SALAM PAPUA (TIMIKA)- Frans Kaisiepo (10 Oktober 1921
– 10 April 1979) adalah seorang politikus Papua dan nasionalis Indonesia. Ia
menjabat sebagai Gubernur Provinsi Papua keempat. Pada tahun 1993, Frans secara
anumerta dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia atas usahanya seumur
hidup untuk mempersatukan Irian Barat dengan Indonesia. Sebagai wakil Provinsi
Papua, ia terlibat dalam Konferensi Malino, di mana pembentukan Republik
Indonesia Serikat dibahas.
Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993 nama Frans
Kaisiepo ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia dari Papua.
Biografi
Frans Kaisiepo lahir di Pulau Biak pada 10 Oktober 1921 dari
pasangan Albert Kaisiepo dan Albertina Maker. Dia pernah mengenyam pendidikan
di sebuah sekolah guru agama Kristen di Manokwari dan Sekolah kursus Pegawai
Papua (Papua Bestuur School) di kota NICA, sekarang Kampung Harapan, Distik
Sentani Timur, Kabupaten Jayapura.
Nasionalisme Indonesia
Pada 1945, Frans bertemu Sugoro Atmoprasodjo di Sekolah
Kursus Pegawai. Mereka dengan cepat menemukan titik temu karena dukungan
bersama mereka untuk kemerdekaan Indonesia. Kaisiepo sering mengadakan
pertemuan rahasia untuk membahas aneksasi Nugini Belanda oleh Republik
Indonesia.
Pada 31 Agustus 1945, ketika Papua masih diduduki Belanda,
Frans termasuk salah satu orang menegakkan eksistensi Republik Indonesia dan
orang pertama yang mengibarkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu
Indonesia Raya di Papua.
Pada Juli 1946, Frans menjadi utusan Nugini Belanda dan
satu-satunya orang asli Papua pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan.
Sebagai Juru Bicara, dia menyarankan wilayah itu disebut "Irian",
menjelaskan kata itu berarti "tempat yang panas" dalam bahasa
aslinya, Biak. Pada bulan yang sama, Partai Indonesia Merdeka didirikan oleh
Frans di Biak, dengan Lukas Rumkorem sebagai pemimpin terpilih partai tersebut.
Pada Agustus 1947, Silas Papare memimpin pengibaran bendera
merah putih Indonesia untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Tindakan
ini mengakibatkan penangkapan semua peserta oleh polisi Belanda. Mereka
dikurung selama lebih dari tiga bulan. Selama itu Frans dan Johans Ariks
mengambil peran Papare. Johans kemudian mengetahui rencana untuk
mengintegrasikan Irian Barat sebagai wilayah Indonesia, alih-alih mengembangkan
otonominya.
Frans terlibat dalam pemberontakan di Biak pada Maret 1948,
memprotes pemerintahan Belanda. Pada tahun 1949, ia menolak penunjukan sebagai
pemimpin delegasi Nugini Belanda dalam Konferensi Meja Bundar
Belanda-Indonesia, karena ia merasa Belanda berusaha mendikte dia. Karena
perlawanannya, dia dipenjarakan dari tahun 1954 hingga 1961.
Karier politik
Setelah dibebaskan dari penjara pada tahun 1961, ia
mendirikan Partai Irian yang berupaya menyatukan Nugini Belanda dengan Republik
Indonesia. Untuk membayangkan dekolonisasi Nugini Belanda, Presiden Sukarno
berpidato yang mendirikan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada 19 Desember 1961 di
Yogyakarta.Tujuan komando itu adalah: membatalkan pembentukan "negara
Papua" yang diciptakan oleh kekuasaan kolonial Belanda, mengibarkan
bendera Indonesia di Irian Barat, dengan demikian menegaskan kedaulatan
Indonesia di daerah tersebut, mempersiapkan mobilisasi untuk
"mempertahankan kemerdekaan dan penyatuan tanah air" Sebagai hasil
dari pidato bersejarah ini, banyak yang memilih untuk mendaftar di angkatan
bersenjata, sebagai bagian dari Operasi Trikora.
