SALAM
PAPUA (TIMIKA) - Warga Mimika, khususnya kaum muda tentunya
sering berkunjung ke Kuala Kencana (area operasi dataran rendah PT
Freeport Indonesia) dan melihat sejumlah patung Kamoro di beberapa titik
dalam kota modern yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1995
itu.
Selain di Kuala Kencana, patung-patung
bernilai historis warisan budaya dari suku Kamoro juga dapat dilihat
di bagian pintu masuk dan bagian dalam Rimba Papua Hotel (RPH).
Namun, pastinya tidak banyak yang tahu siapa sosok seniman yang mengukir
patung-patung yang menjadikan suku Kamoro makin dikenal ke seantero Nusantara
hingga ke luar negeri.
Secara eksklusif, Kamis (11/4/2024), salampapua.com
bertandang ke kediaman seniman tersebut yang terletak di dekat
perempatan SP6, tepatnya di samping Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)
Kelas IIB Timika, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah.
Timotius Samin, nama seniman yang akan
merayakan ulang tahunnya ke-81 pada Mei 2024 ini.
Timotius Samin ternyata memiliki pembawaan
yang sangat ramah dan suka bercerita tentang kebudayaan yang hingga saat ini
tetap dijunjungnya.
Pada sekitar pukul 11.00 WIT, saat ditemui salampapua.com,
Timotius sedang menata kanopi rumah bagian depan yang rencananya akan
dijadikan sebagai sanggar menyimpan berbagai karya kerajinan
tangan khas suku Kamoro serta buku-buku sejarah serta cerita perjalanan budaya
Kamoro.
Meski tidak diwarisi peralatan oleh Almarhum
ayahnya, tetapi secara otodidak atas gejolak darah seni yang mengalir di
tubuhnya, Timotius mulai menekuni seni mengukir saat dirinya
menjabat sebagai kepala kampung Kiyura pada 1991 di masa pemerintahan
Kabupaten Fakfak mempromosikan budaya di Waena, Jayapura.
"Itu pas di masa Gubernur Barnabas Suebu
dan Mimika masih bagian dari kabupaten Fakfak, yaitu pada masa Bupati
Matondang. Saya menjabat sebagai kepala kampung Kiyura dan ikut dalam tim
perwakilan dari Timika ke Waena," ujar ayah 7 orang anak ini.
Usai mengikuti promosi di Waena, dia
mengisahkan, pada tahun 1992 ia mulai mengukir patung Mbitoro, dan
hasilnya dia tunjukan kepada pengukir tua suku Kamoro, yaitu Yakob Yarpae
dan Yohanes Waniau. Dua pengukir tua itu menilai hasil ukirannya sangat
bagus dan tergolong sebagai ukiran sakral.
"Dua pelukis tua itu mengaku bahwa ukiran
saya itu sangat luar biasa dan saya pun diprediksi menjadi pengukir yang akan
dikenal masyarakat. Mereka bilang ukiran itu sakral," ujarnya bangga.
Pada tahun 1993, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia, Wardiman Djojonegoro berkunjung ke Timika dan melakukan penandatanganan
kesepakatan bersama PT Freeport Indonesia (PTFI) agar ikut membina warga
Kamoro dalam upaya mempromosikan budaya. Sejak saat itu, mulai muncul
seniman-seniman Kamoro yang dibina PTFI, selanjutnya diutus mengikuti
studi banding di Bali mewakili Kabupaten Fakfak.
"Kalau saya tidak salah ingat,
kesepakatan pembinaan selama 6 tahun. Setelah kesepakatan itu, saya mulai jadi
kaki tangan Dr. Kal Muller untuk order papan-papan ke Kaokonao untuk kemudian
dipajang di Hotel Rimba Papua yang di bagian luar ataupun di bagian dalam serta
di restorannya. Sejak saat itu juga saya menjadi pembina bagi pengukir lainnya
di Kaokonao, Timika Pantai dan kampung-kampung pesisir Mimika lainnya,"
ujarnya.
Tahun 1994, ia pun meninggalkan jabatan
sebagai Kepala Kampung Kiyura dan fokus mengangkat budaya Kamoro. Tahun 1995,
Timotius bersama seniman-seniman binaannya mulai intens melakukan pameran ke
luar Timika, seperti ke Bali dan Jakarta Selatan.
Bukan hanya ke beberapa kota di Indonesia, dengan
difasilitasi oleh PTFI, tahun 2023 ia didampingi istri dan beberapa
seniman Kamoro lainnya terbang ke Belanda untuk menampilkan ukiran-ukiran khas
Kamoro di museum Leiden (Museum yang menampilkan warisan budaya dari berbagai
negara).
