang manusia maupun di dalam
sebuah keluarga. Keluarga adalah tumpuan paling berharga yang dimiliki oleh
seorang manusia, jari dipercaya menyimbolkan keberadaan dan fungsi dari sebuah
keluarga itu sendiri.
Tradisi potong jari dilakukan ketika seseorang kehilangan
salah satu anggota keluarga atau sanak saudara seperti suami, istri, anak,
adik, dan kakak untuk selama-lamanya.
Pada suku Dani, kesedihan dan rasa duka cita akibat
kemalangan juga kehilangan salah satu anggota keluarga tidak hanya diapresiasikan
dengan menangis, namun juga memotong jari.
Suku Dani beranggapan bahwa memotong jari adalah simbol dari
rasa sedih dan rasa sakit kehilangan salah satu anggota keluarga. Tradisi
potong jari juga dianggap sebagai cara, untuk mencegah terjadinya kembali
malapetaka yang merenggut nyawa seorang anggota keluarga yang sedang beduka.
3. Tradisi Ararem (Suku Biak)
Ararem adalah tradisi khas suku Biak, tradisi ini biasanya
diadakan di acara perkawinan. Ararem adalah arak-arakan keluarga besar mempelai
pria dari pengantin yang menghantar sang calon suami beserta dengan mas kawin
untuk calon mempelai wanita.
Pengantaran mas kawin dilakukan dengan berjalan kaki dari
kediaman mempelai pria menuju kediaman mempelai wanita, masing-masing anggota
keluarga memegang mas kawin yang berupa piring-piring adat, guci, dan lain
sebagainya.
Uniknya, rombongan arak-arakan calon mempelai pria, selain
membawa seserahan pernikahan, mereka juga membawa bendera merah putih yang
berkibar bersama mereka.
Belum diketahui dengan jelas alasan mengenai penggunaan
bendera merah putih saat berlangsungnya arak-arakan. Mungkin bendera merah
putih digunakan untuk menunjukan bahwa mereka adalah bangsa Indonesia, dan
Ararem adalah budaya milik Indonesia.
4. Tradisi Tato
Tradisi Tato dilakukan oleh suku Moi atau suku Malamoi. Tato
adalah tradisi menghias diri dengan membuat tato bermotif khas pada tubuh.
Motif khas pada tato suku Moi dulunya diperkenalkan oleh seseorang imigran yang
berprofesi sebagai penutur Austrenesia dari asia yang datang ke wilayah Sorong
pada zaman neolitik.
Motif tato yang digunakan suku Moi berupa geometris atau
semacam garis-garis melingkar yang dilengkapi dengan titik-titik segitga
kerucut atau tridiagonal yang dibariskan dengan rapi.
Tato dibuat dengan cara mencelupkan duri pohon sagu atau
tulang ikan pada campuran arang halus yang disebut dengan Yak Kibi, dan juga
Loum atau getah pohon. Kemudian, duri atau tulang ikan tersebut digunakan untuk
membuat tato pada bagian tubuh, seperti punggung, dada, betis, pinggul, dan
kelopak mata.
Desain tato yang akan dibuat disesuaikan dengan bentuk
bagian tubuh yang akan ditato. Sayangnya, tradisi ini sudah mulai luntur,
pemuda-pemuda suku Moi sudah tidak mentato dirinya lagi.
5. Tradisi Tanam Sasi
Tradisi Tanam Sasi adalah salah satu tradisi yang dilakukan
oleh orang-orang yang tinggal di daerah timur Indonesia, seperti Maluku dan
Papua. Sasi adalah tradisi yang biasanya dilakukan untuk menjaga sumber daya
alam. Sasi juga dikenal sebagai cara pengolahan sumber daya alam di desa-desa
pesisir Papua.
Sampai sekarang, upacara Tanam Sasi masih sering dilakukan.
Jika Anda ke daerah timur maka Anda bisa melihat beberapa pohon ditandai dengan
tulisan “Sasi” yang artinya Anda tidak diperbolehkan mengambil apapun yang ada
di daerah sekitar tulisan “Sasi” tersebut.
