SALAM PAPUA (TIMIKA) – Elfrida Manurung Natkime, seorang perempuan adat Suku Amungme dari Kabupaten Mimika, Papua Tengah yang kini menempuh pendidikan di Amerika Serikat, tampil sebagai orator pembuka dalam sesi “Middle Powers Rising! How Countries Turn Climate Action into Growth Engines in the 21st Century” pada gelaran Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2025, Sabtu (26/7/2025), di The Ballroom, Djakarta Theatre, Jakarta yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) yang didirikan dan diketuai oleh Dr. Dino Patti Djalal.

Forum ini juga menampilkan pembicara dari berbagai kalangan dari dalam dan luar negeri seperti Bengisu Ozenc, Will Nankervis, Ana Toni, Prof Mari Elka Pangestu, Lauren Hermanus dan Nicole Figueiredo de Oliviera. Acara ini juga dirancang dengan berbagai diskusi panel, pameran, permainan dan kuis, workshop and classes, penampilan seni, live mural, konser mini, green jobs fair, dan sustainability fair.

Elfrida merupakan putri dari mendiang Silas Natkime, dan Ibu Normin Komangal, seorang ibu rumah tangga sekaligus pengusaha swasta binaan PTFI di bidang lingkungan hidup. Ia berasal dari keluarga besar Natkime, yang mana Marga Natkime adalah keluarga pemilik hak ulayat dimana PTFI saat ini beroperasi. Sejak kecil, Elfrida telah diasuh dan dididik oleh Keluarga Besar Manurung untuk menempuh pendidikan formal secara penuh.

Saat ini, Elfrida tercatat sebagai mahasiswa aktif semester akhir di Oregon State University, Amerika Serikat, dengan jurusan double major: Science Agriculture in Crop & Soil dan Resilient Agroeconomy.

Dalam orasinya selama lima menit, Elfrida menyampaikan refleksi mendalam tentang keterkaitan antara budaya, identitas, pertanian, dan aksi iklim yang berkeadilan.

“I’m not a climate or net-zero expert but i’m passionate about preserving sustainable and culturally rooted farming yang melindungi lingkungan, mendukung ketahanan pangan dan memperkuat komunitas yang tangguh dan mandiri secara ekonomi,” ujarnya mengawali pidatonya.

“Saya berdiri di sini bukan hanya sebagai mahasiswa, tapi juga sebagai perempuan adat Suku Amungme. Kami percaya bahwa masa depan Indonesia bisa tumbuh dari tanah dari tangan para petani kita. Bagi kami, bertani bukan sekadar profesi, melainkan identitas, warisan, dan budaya hidup yang diwariskan lintas generasi,” ujarnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa dirinya baru saja menyelesaikan penelitian kolaboratif bersama Dr. Preysi Sherly Siby, dosen dan psikolog dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon, melanjutkan penelitian sebelumnya oleh Prof. Caroline tentang sistem pertanian Suku Amungme. Kolaborasi ini dilakukan secara legal antara Oregon State University dan UKI Tomohon, dengan pendekatan psikologi budaya untuk memahami dinamika sumber daya manusia dalam sistem pertanian masyarakat adat.

As we face the global challenge of climate change, it is essential our actions not only address environmental concerns but also honor the cultural integrity and sovereignty of Indigenous communities.

“Meskipun kami hidup berdampingan selama puluhan tahun dengan salah satu tambang emas terbesar di dunia, tanah ini tetap menyimpan tradisi. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa pertanian di kalangan Suku Amungme tidak punah, justru masih dijaga dan dipraktikkan oleh generasi muda,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa kemajuan dan tradisi dapat berjalan berdampingan, asalkan dibangun di atas rasa saling menghargai. Dalam kutipan pesannya, ia mengingatkan pesan kakeknya, Kepala Suku Besar Amungme, Tuareg Natkime.

Seperti pesan orang tua kami: “Buknegelme” (pemilik tanah) dan “Eralnegelme” (pemilik uang) harus berdiri sama tinggi, duduk sama rendah di atas tanah ini. Artinya "Pemilik tanah dan pemilik uang harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah di atas tanah ini.”

Di akhir orasi, Elfrida mengucapkan terima kasih kepada Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) yang didirikan dan diketuai oleh Dr Dino Patti Jalal atas kesempatan yang diberikan baginya sebagai perempuan adat untuk menyuarakan praktik pertanian berkelanjutan berbasis budaya lokal, sekaligus menjadi bagian dari gerakan nasional menjawab krisis iklim.

“I want to thank for its advocacy of my research in the three highland villages in the Wa’a Valley, Central Papua, as well as the solid logistics support the company provided,” sebutnya.

“Saya percaya, suara kecil saya hari ini bisa menjadi bagian dari gerakan besar menuju Indonesia yang berdaulat dan mandiri di tanahnya sendiri. Amolongo. Terima kasih,” tambah Elfrida, yang mengaku siap kembali dan berkontribusi bagi Tanah Amungsa, tanah leluhurnya tercinta.

Sebagai bagian dari orasi, Elfrida menyampaikan empat poin penting dalam aksi iklim berbasis komunitas adat: First: Let’s recognize indigenous knowledge systems indigenous communities have long practiced sustainable ways of living. Yakni menghargai pengetahuan ekologis lokal sebagai fondasi aksi iklim yang efektif.

Second: Let’s Foster Community-Led Solutions Solution must be co-created with indigenous communities not imposed. Yaitu melibatkan masyarakat adat dalam merancang dan menjalankan solusi, bukan hanya sebagai objek kebijakan.

Third: Let’s Address Historical and Environmental Impacts. Indigenous people often suffer the most from climate change, despite contributing the least. Artinya fokus pada pemulihan lahan, akses air bersih, dan energi terbarukan yang selaras dengan nilai-nilai budaya dan hak masyarakat adat.

Fourth: Let’s Build Long-Term Partnerships Real change requires lasting relationships based on trust, respect and shared goals. Yakni, membangun kemitraan jangka panjang lewat pendidikan kepemimpinan dan penguatan sistem pangan lokal.

As an Indigenous woman and believer, I believe that God created everything; the solar system, natural resources, and human. And out of all His creations, He gave us human the biggest responsibility to take care of the earth.

“Kita tidak bisa hanya menjadi penonton. Kita adalah penjaga ciptaan Tuhan yang dipercayakan kepada kita. Pertanian adalah jalan untuk menjaga bumi, memperkuat ekonomi, dan membangun masa depan yang adil dan berkelanjutan,” tandas Elfrida.

Penulis/Editor: Sianturi