SALAM PAPUA (TIMIKA)- Pada 14 Mei 2024, di Auditorium Universitas Cenderawasih Jayapura, Papua, dilangsungkan acara bedah buku berjudul “Mengurai Benang Kusut Keadilan Perkara Barnabas Suebu”.  Buku sebanya 263 halaman yang ditulis oleh Dr. Stefanus Laksanto Utomo, S.H., M.Hum., itu menghadirkan beberapa ahli dalam bidang hukum secara hybrid, yakni luring (offline) dan daring (online), antara lain, Prof. Gayus Lumbuun via teleconference, Prof. Robert K.R. Hammar, dan Dr. Basir Rohrohmana, serta keynote speaker Marzuki Darusman, S.H (teleconference) ini mengurai berbagai isu pokok dalam eksaminasi perkara Barnabas Suebu dalam sistem peradilan Indonesia yang tidak berjalan  efektif, terlanggarnya hak azasi manusia, serta putusan hakim yang kurang objektif karena tidak menunjukkan independesinya.

Barnabas Suebu atau akrab disapa “Kaka Bas” didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dakwaan alternatif, yaitu penyalahguaan wewenangnya sebagai Gubernur Papua kurun 2006-2011, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perbuatan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) dan dikorelasikan dengan Pasal 55 dan 56 KUHP perihal turut melakukan dan membantu melakukan suatu tindak pidana kejahatan (korupsi). Dakwaan yang sama juga disematkan kepada Direktur Utama (Dirut) PT. Konsultasi Pembangunan Irian Jaya (KPIJ) La Musi Didi, dan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua) Jannes Johan Karubaba. Bas atau Terdakwa dituduh menyalahgunakan kewenangannya untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan kerugian negara dengan mempengaruhi dalam proses pengadaan kegiatan pembuatan proyek perencanaan fisik atau lazin disebut Detail Engineering Design (DED) yang meminta agar PT KPIJ yang merupakan perusahaan milik Terdakwa (Bas) atau keluarganya untuk diikutsertakan dalam pelaksanaan pembuatan DED bersama dengan perusahaan yang telah ditetapkan sebagai pemenang lelang dalam proyek pembuatan DED Sentani dan Paniai tahun anggaran 2008, DED Urumka I, II, dan III, serta DED Pembangkit LIstrik Tenaga Air (PLTA) Mamberamo I dan II untuk tahun anggaran 2008-2010. 

Atas permintaan tersebut, La Musi Didi dengan menggandeng PT. Indra Karya Cabang Malang dan PT Geo Ace, dengan kesepakatan pembagian keuntungan dan pemberian fee pada pihak-pihak terkait, yakni 60 persen PT Indra Karya dan 40 persen PT KPIJ. Proses lelang proyek pembuatan DED Sentani dan Paniai, DED Sungai Urumka I, III, dan III, seolah-olah berjalan sesuai prosedur pelelangan, dengan seluruh dokumen administrasi lelang dan kontrak digarap oleh PT Indra Karya, tetapi kenyataannya panitia pengadaan tidak melaksanakan lelang proyek DED Urumka I. Dari semua proses lelang dan pelaksanaan DED dilaporkan oleh La Musi kepada Terdakwa yang berkapasitas sebagai Gubernur Papua.

Bahkan dinilai lelang tersebut dilaksankan tanpa memperhatikan Pasal 5 Keputusan Presiden RI Nomor 80 Tahun 2003, yang menyebutkan, “Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika, yaitu antara lain: huruf e: menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa (conflic of interest). Huruf g: menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk menguntungkan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara (St. Laksanto Utomo: 2024).

Rangkaian proses tersebut, Bas didakwa melakukan korupsi, dengan menyalahgunakan kewenangannya untuk menguntungkan (memperkaya) diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 43 miliar.

