SALAM PAPUA (TIMIKA)- Julukan Kabupaten Mimika,
Provinsi Papua Tengah sebagai Miniatur Indonesia sudah tidak diragukan. Hampir semua
suku yang ada di Indonesia ada di Mimika, salah satunya Suku Sasak dari Lombok,
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sama dengan suku yang lain, Suku Sasak juga
memiliki beragam budaya dalam bentuk kesenian tradisional.
Pada puncak HUT Mimika ke-28, Salampapua.com menyaksikan
salah satu kesenian mereka yakni Tari Peresean yang dimainkan para penari pria.
Para penari dalam tarian adalah pria dan Wanita, namun kali ini hanya
diperankan oleh kaum pria.
“Sejarah mengatakan bahwa pada zaman dahulu kala yang tampil
adalah orang-orang perang. Rambut gondrong semua. Dalam tabuhan gamelan rambut
para penari akan tersambul. Gamelan tersebut memang berasal dari daerah Layang,
Lombok, NTB),”ujar Ketua Kesenian Suku Sasak Lombok Kabupaten Mimika, Sukarta
Wijaya didampingi Bendahara, H Nurdah saat ditemui Salampapua.com di Sentra
Pemerintahan Mimika, Selasa (8/10/2024).
Dahulu, Tari Peresean digelar untuk melatih ketangkasan Suku
Sasak dalam mengusir para penjajah. Latar belakang Peresean adalah pelampiasan
emosional para raja pada masa lampau ketika menang dalam perang tanding melawan
musuh-musuhnya.
Ada dua alat yang utama yang harus selalu ada di dalam
tarian ini, yaitu tongkat rotan yang disebut penjalin dan perisai kulit yang
tebal dan keras atau yang disebut ende. Dalam pertunjukan ini, ada musik
pengiring untuk menyemangati sekaligus mengiring kedua penari.
Nantinya, kedua penari akan menari dengan menganggukkan
kepala serta menggoyangkan kaki dan sesekali akan saling menyerang satu sama
lain. Sementara alat musik yang diginakan sebagai pengiring adalah gong,
sepasang kendang, betuk, rincik atau simbal, seruling dan kanjer serta alat musik
lainnya.
Dalam tarian ini juga sebenarnya diikuti kaum perempuan,
yang bertugas menari dan mengamankan perang sehingga bisa mereda. Tameng dan
pemukul digunakan saat perang, untuk menyerang dan mempertahankan diri.
“Tarian ini biasanya ditampilkan pada acara-acara penting,
seperti ulang tahun kabupaten, 17 Agustusan dan acara besar lainnya. Ini ditampilkan
karena mengingat sejarah. Juga untuk melestarikan budaya ini agar tidak hilang.
Jangan sampai kita di Papua, lalu budaya ini hilang, itu tidak boleh, harus
kita lestarikan agar dikenal,” terang Sukarta.
Meski dalam penampilan tersebut hanya sekedar, dalam versi
aslinya bertarung sampai berdarah-darah. Contohnya beberapa waktu lalu saat diperankan
oleh para penari di SP 5, SP 6 dan di Eme Neme Yauware dilakukan dengan
sebenar-benarnya, bahkan sampai berdarah-darah.
“Para penari sudah dikasih mantra dan doa-doanya dan cukup
dengan tiupan nafas. Namun biar dia berdarah-darah, membekas sampai
besar-besar, bahkan matipun sama sekali pun tidak masalah bagi kami. Karena itu
seni budaya kami, kami yang bertanggung jawab,” terang H Nurdah.
Alat musik yang dimainkan sebagian didatangkan dari Lombok
dan sebagian dibuat sendiri dengan bahan baku yang ada.
“Seperti belek kami buat dari tutup drum. Makanya mohon
Pemkab Mimika agar perhatikan kesenian kami, mungkin bisa dibantu ke depan,
karena kami kekurangan sehingga budaya Lombok semakin dikenal,” ujar Sukarta Wijaya.
Di Mimika sendiri, kehadiran Kerukunan Lombok didominasi
oleh warga transmigrasi dari tahun 1992, 1994 dan seterusnya ke atas, yang menjadi
salah satu pembuka pintu gerbang di Mimika dan datang secara bergelombang. Seperti
di SP 5, SP 6, SP 7 dan di kawasan perkotaan. Dan dalam 2,5 tahun ini, pihaknya
mulai bergerak mempersatukan Suku Sasak yang ada di Mimika.
Penulis/Editor: Sianturi