SALAM PAPUA (TIMIKA) – Polemik pembangunan Pondok Pesantren Al Islami Tahfidzil Qur’an An Nahdhiyyah di SP3, Mimika, akhirnya mencapai titik damai. Melalui mediasi yang difasilitasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Mimika, kedua belah pihak menyepakati empat poin penting dalam pertemuan yang digelar di Kantor FKUB Mimika, Senin (4/8/2025).

Pihak Gereja Baptis Batu Karang SP3 yang dipimpin Pdt. Bondius Wanimbo bersama jajaran pengurus, dan pihak Yayasan Ponpes Al Islami Tahfidzil Qur’an An Nahdhiyyah yang dipimpin Hasyim Asyari, M.Pd.I, sepakat menyelesaikan persoalan secara damai dan bermartabat.

Mediasi dipimpin langsung oleh Ketua FKUB Mimika, Dr. Jeffrey Hutagalung, M.Phil, bersama jajaran pengurus, dan dihadiri Kepala Badan Kesbangpol Mimika, Yan Selamat Purba, ST, M.Si, Kepala Kantor Kementerian Agama Mimika, Gabriel Rettobyaan, S.Ag, serta tokoh agama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Mimika, HM M. Tahir, Lc, yang turut memberi pencerahan terkait status tanah wakaf.

Polemik ini bermula dari rencana pembangunan pondok pesantren yang ditolak oleh pihak Gereja Baptis Batu Karang karena lokasinya dinilai terlalu dekat dengan rumah ibadah mereka, yang sempat menjadi perbincangan di media sosial. Kedua pihak diketahui beralamat di Jalan Malio, RT 22/RW 00, TSM Kuala Kencana, Kabupaten Mimika. Namun pihak gereja tidak melarang jika di lokasi tersebut dibangun rumah, ruko dan lain-lain.

Dalam mediasi tersebut, telah disepakati dan ditandatangani empat poin penting:

Pertama: Pembangunan pondok pesantren tidak akan dilanjutkan di lokasi yang dimaksud.

Kedua: Tanah wakaf akan diserahkan ke Lembaga Wakaf Nahdlatul Ulama.

Ketiga: Lembaga Wakaf NU akan mengelola lahan tersebut untuk kegiatan produktif berupa pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Keempat: Kedua belah pihak sepakat untuk menjaga kerukunan, kekeluargaan, dan keharmonisan antar umat beragama.

Berita acara kesepakatan ditandatangani secara sukarela oleh kedua pihak tanpa tekanan, dan masing-masing pihak membacakan isi kesepakatan tersebut. Pihak gereja diwakili Pdt. Bondius Wanimbo, sedangkan dari pihak pesantren oleh Ketua PWNU Papua Tengah, Imam Mawardi. Kesepakatan ini juga ditandatangani oleh Ketua FKUB, Kepala Badan Kesbangpol, dan Kepala Kantor Kemenag sebagai mediator dan juga para saksi dari kedua belah pihak.

Ketua FKUB Mimika, Dr. Jeffrey Hutagalung, menegaskan bahwa mediasi ini adalah yang ketiga sekaligus yang terakhir dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Ia menyebutkan bahwa penyelesaian damai yang lahir dari kesadaran masing-masing pihak merupakan anugerah tersendiri.

“Ini bukan keputusan FKUB, melainkan hasil dari para pihak. Kami percaya Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan pencerahan luar biasa. Harmoni ini adalah karya ilahi, bukan sekadar hasil kerja manusia,” tegasnya.

Ia menyebutkan bahwa penghargaan seperti Harmoni Award bukanlah tujuan utama, melainkan hasil dari kehidupan damai yang sungguh-sungguh dijalani.

“Apa artinya penghargaan tanpa harmoni? Lebih baik kita wujudkan harmoni dulu, baru penghargaan datang. Harmoni adalah makna hidup bersama,” ungkapnya.

FKUB juga mengapresiasi media Salampapua.com karena telah menyajikan pemberitaan yang adil dan berimbang sepanjang proses mediasi berlangsung.

Ketua PWNU Papua Tengah, Imam Mawardi, dalam kesempatan tersebut menyampaikan permohonan maaf kepada pihak gereja karena belum melakukan sowan sebelumnya. Ia menegaskan bahwa pembangunan pesantren murni untuk mendidik generasi berakhlak mulia dan merupakan inisiatif dari PWNU dan PCNU.

“Saya berharap kita terus menjalin tali persaudaraan. Kita berbeda agama, tapi satu dalam tujuan, membentuk manusia yang baik dan bermanfaat bagi sesama,” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Gereja Baptis Batu Karang, Mabius Komba, menjelaskan bahwa penolakan terhadap pembangunan pondok pesantren di lokasi tersebut lebih karena pertimbangan jangka panjang.

“Kami orang Papua kalau bikin acara itu seperti apa dan lokasi dekat sekali. Jadi kami khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ke depannya,” ujarnya.

Sementara itu Kepala Kantor Kemenag Mimika, Gabriel Rettobyaan, menyambut baik hasil kesepakatan damai ini dan menekankan pentingnya menjadikan slogan “Mimika Rumah Kita” sebagai prinsip hidup bersama.

“Kita ini hidup di rumah kita sendiri, bukan sekadar menumpang. Mari kita rawat rumah ini bersama dengan damai dan sukacita,” pesannya.

Senada, Kepala Badan Kesbangpol Mimika, Yan Selamat Purba, menegaskan bahwa stigma intoleransi di Papua harus dipatahkan melalui tindakan nyata.

“Kita mulai dari Mimika. Di mana kita berpijak, di situ kita harus menghargai orang lain. Mari kita usahakan kemakmuran dan toleransi untuk semua suku dan agama di daerah ini,” ujarnya.

Mediasi ditutup dengan pembacaan pernyataan bersama, penandatanganan dokumen kesepakatan, ramah tamah, dan sesi foto bersama.

Penulis/Editor: Sianturi