Dari kasus ini, Bas divonis 4 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada November 2015, dengan amar putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Nomor 67/Pid.Sus/TPK/2015/PN.JKT.PST, yang menyatakan, Terdakwa Barnabas Suebu telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam Dakwaan Kedua”. Hakim menjatuhkan putusan terhadap Terdakwa tanpa menguraikan bukti kesalahannya. Hakim secara subjektif menyimpulkan bahwa Terdakwa terlah melakukan perbuatan melawan hukum dan memenuhi unsur tindak pidana yang dijelaskan dalam Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang PTPK, yakni menyalahgunakan jabatan untuk menguntungkan diri sendiri, orang atau korporasi, dikaitkan dengan Pasal 55 dan 56 KUHP  tentang turut serta dan membantu melakukan, yang memiliki makna bahwa orang yang mengetahui dan dimintai bantuan untuk memberikan kesempatan suatu tindak kejahatan itu tanpa mencegah.

Sayangnya, hakim Tipikor hanya melihat unsur-unsur pidana secara umum, yang meliputi unsur secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, serta dapat merugikan negara atau perekonomian negara, tanpa mengelaborasi secara rinci terkait posisi atau peran Terdakwa (Bas) dalam melakukan tindak pidana korupsi, dengan disertakan dasar-dasar hukumnya. Seharusnya hakim dalam pertimbangan hukumnya mengurai secara benderang kasus ini, dengan menampilkan bukti-bukti yang relevan dan dapat bersesuaian satu dengan lainnya, agar bisa ditarik benang merah dan diketahui kausalitasnya, hingga bisa ditententukan posisi atau letak kesalahan Terdakwa yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Menurut doktrin hukum pidana, untuk menjatuhkan hukuman seseorang haruslah memenuhi kedua unsur tindak pidana, yaitu unsur kesalahan dan unsur perbuatan melawan hukum (St. Laksanto Utomo: 2024). Namun, tampak hakim Tipikor Jakarta Pusat belum membuktikan unsur kesalahan yang melekat pada Terdakwa, maka putusan hakim terhadap Terdakwa yang menimbulkan polemik hingga sekarang dinilai dipengaruhi pertimbangan di luar hukum (non-yuridis).

Sebab, unsur-unsur pidana dalam setiap pasal memiliki makna yang berbeda-beda, karena itu penjelasan secara gamblang terhadap setiap pasal yang didakwakan terhadap Terdakwa sangatlah diperlukan. Misalnya, perbedaan antara Pasal 2 dan 3 UU PTPK, yang mana Pasal 3 menyebutkan, pelaku bisa dijerat jika mempunyai kewenangan, sedangkan di Pasal 2, menyatakan, setiap orang yang dimaksud dalam pasal tersebut lebih luas dan umum. Unsur setiap orang adalah yang punya kewenangan. Jadi perbuatan seseorang bisa saja bersifat melawan hukum, tapi belum tentu menyalahgunakan kewenangan. Sebab dalam hukum pidana sebuah pembuktianan harus objektif dan akurat, sebagimana dikenal dalam postulat in criminalibus probationes bedent esse luce clariores (dalam perkara-perkara pidana bukti-bukti itu harus lebih terang daripada cahaya). Dan tidak dibenarkan dalam teori apa pun bahwa menegakkan hukum dengan cara melawan hukum, kecuali demi menegakkan hak azasi manusia (atau demi intervensi kemanusiaan).

Selanjutnya, tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Terdakwa (Bas) melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta untuk meminta keringanan hukuman. Di tingkat banding, PT Jakarta memperberat hukuman Terdakwa menjadi 8 tahun penjara (2016) dan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung juga memperkuat putusan PT Jakarta bahwa Terdakwa tetap dipenjara 8 tahun. Bahkan upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK) Bas pun ditolak. Padahal, sesuai fakta-fakta yang terungkap di persidangan sangat kontras dan berbeda jauh dari semua dalil-dalil yang dituduhkan penuntut umum dalam surat dakwaan, yakni tidak dibuktikan di mana letak kesalahan atau peran Terdakwa (Bas) dalam kasus a quo. Terdakwa sendiri telah membantah atas dakwaan yang disusun oleh penuntut umum yang menurutnya bersifat imajinasi atas kesaksian palsu yang diberikan oleh para saksi yang dihadirkan dalam penyidikan. “Kesaksian palsu itu bersifat fintah atas diri saya (Terdakwa Bas Suebu) dan mencemarkan nama baik serta kehormatan saya,“kata Terdakwa saat menanggapi surat dakwaan Jaksa pada KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta (detiknews: 2015). 

