SALAM
PAPUA (TIMIKA) - Seiring perkembangan zaman,
hingga saat ini banyak ritual budaya suku Kamoro, yang diakui hilang
karena jarang dan bahkan tidak pernah dilaksanakan oleh generasi penerus salah
satu suku besar dan yang mendiami wilayah pesisir Kabupaten Mimika, Provinsi
Papua Tengah itu.
Budayawan Kamoro, Timotius Samin saat dijumpai
salampapua.com, pada Kamis (11/4/2024), menyebutkan bahwa beberapa ritual yang
sering dilakukan pada zaman dahulu yakni di dalam rumah setiap orang suku
Kamoro selalu terdapat tifa dengan berbagai ukuran. Tifa merupakan salah satu
atribut suku Kamoro yang digunakan untuk memanggil ataupun sebagai musik untuk
mengiringi nyanyian dan tarian. Selain tifa, juga terdapat ukiran, anyaman,
serta ornamen lainnya yang menyerupai atau menggambarkan peninggalan leluhur.
"Kalau dulu orang tuanya sebagai pemukul
tifa di rumah adat, tetapi saat ini tidak ada lagi anak-anak ataupun cucunya
yang meneruskan hal itu. Padahal itu sebagai warisan budaya yang memiliki arti.
Sekarang ini sangat jarang, bahkan tidak ada lagi rumah orang suku Kamoro yang
memajang ornamen-ornamen budaya," ungkapnya.
Pada zaman dahulu setiap KK orang Kamoro
memiliki perahu asli yang dipahat sendiri dan didahului dengan ritual adat.
Perahu adat untuk orang Kamoro yang
mendiami wilayah barat pesisir adalah perahu pendek (Torpa), sedangkan bagian
timur adalah perahu panjang (Kuoko). Perahu asli itu disertakan dengan ornamen
atau perisai seperti Yamate dan ukiran Mbitoro.
Dua jenis perahu itu menjadi kaki bagi orang
Kamoro untuk menyusuri sungai dan dan laut mencari ikan, karaka dan mencari
pohon sagu.
"Dua perahu itu benar-benar dipahat
sendiri menggunakan batang pohon besi. Sekarang sudah tidak ada lagi orang Kamoro
yang membuat perahu sendiri. Memang di Kampung Kiyura saat ini ada yang masih
buat perahu pendek atau Torpa, tetapi hanya beberapa orang saja. Makanya saya
selalu bicara ke anak-anak Kamoro supaya mereka jangan merasa senang dengan
perahu Jonson, ketinting dan yang lainnya yang modern, tetapi harus bisa
membuat sendiri perahu pendek dan panjang sebagai perahu yang mengawali
hidup," katanya.
Saat ini, menurut Dia, tidak ada lagi
pemasangan patung Mbitoro sebagai leluhur penjaga rumah adat. Harusnya,
saat orang Kamoro mendirikan rumah adat, maka pewaris khusus sebagai
pemanggil arwah akan menjalankan ritual agar roh leluhur masuk ke dalam
patung tersebut.
"Rumah saya ada patung Mbitoro itu,
karena itu patung leluhur yang selalu kita kenang," ujarnya.
Dia mengingatkan, setiap kaum intelektual suku
Kamoro harus memasang patung, ukiran dan ornamen khas Kamoro di halaman bagian
depan rumahnya masing-masing sebagai simbol penghargaan terhadap leluhur dan
budaya. Sebab, dengan patung, ukiran dan ornamen-ornamen tersebut akan
mengangkat harkat dan martabat seseorang lewat budaya, karena semua yang berkaitan
dengan budaya adalah sakral.
"Saya tidak lihat pejabat atau kaum
intelektual Kamoro di Timika yang di depan rumahnya dipasang hal-hal berkaitan
dengan budaya sukunya. Begitu juga dengan kantor-kantor pemerintah dan swasta.
Di Bali, Jepara dan kota lainnya di Indonesia bisa pasang ornamen budaya
Kamoro, tapi kenapa kita yang di Mimika tidak lakukan hal itu?" tuturnya.
Rumah adat Karapau juga saat ini sangat sulit
ditemukan di wilayah yang didiami orang Papua dari suku Kamoro.
"Tentang rumah adat Karapau itu sudah ada
di buku-buku ekspedisi budaya. Rumah adat itu sangat menggambarkan kebudayaan
orang Kamoro," jelasnya.
Salah satu warisan leluhur yang saat ini
hilang ialah pakaian duka khusus dipakai oleh seorang istri (Unimi) ketika
suaminya meninggal dunia. Unimi yang merupakan baju dan rok terbuat dari kulit
kayu.
Sedangkan yang dipakai oleh seorang suami saat
istrinya meninggal dunia ialah Tomakare. Tomakare adalah manik-manik berupa
gelang yang dipakai pada lengan seorang suami ketika istrinya meninggal dunia.
"Unimi dan Tomakare itu menandakan sedang
dalam kondisi duka atas kehilangan pasangan hidup," ujarnya.
Timotius menegaskan, seluruh suku di tanah
Papua memiliki adat dan budaya yang berbeda-beda, demikian juga halnya dengan
suku Kamoro. Oleh karena itu, generasi penerus harus belajar dan memegang teguh
budaya serta menjalankan ritual adatnya.
Ia juga mengingatkan agar seluruh generasi
muda suku Kamoro harus bisa menggali kembali warisan leluhur yang mulai punah
dan mengembangkannya.
"Sekarang kami mulai gali kembali semua
ritual dan hal lain yang berkaitan dengan budaya Kamoro yang mulai hilang itu. Saya
harap ada anak-anak Kamoro yang saat ini mau belajar tentang budayanya sendiri
dan menerapkannya supaya tidak terpengaruh dengan budaya luar. Belajar budaya
luar ituu penting, tetapi lebih penting lagi menjaga budaya sendiri,"
tutupnya.
Penulis: Acik
Editor: Jimmy