SALAM PAPUA (RAJA AMPAT)— Wilayah Raja Ampat kembali menjadi
sorotan publik, bukan karena pesona lautnya yang mendunia, melainkan karena
aktivitas tambang nikel yang terus meluas di beberapa pulau. Dari sejarah
panjang eksplorasi sejak era Orde Baru, kini pertambangan nikel kembali memicu
kontroversi besar akibat dampaknya terhadap lingkungan, masyarakat adat, dan
sektor pariwisata.
Aktivitas eksplorasi nikel di Raja Ampat dimulai sejak akhir
1960-an, terutama di Pulau Gag yang diketahui memiliki cadangan nikel berkadar
tinggi. PT Aneka Tambang (Antam) bersama perusahaan asing mulai melakukan
survei dan eksplorasi, yang pada tahun 1996 menghasilkan pembentukan PT Gag
Nikel, anak usaha Antam yang berkolaborasi dengan BHP Billiton asal Australia.
Namun, pada 1999, Pulau Gag ditetapkan sebagai hutan
lindung, membuat aktivitas tambang ditangguhkan. Setelah sempat terhenti, pada
2017 tambang kembali diaktifkan, menyusul melonjaknya permintaan nikel global
untuk baterai kendaraan listrik.
Hingga pertengahan 2025, aktivitas tambang nikel di Raja
Ampat telah meluas ke beberapa pulau lain seperti Pulau Kawe, Manuran, dan
Batan Pelei. Total luas wilayah pertambangan yang telah mendapat izin mencapai
lebih dari 22.000 hektar.
Namun, perkembangan ini disertai dampak lingkungan yang
mengkhawatirkan. Data lembaga lingkungan menyebutkan lebih dari 490 hektar
hutan telah mengalami deforestasi sejak 2020. Aktivitas tambang juga
menyebabkan limbah dan lumpur mencemari kawasan terumbu karang dan perairan
laut, yang selama ini menjadi jantung ekosistem dan wisata Raja Ampat.
Gelombang penolakan datang dari berbagai elemen masyarakat.
Komunitas adat di Pulau Kawe, Pulau Gag, dan kelompok pegiat lingkungan
menyatakan sikap menolak tambang nikel yang dinilai mengancam kelestarian alam
dan ruang hidup mereka. Baliho penolakan terpampang di pusat kota Waisai, dan
unjuk rasa masyarakat adat telah berlangsung beberapa kali sejak awal tahun
ini.
“Kami bukan menolak pembangunan, tapi menolak kehancuran.
Wilayah kami bukan untuk dikuras demi keuntungan perusahaan,” ujar seorang
tokoh adat dari Kawe.
Menanggapi polemik yang terus membesar, pemerintah pusat
melalui Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
akhirnya mengambil langkah tegas. Pada awal Juni 2025, pemerintah memutuskan
menghentikan sementara operasi tambang di empat pulau, termasuk Pulau Gag dan
Kawe, untuk dilakukan evaluasi izin dan dampak lingkungan.
Di sisi lain, DPR dan sejumlah anggota Komisi IV juga
mendesak adanya audit menyeluruh terhadap PT Gag Nikel dan entitas pertambangan
lainnya di Raja Ampat, terutama terkait transparansi penggunaan dana, program
tanggung jawab sosial (CSR), serta keterlibatan masyarakat lokal dalam
pengambilan keputusan.
Asosiasi pelaku wisata, termasuk PHRI Raja Ampat, turut
bersuara. Mereka menilai keberlanjutan pariwisata yang menjadi sumber utama
ekonomi lokal terancam jika tambang terus berjalan tanpa kontrol ketat.
“Jika laut tercemar dan hutan rusak, wisatawan tidak akan
datang lagi. Ini bukan hanya soal tambang, tapi soal masa depan ekonomi rakyat
Raja Ampat,” ujar perwakilan pelaku wisata lokal.
Sejarah panjang tambang nikel di Raja Ampat kini mencapai
titik kritis. Pemerintah dihadapkan pada dilema antara kepentingan investasi
nasional dan komitmen terhadap konservasi dunia. Langkah evaluasi dan suspensi
yang diambil menjadi penentu arah ke depan: apakah Raja Ampat tetap menjadi
simbol pariwisata ekologis, atau berubah menjadi wilayah industri tambang di
tengah krisis iklim global. (AI)
Editor: Sianturi