SALAM PAPUA (TIMIKA)- Membangun Indonesia dari pinggiran
bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi membangun manusia terutama
para pekerja sebagai penggerak utama ekonomi daerah. Di Papua Tengah, visi ini
diuji di lapangan: sejauh mana pembangunan mampu melindungi pekerja secara
inklusif dan berkelanjutan. Papua Tengah, sebagai provinsi baru yang sedang
bertumbuh, menjadi cermin penting bagaimana visi perlindungan pekerja yang
inklusif dan berkelanjutan diuji di lapangan.
Di Mimika dan sejumlah kabupaten lain di Papua Tengah,
geliat investasi tambang, energi, dan industri mulai terasa. Namun di balik
itu, muncul persoalan lama yang belum tuntas: kesenjangan kesempatan kerja
antara tenaga lokal dan tenaga dari luar daerah, lemahnya pengawasan
ketenagakerjaan, serta belum terbangunnya sistem perlindungan sosial yang
merata bagi semua kelompok pekerja.
Fenomena yang terjadi dalam proyek-proyek besar seperti
pembangunan pabrik semen dan keramik oleh PT Honay Ajkwa Lorenz (HAL) menjadi
contoh nyata. Ratusan pencari kerja lokal dari berbagai distrik di Mimika
sempat berharap pada janji lapangan kerja, namun akhirnya banyak yang justru
mengalami penelantaran saat proses rekrutmen di luar daerah. Kasus ini
menunjukkan bahwa kehadiran investasi tanpa keadilan tenaga kerja hanya akan
memperpanjang luka sosial di tanah Papua.
Perlindungan pekerja yang inklusif berarti memberikan ruang
yang setara bagi masyarakat asli Papua untuk menjadi bagian dari pembangunan
bukan sekadar penonton. Ini mencakup pelatihan keterampilan berbasis potensi
lokal, pendampingan dunia industri bagi tenaga kerja muda, serta penegakan
regulasi yang memastikan rekrutmen tenaga kerja transparan dan adil.
Sementara itu, perlindungan yang berkelanjutan menuntut
sistem yang hidup terus, bukan hanya intervensi sesaat. Pemerintah daerah,
Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, serta perusahaan harus berkolaborasi
membangun skema jaminan sosial tenaga kerja yang menjangkau hingga ke
distrik-distrik, termasuk bagi pekerja informal nelayan, petani, pedagang
kecil, dan pekerja tambang tradisional yang selama ini tidak tersentuh program
resmi.
Inklusi tenaga kerja di Papua juga perlu dimaknai secara
budaya. Pendekatan pembangunan yang hanya mengandalkan standar industri tanpa
memahami nilai-nilai sosial masyarakat lokal seringkali gagal. Kearifan lokal,
struktur adat, dan peran komunitas harus menjadi bagian dari desain pelatihan
dan penempatan kerja.
Membangun Papua Tengah berarti memastikan setiap orang Papua
memiliki akses adil terhadap pekerjaan yang layak, aman, dan manusiawi.
Perlindungan pekerja bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi strategi politik
dan ekonomi untuk menjaga stabilitas sosial.
Ketika pekerja Papua merasa terlindungi, terlatih, dan
terlibat, maka pembangunan tidak lagi dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai
jalan menuju martabat dan kemandirian. Itulah makna sejati dari membangun
Indonesia melalui perlindungan pekerja yang inklusif dan berkelanjutan.
Kabupaten Mimika di Papua Tengah bukan hanya jantung
industri tambang dunia, tetapi juga potret kecil dari tantangan besar Indonesia
dalam membangun sistem ketenagakerjaan yang inklusif dan berkelanjutan. Di
balik gemerlap aktivitas ekonomi yang berpusat di kawasan industri, masih ada
ribuan tenaga kerja lokal, terutama dari kampung-kampung, yang berjuang
menembus akses pekerjaan layak. Inilah wajah paradoks pembangunan yang masih
terasa tajam di tanah yang kaya sumber daya alam namun rentan ketimpangan sosial.
Dalam dokumen resmi pemerintah daerah, visi pembangunan
Mimika digariskan untuk mewujudkan “Mimika Sejahtera, Cerdas, Sehat, Aman, dan
Damai menuju Mimika Gerbang Emas.” Visi ini berakar pada tekad menjadikan
Mimika sebagai kabupaten modern yang tumbuh dari desa-desa kuat, dengan sumber
daya manusia unggul sebagai fondasinya.
Melalui misi pembangunan yang menekankan pemerataan
pelayanan dasar, penguatan SDM, dan pembangunan ekonomi dari pedalaman hingga
pesisir, pemerintah Mimika berupaya menghapus kesenjangan antara wilayah
perkotaan (Timika) dan daerah kampung. Prinsip “membangun dari pinggiran”
dihidupkan kembali melalui peningkatan infrastruktur desa, pemberdayaan
masyarakat adat, serta pembentukan sentra ekonomi baru yang berbasis potensi
lokal.
