SALAM PAPUA (TIMIKA)- Beberapa waktu terakhir, aparat kepolisian di Mimika kembali mengungkap kasus narkoba jenis sabu. Hampir setiap bulan ada saja penangkapan, mulai dari pengedar hingga pengguna, dengan barang bukti yang dikirim melalui jalur ekspedisi maupun dibawa langsung dari luar daerah. Fakta ini menegaskan bahwa Mimika kini sudah menjadi pasar empuk bagi jaringan narkoba.

Ironisnya, sebagian dari mereka yang terjerat justru masih muda. Kondisi ini menunjukkan betapa sabu dan narkoba lain semakin merambah ke lingkungan dan pergaulan anak muda. Di tengah lemahnya pengawasan orang tua dan semakin bebasnya pergaulan, narkoba hadir sebagai “cobaan” yang sulit dihindari.

Pergaulan salah sering kali berawal dari hal kecil: nongkrong, mencoba rokok, minuman keras, hingga akhirnya berani mencicipi sabu. Sekali terjerat, sulit untuk keluar. Dampaknya bukan hanya pada diri mereka, tetapi juga keluarga dan masyarakat. Anak yang seharusnya menjadi harapan justru kehilangan masa depan karena ketergantungan narkoba.

Jika kita menengok beberapa kasus sabu di Mimika, polanya hampir sama: barang dikirim dari luar, diedarkan melalui jaringan lokal, dan sebagian besar penggunanya adalah anak muda. Ini alarm keras bahwa Mimika bukan hanya jalur transit, melainkan sudah menjadi lahan konsumsi.

Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum memang terus berupaya menekan peredaran. Namun langkah represif saja tidak cukup. Yang paling penting adalah membangun benteng pertahanan sosial bagi anak-anak. Sekolah harus berperan aktif melalui penyuluhan dan kegiatan positif yang mengalihkan perhatian siswa dari godaan narkoba. Orang tua juga wajib lebih peka, tidak membiarkan anak-anaknya mencari pelarian di luar rumah tanpa kontrol.

Selain itu, tokoh adat dan agama di Mimika perlu menyatukan suara: menyatakan perang terhadap narkoba, terutama sabu yang kini paling banyak masuk. Pendekatan kultural dan spiritual sangat efektif di Papua, karena mampu menyentuh hati generasi muda lebih dalam daripada sekadar ancaman hukum.

Mimika adalah daerah dengan potensi besar, namun masa depan itu bisa hancur jika generasi emasnya lenyap oleh sabu. Melawan narkoba bukan hanya tugas aparat, melainkan tanggung jawab bersama: keluarga, sekolah, masyarakat, hingga pemerintah.

Menyelamatkan anak-anak dari sabu berarti menyelamatkan Mimika dari ancaman hilangnya masa depan. Pertanyaan mendasarnya: siapa yang bisa menjadi benteng moral untuk menyelamatkan generasi ini?

Jawabannya salah satunya ada pada tokoh agama. Di Papua, termasuk Mimika, tokoh agama memiliki posisi yang sangat strategis. Mereka bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga figur panutan yang dihormati masyarakat. Suara mereka didengar, pesan mereka dipercaya, dan nasihat mereka sering kali lebih berpengaruh dibandingkan instruksi pemerintah.

Peran tokoh agama dalam perang melawan narkoba bisa diwujudkan dalam berbagai cara. Pertama, melalui mimbar keagamaan. Khotbah di gereja, ceramah di masjid, atau pengajaran di tempat ibadah lainnya dapat menjadi ruang efektif untuk menyuarakan bahaya narkoba. Pesan iman yang dikaitkan dengan kehancuran akibat narkoba akan lebih membekas di hati umat.

Kedua, tokoh agama berperan dalam membangun benteng moral. Anak-anak muda yang kuat imannya tidak mudah terjerumus ke dalam pergaulan salah. Narkoba sering kali merasuki jiwa yang kosong dan rapuh. Dengan penguatan rohani, tokoh agama membantu mengisi kekosongan itu agar generasi muda tidak mencari pelarian pada narkoba.

Ketiga, tokoh agama bisa menjadi pendamping keluarga dan korban. Banyak keluarga di Mimika merasa malu ketika anaknya terjerat narkoba. Padahal, justru di saat seperti itu mereka membutuhkan dukungan. Tokoh agama dapat hadir sebagai penguat, mengurangi stigma, dan mendorong korban untuk menjalani rehabilitasi, bukan malah dikucilkan.

Keempat, mereka dapat menciptakan ruang kegiatan positif. Melalui kelompok pemuda gereja, remaja masjid, atau komunitas keagamaan lainnya, anak-anak muda diarahkan untuk aktif dalam olahraga, seni, maupun kegiatan sosial. Inilah cara sederhana namun nyata untuk menjauhkan generasi muda dari pergaulan salah.

Akhirnya, tokoh agama juga berperan sebagai penyatu suara moral masyarakat. Jika semua pemimpin agama di Mimika bersatu, menyatakan perang terhadap narkoba, dan terus menyuarakannya di setiap kesempatan, maka pesan itu akan menembus lebih jauh daripada sekadar spanduk atau slogan pemerintah.

Narkoba adalah musuh bersama. Aparat memang bisa menangkap pengedar, tetapi tokoh agama lah yang bisa mencegah lahirnya pengguna baru. Jika pemerintah, aparat, dan tokoh agama berjalan seiring, Mimika tidak hanya bisa menekan peredaran narkoba, tetapi juga melindungi generasi emas Papua dari kehancuran.

Penulis: Sianturi