SALAM PAPUA (TIMIKA) – Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme
(Lemasa) secara tegas mengecam tindakan perampasan tanah adat yang diduga
dilakukan oleh sejumlah oknum dari komunitas non-Orang Asli Papua (non-OAP) di
wilayah Timika. Tindakan tersebut dinilai sebagai bentuk pelanggaran hukum
sekaligus pelecehan terhadap martabat masyarakat adat.
Ketua Lemasa, Menuel Jhon Magal, menyatakan bahwa tindakan
itu dilakukan secara paksa, mencakup pendudukan pekarangan rumah milik
masyarakat Amungme yang masih dihuni, perusakan tempat tinggal, hingga
pembakaran papan nama Lemasa di Jalan Cenderawasih Timika.
“Insiden-insiden ini terjadi di sejumlah wilayah ulayat
masyarakat Amungme seperti Petrosea, Irigasi, dan beberapa lokasi lainnya di
Timika. Kami sangat mengecam keras tindakan ini,” tegas Menuel kepada
Salampapua.com, Senin (28/7/2025) pagi.
Menuel menyebut, tindakan tersebut merupakan pelanggaran
serius terhadap hukum negara, hukum adat, nilai etika, serta hak asasi
masyarakat adat Amungme.
“Ini bukan hanya pelanggaran formal, tapi juga penghinaan
terhadap eksistensi masyarakat adat. Tanah ini adalah warisan sakral dari
leluhur kami yang tidak bisa dirampas secara sepihak,” ujarnya.
Lemasa juga menyayangkan bahwa sebagian pelaku merupakan
generasi muda, yang justru mencoreng nilai-nilai luhur leluhur mereka sendiri,
yang dahulu hadir di tanah ini dengan damai sebagai guru perintis dan pewarta
Injil.
“Hubungan historis antara masyarakat Amungme dan Kei selama
ini dibangun atas dasar hormat dan kekeluargaan. Tapi kini ternodai oleh
segelintir individu yang lebih memilih kekerasan dan keserakahan,” tambahnya.
Pernyataan Sikap Lemasa:
Pertama, mengecam keras segala bentuk perampasan tanah,
kekerasan fisik, pendudukan paksa, serta perusakan rumah warga dan fasilitas
lembaga adat Amungme.
Kedua, mendesak Polres Mimika dan aparat penegak hukum untuk
menindak tegas pelaku premanisme dan pendudukan ilegal, termasuk aktor
intelektual di balik tindakan tersebut.
Ketiga, mengajak semua pihak, termasuk tujuh suku, tokoh
masyarakat, lembaga keagamaan, dan pemangku kepentingan lain, untuk bersatu
melawan upaya provokasi yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal di
Timika.
Keempat, mendesak Pemkab Mimika segera menetapkan dan
mengesahkan Lemasa secara legal-formal sebagai representasi sah masyarakat adat
Amungme, guna memperkuat perlindungan hukum terhadap masyarakat Amungme dan
Kamoro.
Kelima, mengimbau para Kepala Suku Kei di Timika untuk
mengambil langkah proaktif mengingatkan generasi muda agar tidak terlibat dalam
tindakan yang bisa memicu konflik antarsuku.
Keenam, mengajak masyarakat Amungme tetap tenang, tidak
terpancing provokasi, dan menyerahkan penyelesaian persoalan melalui jalur
hukum serta mekanisme adat.
Ketujuh, mendesak BPN Timika agar tidak menerbitkan
sertifikat hak atas tanah tanpa verifikasi lapangan yang melibatkan Lemasa.
Proses sepihak tanpa klarifikasi status hak ulayat berpotensi menjadi sumber
konflik.
Kedelapan, menegaskan kembali bahwa tanah-tanah ulayat
Amungme dan Kamoro bukan tanah kosong. Tanah ini adalah tanah keramat, dijaga
secara spiritual dan adat, serta tidak dapat dikuasai sepihak tanpa musyawarah
adat.
“Lemasa terbuka terhadap hubungan antarbangsa dan antarumat
dalam bingkai kekeluargaan dan keberagaman. Tapi kami tidak akan diam terhadap
kekerasan dan perampasan hak. Bagi kami, tanah ini adalah ‘Mama’ sumber
kehidupan yang juga menyaksikan kerakusan manusia,” tutup Menuel.
Penulis: Acik
Editor: Sianturi