Namun dalam praktiknya, jalan menuju Mimika Gerbang Emas
masih dihadang banyak tantangan. Akses lapangan kerja formal masih terpusat di
wilayah industri besar, sementara tenaga kerja lokal di kampung sering
tertinggal karena keterbatasan pendidikan, keterampilan, dan jaringan sosial.
Di sisi lain, arus migrasi tenaga kerja dari luar daerah terus meningkat,
menciptakan ketegangan tersendiri di pasar kerja lokal.
Membangun ketenagakerjaan inklusif di Mimika berarti
memastikan bahwa setiap warga, tanpa memandang asal-usul atau tingkat
pendidikan, memiliki kesempatan yang adil untuk berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi. Pemerintah Mimika melalui Dinas Tenaga Kerja telah
berupaya membuka pelatihan vokasi dan penempatan kerja berbasis kompetensi,
namun efektivitasnya sering terganggu oleh kurangnya koordinasi dan dukungan
dari dunia industri.
Padahal, dengan potensi ekonomi yang besar, Mimika memiliki
peluang strategis untuk menjadi model green economy berbasis tenaga kerja
lokal. Pembangunan berkelanjutan tak hanya soal tambang, tetapi juga
pengembangan sektor pertanian, perikanan, pariwisata, dan industri kreatif di
tingkat kampung. Bila sektor-sektor ini diperkuat, maka arus urbanisasi yang
memadatkan Timika dapat ditekan, sekaligus menciptakan lapangan kerja baru di
pedesaan.
Kunci keberhasilan ada pada sinergi antara pemerintah
daerah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan. Dunia industri, termasuk
perusahaan besar seperti PT Freeport Indonesia dan mitra-mitranya, memiliki
tanggung jawab sosial untuk memperluas program pelatihan dan pemberdayaan
tenaga kerja lokal. Sementara itu, pemerintah desa perlu dilibatkan dalam
menyusun peta potensi tenaga kerja dan memfasilitasi peningkatan kapasitas
warganya.
Konsep “pembangunan dari desa ke kota” seharusnya dimaknai
lebih dari sekadar distribusi proyek, tetapi juga menciptakan sistem
sosial-ekonomi yang menempatkan desa sebagai subjek utama pembangunan. Ketika
desa memiliki tenaga kerja terampil, usaha kecil tumbuh, dan akses ke
pendidikan serta kesehatan membaik, maka arus pembangunan akan bergerak alami
menuju kota bukan sebaliknya.
Indonesia yang berkeadilan sosial hanya dapat terwujud bila
sistem ketenagakerjaan di daerah seperti Mimika dibangun di atas prinsip
inklusivitas. Itu berarti menghapus diskriminasi, membuka ruang partisipasi
setara bagi perempuan dan pemuda, serta menjamin perlindungan sosial bagi
seluruh pekerja, termasuk di sektor informal.
Keberlanjutan tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi,
tetapi juga dari sejauh mana pembangunan mampu menjaga martabat manusia dan
lingkungan. Dalam konteks Papua Tengah, membangun pekerja yang inklusif berarti
menghargai nilai-nilai lokal, adat, dan solidaritas sosial yang telah lama
menjadi kekuatan masyarakat.
Di tengah dinamika pembangunan nasional yang semakin
kompleks, keberadaan BPJS Ketenagakerjaan menjadi salah satu pilar penting
dalam mewujudkan Indonesia yang inklusif dan berkeadilan sosial. Perlindungan
tenaga kerja bukan hanya urusan administratif, tetapi merupakan wujud nyata
dari komitmen negara untuk memastikan bahwa setiap warga yang bekerja baik di
sektor formal maupun informal mendapat jaminan sosial yang layak, aman, dan
berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan tidak dapat dilepaskan dari
kesejahteraan manusia. Tenaga kerja yang sehat, aman, dan terlindungi secara
sosial adalah fondasi dari produktivitas dan pertumbuhan ekonomi jangka
panjang. BPJS Ketenagakerjaan hadir untuk memastikan perlindungan tersebut,
melalui empat program utama: Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian
(JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP).
