Dugaan kasus pelecehan seksual terhadap beberapa perawat
oleh seorang oknum kepala Puskesmas di Timika masih dalam penyelidikan namun
terkesan lambat. Pasalnya, hingga kini penyidik Polres Mimika belum menetapkan
siapa tersangkanya. Padahal menurut informasi, penyidik sudah memanggil pihak
korban, saksi bahkan oknum terlapor tersebut, untuk mengambil berita acara
pemeriksaan (BAP).
Kasus dugaan pelecehan seksual ini mulai terkuak ke publik
sejak Desember 2023 lalu. Korban dan dugaan pelaku adalah rekan sekerja antara
atasan dan bawahan. Pihak Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kabupaten
Mimika kemudian mengadukan kasus ini ke Polres Mimika.
Sejauh ini, penyidik Polres Mimika telah memeriksa 6 orang
saksi dan polisi masih melakukan penyelidikan untuk kasus dugaan pelecehan
seksual ini. Hati siapa yang tidak miris, marah dan emosi ketika mengetahui
anak perempuan, rekan seprofesi atau bahkan istri dilecehkan oleh atasan.
Atasan itu seharusnya melakukan pembinaan dan melindungi bawahan, bukan
melakukan perbuatan yang melanggar etika dan hukum. Pasti pihak korban emosi
dan amarah yang menggelora,ingin menumpahkannya kepada pelaku. Itu wajar kan!
Para korban kabarnya adalah tenaga paramedis yang masih
berstatus tenaga honorer dan informasinya baru baru lulus menjadi tenaga
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) sehingga kemungkinan merasa
takut mengadukan kasus ini sedari awal. Jadinya, pelaku makin berani mengulangi
perbuatannya kepada korban yang sudah lebih dari satu orang. Namun kasus ini
akhirnya terekspos dan ramai dibicarakan warga Mimika di media sosial.
Yang mirisnya lagi, si terduga pelaku hingga kini masih
dengan bebas menjalankan aktivitasnya sebagai aparatur sipil negara (ASN) dan
belum mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tinggal korban yang merasakan
pelecehan menanti dengan cemas, apakah kasus ini akan selesai secara hukum,
sehingga bisa membuktikan perbuatan pelaku kepada para korbannya. Ini kan
seperti pagar makan tanaman, memanfaatkan kelemahan para korban, yang tidak
berani bersuara ketika pelaku melakukan aksinya.
Beragam tanggapan masuk di media sosial, dan rata-rata
mengutuk perbuatan pelaku ini. “Dihukum saja sesuai perbuatannya. Dasar bejat,
tangkap orang itu dan segera dihukum, penyidik dimana” dan beragam tanggapan
mendukung agar kasus ini diproses sesuai hukum yang berlaku.
Dalam kasus seperti ini, baik PPNI maupun penyidik harus
berkolaborasi sehingga pelaku dapat diberi hukuman yang setimpal atau
setidaknya ukum bisa memberikan efek jera bagi terlapor. Di Negara Indonesia,
hukum adalah cerminan dan tolak ukur dari setiap tindakan melawan hukum. Tidak
ada orang atau oknum yang kebal hukum. Negara pasti melindungi rakyatnya yang
menjadi korban dengan memberikan efek jera bagi si pelaku. Jangan sampai kasus
ini berlarut-larut tidak dituntaskan, sehingga ada korban dan kasus lain lagi.
Di era digital dan canggih masa kini, arus informasi
mengalir deras dan jejak digital seseorang dapat dengan mudah diketahui.
Perbuatan si pelaku tidak dapat ditoleransi apalagi dibiarkan. Negara tidak
boleh kalah dalam menegakkan hukum serta wajib melindungi warganya.
Penyidik harus bergerak cepat menuntaskan kasus ini. Kasihan
kan korban menjadi sasaran otak liar si pelaku. Jangan sampai kasus ini hilang.
Masyarakat harus mengawalnya hingga tuntas, sehingga kasus serupa tidak
terulang. Amolongo, Nimaowitimi, Saipa. (bas)