Sasi sendiri adalah upaya pelestarian guna menjaga mutu,
populasi sumber daya alam, baik hewani maupun nabati berupa larangan mengambil
hasil sumber daya alam itu sendiri. Sasi juga digunakan sebagai suatu upaya
untuk memelihara tata krama antar umat manusia dengan alam sekitar.
6. Tradisi Pembuatan Tifa Menggunakan Darah
Tifa adalah sebuah alat musik khas wilayah Indonesia Timur,
Papua dan Maluku. Tifa bentuknya menyerupai kendang, terbuat dari kayu yang
dilubangi pada bagian tengahnya dan juga dilapisi kulit binatang. Tifa memiliki
beberapa jenis dan bentuk, di antaranya adalah Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa
Potong, dan Tifa Bas.
Dalam pembuatannya, biasanya menggunakan lem untuk
merekatkan beberapa bagian. Namun di Papua, ada tradisi pembuatan Tifa dengan
menggunakan darah manusia. Darah tersebut berfungsi sebagai lem. Dengan
menggunakan darah, Tifa dipercaya akan menjadi lebih kuat dan awet.
7. Tradisi Festival Lembah Baliem
Festival Lembah Baliem adalah tradisi yang diadakan oleh
suku-suku yang tinggal di sekitaran lembah Baleim seperti suku Dani, suku Yali,
dan suku Lani. Festival Lembah Baliem awalnya adalah sebuah acara perang antar
suku di Baliem, sebagai lambing dari kesuburan dan kesejahteraan. Festival ini
telah diadakan secara turun temurun.
Meskipun sebuah ajang adu kekuatan antar suku, acara
festival lembah Baliem tetap aman untuk dinikmati para wisatawan. Bahkan
sekarang ini, lembah Baliem telah menjadi salah satu destinasi wisata di Papua.
Selain peperangan, dalam festival ini juga ada tarian.
Festival Lembah Baliem diadakan setiap bulan Agustus.
Festival Lembah Baliem pertama kali digelar pada tahun 1989, dan masih terus
dilaksanakan hingga sekarang. Festival Lembah Baliem diselenggarakan selama 3
hari berturut-turut.
8. Tradisi Mansorandak
Tradisi Masorandak adalah tradisi khas masyarakat suku Biak
di teluk Doreri, Manokwari, Papua Barat. Tradisi Mansorandak biasanya diadakan
ketika salah satu anggota keluarga kembali pulang dari tanah perantauan.
Tradisi ini sendiri merupakan bentuk rasa syukur atas
kembalinya sanak saudara dalam keadaan sehat dan selamat dari perantauan dan
berkumpul kembali bersama keluarga.
Mansorandak disebut juga dengan tradisi injak piring.
Anggota keluarga yang baru pulang dari perantauan dimandikan menggunakan air
kembang yang disimpan dalam piring adat besar setelah disambut oleh keluarga.
Pemandian ini bertujuan untuk menghilangkan roh-roh jahat
yang mungkin menempel pada tubuh perantau dari tempat sebelumnya. Setelahnya,
sang perantau dibawa ke dalam sebuah ruangan khusus bersama dengan seluruh
anggota keluarga besarnya.
Dalam ruangan tersebut, sang perantau harus mengitari 9 piring adat sebanyak 9 kali. Angka sembilan melambangkan jumlah marga Suku Doreri di Manokwari.
Selanjutnya, sang perantau diharuskan menginjak buaya yang
dibuat dari tanah di atas piring. Buaya tersebut disimbolkan sebagai tantangan
dan cobaan yang akan menyertai perjalanan hidup sang perantau. Ketika
menginjaknya, dipercaya dapat melewati segala tantangan dan cobaan dalam hidup.
Demikianlah informasi mengenai tradisi-tradisi tradisional
di Papua dari Keluyuran. Indonesia kaya akan budaya kearifan lokal dan
tradisi-tradisi yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Jika Anda bersandang ke tanah Papua, tidak ada salahnya
untuk menikmati budaya serta keindahan pantai di Papua yang asri. Tetap
lestarikan budaya Indonesia, ya!. (keluyuran)
Editor: Sianturi