SALAM PAPUA (TIMIKA)- SETIAP kali kita mendengar kabar jatuhnya pesawat di Papua, duka mendalam kembali menyeruak. Bukan sekadar angka korban jiwa, melainkan kenyataan pahit bahwa transportasi udara di tanah Papua adalah nadi kehidupan.

Dari kota hingga pedalaman, dari Timika hingga Wamena, pesawat kecil dan helikopter bukan sekadar moda transportasi, melainkan jembatan yang menghubungkan harapan masyarakat di lembah-lembah terisolasi.

Namun, harus diakui, Papua memiliki tantangan alam yang tidak dimiliki wilayah lain di Indonesia. Pegunungan Jayawijaya berdiri gagah dengan jurang-jurang curam, lembah berkabut, dan awan pekat yang bisa muncul dalam hitungan menit. Pilot yang terbang di atas Papua dituntut lebih dari sekadar keahlian teknis mereka harus membaca tanda-tanda alam, mengenali jalur sempit di antara bukit, dan berhadapan dengan cuaca yang sulit diprediksi.

Seringkali, faktor-faktor ini menjadi penyebab kecelakaan. Pesawat yang sudah berumur, landasan pendek yang licin karena hujan, atau sekadar kabut tebal yang menutup pandangan dalam sekejap, bisa mengubah penerbangan rutin menjadi tragedi. Tetapi, menyalahkan alam semata tentu tidak adil. Alam Papua memang keras, namun justru di situlah letak tantangannya. Yang lebih penting adalah sejauh mana pemerintah dan maskapai serius menyiapkan sistem transportasi udara yang aman dan layak.

Kecelakaan demi kecelakaan seharusnya menjadi alarm bagi negara. Modernisasi navigasi, radar, serta perawatan armada harus diprioritaskan. Begitu pula dengan pembangunan infrastruktur darat seperti Trans Papua, agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada pesawat. Kita juga perlu memikirkan bagaimana menyiapkan generasi pilot lokal yang mengenal karakter Papua, sehingga bisa membawa pesawat dengan kepekaan terhadap geografi dan budaya setempat.

Pada akhirnya, terbang di atas Papua bukan hanya perjalanan dari satu titik ke titik lain. Ia adalah pertempuran antara manusia dan tantangan alam, antara harapan hidup dan risiko maut. Selama jalan raya belum sepenuhnya membuka keterisolasian, pesawat akan tetap menjadi tulang punggung.

Namun, sudah seharusnya tulang punggung ini dijaga dengan serius bukan hanya demi menghindari tragedi berikutnya, tetapi demi memastikan bahwa setiap sayap yang terbang di langit Papua benar-benar membawa keselamatan dan harapan.

Lebih jauh lagi, kecelakaan berulang juga menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem transportasi udara. Investor enggan menanamkan modal di wilayah pedalaman, distribusi hasil bumi seperti kopi dan sayur mayur terhambat, dan pembangunan ekonomi lokal tersendat. Papua akhirnya tetap terjebak dalam lingkaran isolasi padahal kekayaan alamnya melimpah.

Karena itu, mengurangi risiko kecelakaan pesawat di Papua bukan sekadar isu teknis penerbangan. Ini adalah agenda sosial-ekonomi. Setiap investasi untuk memperbarui armada, memperkuat navigasi, atau membangun alternatif jalur darat sejatinya adalah investasi untuk kesejahteraan rakyat. Negara harus melihat persoalan ini bukan hanya sebagai kecelakaan transportasi, tetapi sebagai penghalang pembangunan manusia Papua.

Selama pesawat masih menjadi nadi utama Papua, keselamatan penerbangan adalah harga mati. Setiap kecelakaan yang terjadi bukan hanya tragedi di udara, melainkan juga pukulan terhadap masa depan sosial-ekonomi di tanah Papua.

Setiap kali kecelakaan pesawat terjadi di Papua, publik ramai menyoroti faktor teknis: cuaca buruk, topografi sulit, atau pesawat tua. Namun jarang sekali pembahasan diarahkan pada aspek paling mendasar: kebijakan negara dalam menjamin keselamatan transportasi udara dan membangun alternatif jalur darat di Papua.

Transportasi udara memang tak terhindarkan di Bumi Cenderawasih. Pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan rutin menyalurkan subsidi angkutan udara perintis untuk menjaga konektivitas antar-daerah. Bandara-bandara kecil pun dibangun, mulai dari Nduga hingga Intan Jaya. Pemerintah daerah juga berperan dalam menjaga koordinasi, terutama terkait operasional maskapai perintis. Tetapi, semua ini kerap berhenti di infrastruktur fisik. Persoalan kualitas armada, perawatan rutin, dan kesiapan sumber daya manusia justru belum disentuh serius.

Lebih jauh lagi, pembangunan jalan Trans Papua yang digadang-gadang sebagai solusi darat sering tersendat akibat faktor keamanan, keterbatasan anggaran, dan minimnya dukungan infrastruktur pendukung. Akibatnya, ketergantungan pada pesawat tetap tinggi. Ironisnya, pemerintah pusat dan daerah tidak menempatkan isu keselamatan penerbangan di Papua sebagai prioritas nasional. Kecelakaan baru dianggap darurat ketika sudah merenggut korban.

Padahal dampaknya jelas: setiap kecelakaan udara di Papua bukan hanya tragedi kemanusiaan, pokok melonjak, layanan kesehatan terganggu, dan pembangunan sosial berhenti. Ini adalah lingkaran masalah yang hanya bisa diputus dengan kebijakan terpadu.

Negara tidak boleh melihat kecelakaan pesawat di Papua sebagai “nasib buruk di wilayah sulit”. Pemerintah pusat harus memastikan modernisasi navigasi, radar, dan armada pesawat di Papua sama seriusnya dengan pembangunan MRT di Jakarta atau jalan tol di Jawa. Pemerintah daerah pun mesti aktif, bukan sekadar menunggu bantuan pusat, tetapi berani mendorong kerja sama strategis dengan maskapai, menyiapkan pilot lokal, hingga memastikan dana Otsus benar-benar menyentuh sektor transportasi vital.

Jika Papua terus diperlakukan dengan paradigma darurat, maka tragedi udara akan berulang. Tetapi bila negara berani menempatkan keselamatan penerbangan dan pembangunan konektivitas sebagai hak dasar masyarakat Papua, maka setiap sayap yang terbang di langit Papua bukan lagi sekadar taruhan, melainkan benar-benar jembatan menuju masa depan yang lebih sejahtera.

Penulis: Sianturi