Tidak ada fakta yang mengungkap bahwa Terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu menyalahgunakan kewenangannya untuk melakukan, turut serta (deelneming), membantu, atau berbarengan (samenloop, concursus) melakukan rasuah, dengan memperkaya diri, orang lain, atau korporasi. Karena perbuatan melawan hukum (unlawful act) merupakan unsur paling pokok dalam tindak pidana yang mencakup  adanya kesalahan, yang terjadi karena kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpue), sebagaimana dirumuskan oleh ahli hukum Jerman, Paul Johann Anselm Ritter Von Feuerbach (1775-1833) sebagai peletak dasar asas legalitas yang dikenal dalam maksim nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali ada aturan pidana atau peraturan perundangan-undangan yang telah mengaturnya).

Asas tersebut telah dinormakan dalam hukum positif (ius scripta) sebagai bentuk  azas legalitas yang dianuat Indonesia, yakni Pasal  1 ayat (1) KUHP yang menentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang telah ada. Juga diingat kembali filosofi keadilan ubi jus incertum, ibi jus nullum (di mana tidak ada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum). Bahkan dalam kasus pidana berlaku juga azas nulla poena sine culpa atau geen straf zonder schuld, yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam kasus ini tidak dimunculkan adanya unsur actus reus (perbuatan) dan mens rea (niat) dari Terdakwa dalam melakukan tindak pidana korupsi.

Hal ini berangkat dari surat dakwaan penuntut umum maupun vonis hakim terhadap Terdakwa yang tidak memiliki bukti yang kuat dan meyakinkan, sebagaimana terungkap dalam persidangan. Padahal, dakwaan adalah mahkota persidangan dan pembuktian (berwijsvoering) merupakan jantung dari persidangan,yang diabaikan oleh penuntut umum dan hakim dalam mendakwa, menuntut, dan memutus perkara korupsi Bas. Jaksa selaku pemilik dominus litis (pengendali perkara) tidak mampu menunjukkan bukti permulaan yang cukup sebagai syarat formil sekaligus menjadi pintu masuk untuk dijadikan Bas sebagai tersangka kasus korupsi, seturut asas actori incumbit onus probandi (siapa yang mendakwa/menuntut, dialah yang wajib membuktikannya) atau dalam perpektif hukum perdata dikenal asas affirmati incumbit probate (siapa mendalilkan sesuatu, wajib membuktikannya). Surat dakwaan menjadi unsur terpenting karena memuat unsur locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana), tempus delicti (waktu terjadinya tindak pidana), dan corpus delicti (alat atau barang bukti dari suatu tindak pidana), sekaligus menentukan intellectual dader (pelaku) atau medepleger (orang yang melakukan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama pula ia turut beraksi dalam melaksanakan perbuatan pidana sesuai dengan yang telah disepakati).

Bahkan, setiap putusan hakim mengacu pada dakwaan dan bukti yang terungkap dalam persidangan, termasuk kayakinan hakim sebagaimana bunyi asas judex debet judicare secundum allegate et probate, yang berarti hakim harus memberikan keputusan berdasarkan dakwaan dan bukti-buktinya. Selanjutnya dalam Pasal 183 KUHAP secara expressive verbis menyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Maka, terdakwalah yang berkewajiban mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya, yang selaras dengan adagium culpue poena par esto/let the punishment be equal the crime (jatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya) atau ut sementem faceris ita metes (siapa yang menanam sesuatu dialah yang memetik hasilnya).