Karena Aksi Trikora, Pemerintah Belanda terpaksa
menandatangani perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian New York pada 15
Agustus 1962 pukul 12:01. Pengalihan penyelenggaraan pemerintahan ke UNTEA
terjadi pada 1 Oktober 1962. Pengalihan Irian Barat ke Indonesia dilakukan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun berikutnya pada 1 Mei 1963. Sementara
itu, pemerintah Indonesia akan diserahi tugas untuk mengembangkan wilayah
tersebut dari tahun 1963 hingga 1969, dan pada akhir tahun itu orang Papua
harus memutuskan apakah akan bergabung dengan Indonesia atau tetap otonom atau
tidak.
Gubernur Irian yang pertama adalah Eliezer Jan Bonay, yang
menjabat kurang dari setahun (1963–1964). Bonay pada awalnya berpihak pada
orang Indonesia. Namun, pada tahun 1964 ia menggunakan Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera) di Irian Jaya untuk menyerukan kemerdekaan Irian Barat sebagai
negara yang terpisah; permintaan ini diteruskan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Tindakannya tersebut menyebabkan dia mengundurkan diri dari jabatannya pada
tahun 1964, ketika Frans Kaisiepo menggantikannya sebagai gubernur. Pengunduran
dirinya tanpa penggantinya mengecewakan Bonay dan mendorongnya untuk bergabung
dengan Organisasi Papua Merdeka, yang beroperasi di pengasingan di Belanda,
menjadi salah satu tokoh terkemuka dalam prosesnya.
Masa jabatan Kaisiepo sebagai gubernur Irian berupaya untuk
mempromosikan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Hal ini mendorong dukungan
di dalam negara untuk opsi Penentuan Pendapat Rakyat untuk penyatuan, sebagai
lawan dari kemerdekaan penuh, meskipun ada tentangan besar dari sebagian besar
penduduk asli Papua. Pada tahun 1969, Irian diterima di Indonesia sebagai
Provinsi Irian Jaya (kemudian Papua). Atas upayanya mempersatukan Papua dengan
Indonesia, ia terpilih menjadi anggota parlemen untuk Papua pada pemilihan
Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1973 dan diangkat menjadi Dewan
Pertimbangan Agung pada tahun 1977 sebagai wakil untuk urusan Papua.
Kematian
Kaisiepo meninggal dunia pada 10 April 1979 karena serangan
jantung. Ia dimakamkan di sebuah lahan di seberang jalan Taman Makam Pahlawan
Cendrawasih di Kampung Mokmer, Kabupaten Biak Numfor, yang sekarang menjadi
Makam Pahlawan Nasional Indonesia Frans Kaisiepo. Makam beliau dan TMP
Cendrawasih terletak beberapa kilometer ke arah timur Bandara Internasional
Frans Kaisiepo.
Keluarga
Kaisiepo menikah dengan Anthomina Arwam dan memiliki tiga
orang anak. Pasangan itu tetap bersama sampai kematian Arwam. Pada 12 November
1973, ia menikah dengan Maria Magdalena Moorwahyuni, perempuan keturunan
keluarga ningrat Tjondronegoro, kakek buyutnya merupakan Bupati di Kudus, Jawa
Tengah. Mereka memiliki satu anak laki-laki dan kemudian mengadopsi seorang
anak perempuan.
Peninggalan
Atas pengabdian jasanya, Frans Kaisiepo dianugerahi Bintang
Mahaputra Adipradana Kelas Dua oleh pemerintah Indonesia.Frans Kaisiepo
menginginkan persatuan nasional, dan bekerja untuk tujuan itu sepanjang
hidupnya. Dia diangkat secara anumerta sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada
peringatan 30 tahun penyerahan Papua ke Indonesia pada tahun 1993.
Ia juga merupakan nama bandara lokal yang melayani Kabupaten
Biak Numfor dan Supiori, yang dikenal sebagai Bandar Udara Internasional Frans
Kaisiepo.
Kaisiepo juga merupakan salah satu tokoh sejarah yang
terpilih untuk digambarkan dalam uang kertas rupiah Indonesia edisi 2016
baru-baru ini, khususnya uang kertas senilai Rp10.000. Selain itu namanya juga
diabadikan di salah satu KRI yaitu KRI Frans Kaisiepo. (Wikipedia)
Editor: Sianturi