SALAM
PAPUA (TIMIKA) - Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku
Amungme (LEMASA) Jhon Tsingal Beanal melalui Sekretaris LEMASA Jan Magal
mengatakan bahwa pada Selasa 30 Juli 2024 pihaknya menerima surat dari Majelis
Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Tengah (PT) untuk hadir di Nabire, Papua
Tengah, terkait agenda penyelesaian permasalahan LEMASA.
Surat yang bernomor 166/121 /MRP-PPT ini tidak
hanya ditujukan kepada Ketua LEMASA Jhon Tsingnal Beanal saja, tetapi juga
kepada LEMASA tandingan yang diketuai Jhon Magal, Karel Kum, Domi Kum serta
surat tersebut ditujukan kepada Perwakilan dari PT Freeport Indonesia (PTFI).
"Kami telah menerima surat dari MRP PT
dan untuk menyikapi itu, kami menegaskan bahwa bila berbicara soal LEMASA maka
kewenanganya ada pada Masyarakat Amungme sebab itu bagian dari rumah tangga
orang Amungme, karena sampai saat ini LEMASA hanya satu, begitupun suku
Amungme," ujar Jan saat menghubungi salampapua.com, Rabu (31/7/2024).
Hal ini ia tegaskan karena berdasarkan sejarah
lahirnya LEMASA, yang pernah diperjuangkan oleh Thom Beanal dan para tua-tua
yang sudah lebih dulu menghadap sang Pencipta.
“Menanggapi surat MRP ini maka dalam
kepemimpinan Jhon Tsingal Beanal akan mengutus perwakilan untuk hadir dalam
pertemuan tersebut yang akan dilaksanakan pada Kamis 1 Agustus 2024 di Hotel
Mahavira," ucap Jan.
Namun terkait arahan MRP untuk membawa bukti
AD/ART lembaga, bukti kronologis
pendirian LEMASA serta gambaran struktur organisasi, tidak bisa
dipenuhi, karena menurutnya, keberadaan LEMASA dan Suku Amungme ada di Mimika,
sehingga semua persoalan yang menyangkut Lembaga, harus diselesaikan di Mimika
bukan di Nabire.
"Struktur terbentuknya LEMASA ini sangat
jelas bahkan saat itu yang menjabat direktur LEMASA harus melalui persetujuan
Thom Beanal, namun setelah kepemimpinan Odisius Beanal, beralih ke Tsingnal
Jhon Beanal dilakukan atas kesepakatan dewan adat dan dewan pendiri,”
ungkapnya.
Sehingga, lanjut dia, kepemimpinan LEMASA saat
ini dipimpin oleh Jhon Tsingnal Beanal dengan kelembagaan yang terdaftar secara
sah di Kementerian Hukum dan HAM.
Semua orang sudah mengetahui hal itu bahwa
keberadaan LEMASA sangat jelas, sedangkan MRP merupakan Lembaga kultural OAP
yang lahir dari undang-undang Otonomi Khusus tahun 2001 dengan ruang geraknya
hanya berbicara soal hak-hak masyarakat OAP, dan tidak bisa langsung
mengintervensi lembaga adat atau masyarakat suku Amungme karena itu hal yang
berbeda.
"Bila MRP ingin mempersatukan tiga
kelompok yang mengakui LEMASA di Mimika maka pentingnya fungsi MRP sebagai
mediator bagaimana tiga lembaga tersebut dihadirkan dalam satu meja, berbicara
bedasarkan aturan undang-undang dan aturan adat yang berlaku di suku Amungme,
termasuk nilai-nilai norma dan kaidah dalam LEMASA," tuturnya.
Tak hanya itu, Jan juga menyingung soal DPRK, dimana
MRP tidak memiliki kapasitas untuk menentukan perwakilan LEMASA untuk duduk di
DPRK, sebab kewenangan MRP hanya menunjuk perwakilan atau rekomemdasi MRP ke
dalam struktural Pansel, sementara itu LEMASA juga adalah Lembaga yang
mendukung penuh Otsus.
"Sehingga terkait pengusulan nama
perwakilan lembaga adat yang akan duduk di DPRK, maka LEMASA di bawah kepemimpinan
Jhon Tsingal Beanal-lah yang sah, untuk mengusulkan perwakilan, karena secara
kelembagaan telah terdaftar di Kemenkum HAM, bahkan rekomendasi nama-nama DPRK
sudah ada di meja Ketua MRP, Pokja adat, Kesbangpol Provinsi Papua Tengah dan
Kesbangpol Kabupaten Mimika,” tutupnya.
Penulis: Evita
Editor: Jimmy