Tidak mungkin menegakkan hukum materil tanpa terpenuhinya syarat formil. Pendek kata, hukum formil menjadi syarat tegaknya hukum materil. Jika tidak ada dua alat bukti permulaan yang cukup sebagai syarat formil dalam proses hukum pidana, secara otomatis hukum materil tidak terlaksana. sejumlah alat bukti yang dihadirkan jaksa di persidangan, baik saksi mahkota atau saksi memberatkan (saksi fakta) dan alat bukti lain yang harus relevan dan saling bersesuaian. Meski banyak saksi yang dihadirkan oleh jaksa, tetapi keterangannya tidak berkualitas: tidak menjelasan secara detail apa peran, di mana, kapan terjadinya praduga tindak pidana korupsi? Keterangan saksi juga harus didukung oleh alat bukti lain yang cukup valid dan sahih, dengan kualitas pembuktiannya yang tak terbantahkan (tidak adak keraguan sama sekali), di situlah calon tersangka bisa dapat diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana korupsi dan ditingkatkan statusnya menjadi tersangka. Tanpa dukungan alat bukti permulaan lain yang cukup dan tidak bersesuaian dengan keterangan saksi, maka tidak ada gunanya keterangan saksi, hingga Terdakwa harus dihentikan dari kasusnyadi tingkat penyelidikan dan penyidikan, baik itu melalui proses praperadilan atau dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Juga atas kekuasaan dan kewenangan yang amat vital dan strategis yang dimiliki jaksa dalam menjaga keadilan dan merawat keberlanjutan hukum dalam sistem peradilan pidana, mulai dari tahap penyidikan hingga pelaksanaan putusan pengadilan, yang diakui selaku pemilik dominus litis (pengendali perkara), bisa melaksanakan kebijakan hukum berupa keadilan restoratif (restorative justice). Hal tersebut sesuai dengan Paraturan Kejaksaan Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan  Berdasarkan Keadilan Restoratif . Artinya, mekanisme penyelesaikan perkara tidak mengedepankan pemidanaan, melihkan keadaan korban atau pemulihan pada kondisi semula (restitutio ad/in integrum). Jelas sekali jaksa tidak menguasai anatomi perkara, hingga konstruksi kasus dalam surat dakwaan pun semrawut, sumir, dan jauh dari fakta yang sebenarnya. Padahal jaksa dituntut untuk memiliki kapabilitas yang mempuni, integritas, dan profesionalitas dalam menjalankan tugasnya. Jaksa harus mempunyai kemampuan teknis maupun yuridis, sehingga dalam penanganan perkara, jaksa senantiasa menguasi anatomi perkara, memahami normatif yuridis, mencermati aspek sosial terdakwa (pelaku), korban, dan masyarakat. Serta mempertimbangkan syarat subjektif tentang perlu atau tidaknya melakukan penahan, tanpa harus berkutat dan terkungkung dengan prinsip legalitas formal yang tidak perlu dan melahirkan diorientasi penegakan hukum yang jauh dari aspek keadilan (Bambang Soesatyo: 2024).

Maka, tidak dapat dibenarkan jaksa maupun hakim menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakuan perbuatan melawan hukum, yakni korupsi dengan unsur “memperkaya” dan “menguntungkan” diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Jaksa dan hakim harus berani berkata jujur dan membuktikan letak kesalahan Terdakwa yang bisa dibenarkan secara hukum serta diakui nalar publik, karena pengakuan itu datang ketika ada pembuktian. Maka, atas fakta-fakta yang lemah dan janggal seperti ini, seharusnya hakim Tipikor Jakarta Pusat yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara Terdakwa menerima eksepsi Terdakwa dan menolak atau setidak-tidaknya menyatakan tidak menerima surat dakwaan tersebut dan menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum. Karena dakwaan yang kabur (obscuur libel) sebagaimana termaktub dalam Pasal 143 Ayat (3) KUHAP.

Ini selaras dengan azas van rechtswege nieting null and void (suatu proses peradilan yang dilakukan tidak menurut hukum adalah batal demi hukum) dan asas actore non probate, reus absolvitur (jika tidak dapat dibuktikan, terdakwa harus dibebaskan). Singkatnya, penuntut umum tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa (actore non probate), terdakwa harus diputus bebas (reus absolvitur).