Di era modern, di mana sektor informal semakin besar, peran
BPJS Ketenagakerjaan menjadi semakin krusial. Melalui berbagai inovasi, seperti
perluasan kepesertaan untuk pekerja rentan dan pekerja mandiri, negara berupaya
menutup kesenjangan sosial antara mereka yang bekerja di sektor formal dan
non-formal. Upaya ini sejalan dengan prinsip no one left behind dalam Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Konteks Papua, khususnya Kabupaten Mimika, memberikan cermin
penting bagi bagaimana perlindungan tenaga kerja dapat menjadi motor
pembangunan yang inklusif. Sebagai salah satu wilayah dengan aktivitas industri
dan pertambangan terbesar di Indonesia, Mimika menyimpan tantangan besar:
kesenjangan antara pekerja lokal dan pekerja luar daerah, lemahnya kapasitas
tenaga kerja desa, serta masih rendahnya kesadaran terhadap pentingnya jaminan
sosial ketenagakerjaan.
Program Perisai (Penggerak Jaminan Sosial Indonesia) dan
Desa Sadar BPJS Ketenagakerjaan menjadi salah satu inovasi yang sangat relevan
bagi wilayah seperti Mimika. Melalui pendekatan komunitas, perangkat kampung
dan tokoh adat dapat menjadi ujung tombak untuk mendorong para pekerja informal
petani, nelayan, buruh bangunan, pedagang kecil agar terdaftar dan terlindungi
dalam sistem jaminan sosial.
Ketika pekerja desa terlindungi, maka pembangunan dari bawah
akan menjadi lebih kuat dan berkelanjutan. Perlindungan sosial bukan hanya
jaminan finansial ketika risiko terjadi, tetapi juga instrumen pemberdayaan
ekonomi yang memberi rasa aman bagi masyarakat untuk berusaha dan berinovasi.
Keberhasilan program perlindungan pekerja sangat bergantung
pada sinergi antara pemerintah daerah, dunia usaha, dan lembaga sosial. Di
Mimika, sinergi ini dapat diwujudkan melalui integrasi program BPJS
Ketenagakerjaan dalam kebijakan pembangunan ketenagakerjaan daerah. Misalnya,
dengan mewajibkan kontraktor lokal dan pelaku UMKM penerima proyek pemerintah
untuk mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan.
Lebih jauh, pemerintah kabupaten juga dapat menjadikan BPJS
Ketenagakerjaan sebagai bagian dari strategi “pembangunan dari desa ke kota”,
dengan menyalurkan subsidi iuran bagi pekerja rentan di kampung melalui dana
desa. Kebijakan semacam ini sudah mulai diadopsi di beberapa daerah lain di
Indonesia dan terbukti efektif memperluas cakupan perlindungan sosial hingga ke
akar rumput.
memastikan bahwa BPJS Ketenagakerjaan tidak hanya menjadi
lembaga pengelola iuran, tetapi juga katalis pembangunan sosial. Perlindungan
sosial harus terhubung dengan pendidikan vokasi, pemberdayaan ekonomi, dan
penguatan daya saing tenaga kerja.
Di Papua, di mana struktur sosial dan budaya sangat khas,
pendekatan perlindungan pekerja harus kontekstual dan partisipatif. Kolaborasi
dengan lembaga adat, gereja, dan komunitas lokal menjadi kunci untuk
menumbuhkan kesadaran bahwa jaminan sosial bukan beban, tetapi hak sekaligus
tanggung jawab bersama.
Melindungi pekerja berarti melindungi masa depan bangsa.
Melalui BPJS Ketenagakerjaan, negara hadir bukan sekadar dalam bentuk regulasi,
tetapi dalam rasa aman sosial yang nyata. Di Mimika dan seluruh Papua,
perlindungan pekerja yang inklusif dan berkelanjutan bukan hanya cita-cita
pembangunan, tetapi langkah awal menuju Indonesia yang lebih adil, mandiri, dan
manusiawi.
Hingga Juli 2025, jumlah peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan
di Papua Tengah mencapai 72.146 orang atau 27,40 persen dari total potensi
263.264 pekerja. Kabupaten Deiyai dan Paniai mencatat capaian tertinggi dengan
100 persen kepesertaan pekerja penerima upah. Namun, terjadi penurunan
kepesertaan pada 2025 akibat berakhirnya program Adhoc Pemilu 2024 dan
pengangkatan Non-ASN menjadi PPPK.
Pemprov Papua Tengah menargetkan Universal Coverage
Jamsostek (UCJ) sebesar 61,25 persen pada 2025, namun realisasi per 31 Juli
baru 33,85 persen. BPJS Ketenagakerjaan sendiri telah menyalurkan manfaat
sebesar Rp172,98 miliar kepada peserta di Papua Tengah sepanjang Januari–Juli
2025, termasuk pembayaran Jaminan Hari Tua Rp162,52 miliar serta beasiswa
pendidikan untuk 155 anak dengan total Rp519 juta.
Ketika setiap pekerja merasa terlindungi, maka pembangunan
bukan lagi sekadar angka pertumbuhan ekonomi, tetapi cermin dari peradaban yang
menempatkan manusia sebagai pusatnya.
Penulis: Sampe P Sianturi