Sebelumnya, pada tahun 2007 ia juga
bergabung bersama tim khusus seniman Indonesia mengikuti festival di
Bulgaria, Venezuela dan Turki. Tahun 2010, mengikuti pameran di Jerman
bersama seniman dari beberapa daerah lainnya se-Indonesia, seperti Bali,
Jepara, Kalimantan dan yang lainnya.
Kegiatan di setiap negara itu, ia selalu
membawa kayu utuh atau mentah yang kemudian dipentaskan (mengukir) di hadapan
peserta dari negara-negara lain dan hal itu menjadi penilaian khusus yang
kemudian akhirnya diberi penghargaan oleh Duta Besar Indonesia yang berada di
setiap negara yang dikunjunginya.
"Saya dengan seniman-seniman di Kaokonao
sama-sama belajar bagaimana caranya mempromosikan budaya Kamoro sehingga selain
promosi di Tembagapura dan Kuala Kencana, kami juga mulai mempromosikan ke luar
Timika hingga ke luar negeri. Pas ke Belanda, kami didampingi Dr. Kal Muller
yang mewakili PTFI. Di setiap negara ada Duta besar Indonesia yang beli
dan dikirim kembali sehingga pemerintah Indonesia di masa Presiden Bambang
Yudhoyono juga memberikan penghargaan," katanya.
Tahun 2014, dia mengikuti promosi budaya di
Amsterdam Belanda, tepatnya di pusat perkotaan peninggalan Ratu Wilhelmina.
Saat itu juga dihadiri seniman-seniman lainnya dari berbagai provinsi di
Indonesia.
"Pulang dari Amsterdam, saya
diundang oleh Letnan Jenderal TNI Dr. H. Doni Monardo ke markas mereka di
Sijantung, Riau, untuk mengikuti HUT Kopasus. Saya ke sana juga bersama 45
penari yang saya bina dari Kaokonao," katanya.
Tahun 2018, ia bersama Yayasan Maramowe Weaiku
Kamorowe ikut pameran ke Jenewa, Swiss. Tahun 2020, dia memenuhi undangan
Istri Tito Karnavian, Ny. Tri Suswati Karnavian untuk mengikuti pameran di
Sidney, Australia.
"Sebelum covid-19, saya ikut pameran di
Sidney atas undangan Ibu Tri Suswati," ujarnya.
Adapun beberapa ukiran hasil karya tangannya
diceritakan, pada tahun 1995 dia mengisi ukiran di Kuala Kencana sebelum diresmikan
oleh Presiden Soeharto.
Patung Yuwamapaku (sebutan bagi suku Kamoro
yang mendiami wilayah pesisir bagian Barat Tengah) dan Wemawe (sebutan bagi
suku Kamoro yang mendiami bagian Timur pesisir) ada di Alun-alun Kuala Kencana.
Selain di Alun-alun juga ada di check point 32 atau gerbang masuk Kuala
Kencana. Dua patung di gerbang masuk Kuala Kencana itu merupakan patung Wemawe
yang juga sakral sebagai leluhur suku Kamoro.
"Patung yang di Alun-alun merupakan
patung sakral sebagai manusia pertama yang hidup di alam gaib. Di check point
32 juga sama memiliki nilai sakral dan itu hasil pahatan kayu utuh tanpa dibelah,
tapi untuk di dalam kota Kuala Kencana sudah ada beberapa yang sudah lapuk dan
akan diganti," ungkapnya.
Sementara di RPH dipasang pada tahun 1997 yang
diletakan di sisi kanan dan kiri pintu masuk, ukiran perahu panjang dilengkapi
dayungnya ada di bagian dalam hotel serta beberapa ukiran lainnya di bagian
dalam restoran. Ukiran-ukiran itu juga memiliki nilai cerita untuk mengingatkan
bahwa orang Kamoro memulai hidup dengan sejarah.
"Begitu RPH selesai dibangun, langsung
kita pasang ukiran-ukiran yang ada sampai saat ini. Itu semua hasil karya
seniman yang saya bina dari Kaokonao, Timika Pantai, Kekwa dan wilayah pesisir
lainnya," jelasnya.
Ukiran patung juga dipasang di Polres Mimika
dan Kodim 1710/Timika. Terakhir dia mengukir beberapa ornamen yang ada di
terminal baru Bandara Mozes Kilangin di jalan C Heatubun.
Mengakhiri kisahnya, Timotius menyampaikan, menjadi
seniman merupakan profesi yang patut dibanggakan, karena sebagai pewaris
leluhur dalam menjaga adat dan budaya.
"Saya senang dan bangga terus mengukir
karena itu warisan budaya. Jadi seniman tidak semata untuk mendapatkan uang,
tetapi yang paling penting ialah menjaga kelestarian budaya," tutupnya.
Penulis: Acik
Editor: Jimmy