Juga tidak ada aspek keadilan dan kemanfaatan dari proses hukum Terdakwa bagi masyarakat, hingga hakim harus mempertimbangan ini secara baik demi telaksananya due procces of law (proses hukum yang benar) dan dihormatinya hak asasi Terdakwa. Mengacu pada prinsip kebebasan atau indepedensi hakim yang yang didasarkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman di Indinesia, hakim harus menerapkan hukum yang bersumber pada peraturan perundang-undangan secara tepat, menafsirkan hukum dengan benar, sebagai wujud kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (recht vinding). Hakim harus membuktikan kepada publik bahwa dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sangat dekat dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Hal tersebut merupakan kewenagan hakim dalam melakukan konstruksi hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 mengatakan, Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Karena tujuan tertinggi hukum adalah melaksanakan keadilan. Mengutip Immanuel Kant, filsuf Jerman sekitar 200 tahun lalu mengatakan, “…summum ius summa injuria, summa lex summa crux” (kepastian hukum yang tertinggi adalah ketidakadilan yang terbesar), karena itu, menunda-nunda keadilan (atau keadilan yang datang terlambat) sama dengan tidak ada keadilan atau menolak keadilan itu sendiri (justice delayed is justice denied), demikian kata William Glastone (1809-1898), mantan Perdana Menteri Britania Raya. Kasus Bas dinilai penuh dengan kejanggalan, karena kaburnya surat dakwaan dan terjadi kegamangan atau skeptisisme dari hakim dalam memutus perkara tersebut, hingga dapat merugikan hak konstitusional dan hak asasi Terdakwa sebagai warga negara yang wajib diproteksi, dihormati, dan dipenuhi oleh siapa pun, termasuk penegak hukum maupun negara sebagai wujud perlakuan yang sama di depan hukum (the equlity before the law).

Hak-hak Terdakwa sudah dijamin oleh berbagai intrumen hukum internasional maupun hukum positif, seperti Deklarasi Universal HAM PBB 10 Desember 948, Pasal 10 mengatakan, “Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas pengadilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapakan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya”. Juga dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mengatakan, “Setiap orag berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.  Hak azasi manusia menurut pamfleter dan intelektual Britania Raya, Thomas Paine, adalah jalan keluar untuk mengatasi kesewenang-wenangan atau keadaan yang oleh aforisme Thomas Hobbes, homo homini lupus est, bellum omnium contra omnes, manusia yang satu jadi serigala bagi manusia lain, perang semua melawan semua. Maka seharusnya Terdakwa dibebaskan demi hukum seperti ditegaskan dalam asas in dubio pro reo/exceptio format regulam (jika ada keragu-raguan mengenai suatu hal, hakim harus menjatuhkan hukuman yang meringankan terdakwa). Hakim adalah hukum yang berbicara (judex set lex laguens). 

Namun, putusan hakim pengadilan Tipikor Jakarta Pusat terhadap kasus korupsi mantan Gubernur Papua sekaligus mantan Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk Meksiko, Honduras, dan Panama ini tidak objektif dan mencederai rasa keadilan Terdakwa. Hingga memunculkan banyak pertanyaan: mengapa Bas dihukum, apa tujuannya, dan atas perintah siapa sampai digelar peradilan sesat atau miscarriage of justice terhadap Bas? Tindakan kriminalisasi ini perlu dijawab oleh negara (presiden) melalui rekomendasi (petunjuk) Mahkamah Agung (MA) untuk proses rehabilitasi nama baik dan martabat tokoh Papua Barnabas Suebu dan keluarga. Sebab destruksi penegakan hukum dan ketidakadilan pengadilan kasus Bas menjadi salah satu potret buruk dari sekian banyak ketidakadilan pengadilan terhadap orang asli Papua selama negeri ini diintegrasikan dengan Indonesia sejak 1 Mei 1963. Ini akan mempertebal ketidakpercayaan (distrust) warga Papua terhadap Jakarta dan terus mempertajam kecurigaan, dendaman, dan konfrontrasi tanpa akhir antara orang Papua dan pemerintah Indonesia. “Tidak ada batasan waktu untuk mencari kebenaran, karena kebenaran itu abadi dan tetap ada untuk menunggu mereka yang mencarinya!” Liberte.

Oleh: Thomas Ch Syufi

Penulis adalah Advokat muda Papua dan Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR)

Editor: Sianturi