SALAM PAPUA (TIMIKA)- Program Makanan Bergizi Gratis yang
dicanangkan pemerintah merupakan langkah progresif dalam menjawab permasalahan
gizi dan ketimpangan akses pangan di Indonesia, terutama bagi anak-anak usia
sekolah. Di wilayah seperti Papua yang selama ini menghadapi tantangan
geografis, ekonomi, dan sosial program ini menjadi harapan besar untuk
meningkatkan kualitas hidup generasi muda. Namun, dalam pelaksanaannya, muncul
kekhawatiran serius terkait aspek keamanan pangan, kelayakan konsumsi, dan
standar pelaksanaan yang belum merata.
Baru-baru ini, muncul laporan mengenai dugaan keracunan
makanan yang terjadi pada pelaksanaan program ini di beberapa daerah, termasuk
wilayah Papua. Beberapa anak dilaporkan mengalami gejala seperti mual, muntah,
hingga harus dilarikan ke fasilitas kesehatan setelah mengonsumsi makanan yang
seharusnya bergizi. Ini bukan sekadar insiden biasa ini adalah peringatan keras
bahwa pelaksanaan program sosial berskala besar tidak bisa hanya mengejar
kuantitas distribusi, tetapi harus menjamin kualitas dan keamanan pangan.
Papua adalah wilayah yang secara geografis menantang, dengan
banyak daerah terpencil yang sulit dijangkau. Kondisi ini memperbesar risiko
terjadinya penyimpangan dalam proses penyimpanan dan distribusi makanan. Bahan
makanan yang tidak disimpan dengan baik, atau yang dikirim dalam kondisi tidak
layak, rentan rusak dan berbahaya jika tetap disajikan. Di sisi lain, minimnya
pengawasan dan keterbatasan fasilitas di beberapa daerah membuat pengolahan
makanan tidak selalu memenuhi standar higienis yang seharusnya.
Lebih dari itu, banyak wilayah di Papua masih menghadapi
tantangan dalam hal ketersediaan air bersih dan sanitasi. Faktor ini juga
berkontribusi pada meningkatnya risiko keracunan makanan, terutama jika
pengolahan dilakukan secara massal tanpa pengawasan ketat dari pihak berwenang
atau tenaga ahli yang kompeten. Apalagi, jika makanan dipasok oleh pihak ketiga
(vendor) yang hanya berorientasi pada keuntungan, bukan kualitas.
Oleh karena itu, pemerintah daerah dan pusat harus meninjau
ulang sistem pengawasan dalam program ini. Tidak cukup hanya dengan
mendistribusikan makanan bergizi, namun harus ada protokol ketat dalam
pemilihan bahan, cara memasak, penyimpanan, hingga distribusi ke anak-anak.
Selain itu, diperlukan pelatihan bagi petugas lapangan dan pemasok lokal agar
memahami standar keamanan pangan, serta adanya sertifikasi yang mengatur
kelayakan dapur pengolahan makanan.
Untuk konteks Papua secara khusus, pendekatan berbasis
kearifan lokal juga bisa menjadi solusi. Melibatkan masyarakat setempat dalam
proses pengadaan bahan makanan misalnya memanfaatkan hasil pertanian lokal
seperti ubi, sagu, ikan air tawar, atau sayur mayur hasil kebun dapat
mengurangi risiko kerusakan bahan makanan akibat transportasi jauh. Selain
lebih segar, ini juga mendorong kemandirian pangan lokal dan membuka lapangan
kerja.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memastikan adanya sistem
pelaporan dan penanganan cepat jika terjadi insiden seperti keracunan makanan.
Transparansi, evaluasi terbuka, dan tindak lanjut terhadap setiap kejadian
harus menjadi bagian dari proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas
program ke depan.
Program Makanan Bergizi Gratis adalah langkah mulia, tetapi
harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan tanggung jawab. Jika tidak,
niat baik bisa berubah menjadi ancaman kesehatan bagi anak-anak yang justru
paling membutuhkan perlindungan. Papua, dengan segala tantangannya, justru
membutuhkan perhatian dan standar lebih tinggi agar tidak menjadi korban
kelalaian sistemik.
Penulis: Sianturi