SALAM
PAPUA (TAJUK) – Benarkah menatap media sosial (Medsos)
dalam waktu yang lama secara kumulatif membuat atau menunjukkan penggunanya
sedang kesepian dan bahkan mengalami depresi berat (gangguan kejiwaan)? Simak penjelasan berikut ini.
Sebuah sindrom psikologis yang dikenal dengan
istilah FOMO, singkatan dari Fear of
Missing Out, kembali viral dibahas akhir-akhir ini, baik dari banyaknya
penelitian di bidang ilmu psikologi di beberapa kampus di Indonesia bahkan di
dunia, maupun beberapa kementerian seperti Kementerian Kesehatan dan
Kementerian Keuangan RI tak ketinggalan menjelaskan fenomena ini di websitenya.
Secara garis besar, FOMO mempunyai arti
perasaan takut dan cemas di dalam diri seseorang untuk ketinggalan tren, informasi
tentang aktivitas orang lain, berita, dan sejenisnya, melalui media sosial.
Istilah FOMO ini pertama kali disebutkan atau
diciptakan oleh Patrick McGinnis pada tahun 2003 saat dirinya menjadi mahasiswa
di Harvard Business School di Boston, Amerika Serikat. Di tahun itu, penggunaan
internet sedang berkembang pesat, dan juga menjadi tahun-tahun awal
terbentuknya Facebook oleh sang penciptanya bernama Mark Zuckerberg.
Latar belakang Patrick menggagas istilah ini
lantaran melihat teman-teman di kampusnya selalu berusaha untuk terlihat paling
gaul melalui pengetahuan mereka atas berbagai informasi dan tren dari media
sosial, yang saat itu media sosial yang sedang “naik daun” adalah Friendster. Patrick
pun menulis sebuah artikel di kolom Humor pada surat kabar kampus HARBUS di
tahun 2004, yang mana di artikel inilah istilah FOMO pertama kali muncul.
Di tahun 2014, satu dekade kemudian, saat
pertemuan alumni dari kampus Harvard Business School (HBS), Patrick didatangi
seorang wartawan yang hendak mewawancarainya tentang asal muasal dirinya
mencetuskan istilah FOMO ini. Tulisan wartawan ini pun ternyata menjadi viral
dan akhirnya menjadi bahasan menarik di masa itu. Viralnya berita hasil karya
wartawan tersebut diakui Patrick mampu mengubah nasibnya. Patrick akhirnya
menulis buku, melakukan banyak talkshow, dan podcast bertajuk FOMO Sapiens
untuk membahas sekelumit tentang FOMO yang berpengaruh aktif dalam berbagai pengambilan
keputusan di kehidupan manusia.
Di tahun 2014 itu juga, tepatnya di bulan
Oktober-November, sebuah penelitian yang diketuai Brian Primack dari University
of Pittsburgh, yang meneliti 1.787 orang berusia antara 19-32 tahun dalam
menggunakan Media Sosial, ditemukan bahwa mereka yang mengunjungi media sosial
lebih dari 121 menit perhari atau 58 kali seminggu cenderung tiga kali lebih
merasa kesepian dibanding yang menggunakannya kurang dari 30 menit perhari atau
9 kali dalam seminggu. Studi ini menunjukkan bahwa semakin lama seseorang
menghabiskan waktu di media sosial, berdampak pada semakin sedikit waktunya
dalam berinteraksi sosial di dunia nyata.
Bahkan berdasarkan hasil penelitian pada tahun
2019 di Texas State University dikemukakan bahwa seseorang yang “kecanduan” atau
menggunakan Medsos berjam-jam berpotensi mengalami resiko depresi berat atau
gangguan kejiwaan.
Fakta lain yang cukup mengejutkan, dimana
berdasarkan data world population review
tentang pengguna Medsos berdasarkan negara di tahun 2024, di bulan Juli ini Indonesia
menempati peringkat ke-4 dunia di atas Brazil dengan total pengguna Medsos
adalah 167 juta jiwa atau 59,4 persen dari populasi sekitar 281 juta jiwa. Data
ini meningkat 9,75 persen dibanding bulan Januari 2024, yang mana Indonesia
menempati peringkat ke-5 dunia di bawah Brazil dengan pengguna Medsos berjumlah
139 juta jiwa. Bahkan disinyalir tingkat pertumbuhan rata-rata pengguna Medsos
akan naik 3,9 persen hingga tahun 2025. Dan Facebook menjadi platform digital
yang paling banyak digunakan. Sementara secara keseluruhan, menurut world population review, rata-rata orang
menghabiskan waktu 135 menit sehari di Medsos.
Berdasarkan data tersebut dan jika dihubungkan
dengan hasil penelitian di University of Pittsburgh dan Texas State University
di atas, bisa saja menjadi sebuah kesimpulan sementara (hipotesa) bahwa 59,4
persen penduduk Indonesia saat ini sedang kesepian atau bahkan sedang mengalami
depresi berat (gangguan kejiwaan) karena Medsos.
Nah, sekarang kembali kepada keputusan kita
semua, apakah kita akan pasrah terhadap Medsos yang menjadikan kita sebagai
orang-orang kesepian dan terisolasi dari interaksi sosial di dunia nyata,
bahkan Medsos akan membuat kita mengalami gangguan kejiwaan?
Memang tidak dapat disangkal, di era
perkembangan teknologi saat ini, kita tidak dapat menghindar dari penggunaan berbagai
platform digital berbasis internet, termasuk platform media sosial, yang juga
memberi banyak dampak positif di dalam berbagai sendi kehidupan manusia. Dan
mungkin saja dapat dikatakan hal itu sudah menjadi kebutuhan primer saat ini. Namun
adalah lebih baik jika kita mulai sekarang mengambil sikap dan komitmen untuk
menggunakan Medsos atau platform digital lainnya secara bijak, teratur dan
terukur.
Kita harus mengambil sikap dan berkomitmen
untuk berubah dengan mengurangi tekanan psikologis atau perasaan “ingin selalu
mau tahu” isi Medsos atau platform digital lainnya mencakup pengurangan waktu penggunaannya,
berhenti mengikuti (unfollow) akun personal atau grup Medsos yang dapat
menyebabkan gangguan emosional (distress), dan membatasi atau bahkan hilangkan
kebiasaan membandingkan keberadaan diri dengan orang-orang di Medsos.
Salam bermedsos secara bijak...
Amolongo, Nimaowitimi, Saipa
Penulis: Jimmy