SALAM PAPUA (TIMIKA) – Belasan tahun berkarya mengukir dan memahat demi memenuhi nafkah hidup dan menjaga warisan leluhur, Mama Tresia Mutaweyau mengaku tidak lelah dan menyerah.

Tresia Mutaweyau merupakan seorang perempuan asli suku Kamoro (Mimika Wee) kelahiran Kaokonao, Distrik Mimika Barat 70 tahun silam.

Saat ditemui salampapua.com, Kamis (11/5/2023) di kantor DPRD Mimika, ibu dari lima orang anak ini mengaku ia bersama suaminya Agustinus Yakopiauta telah 10 tahun lebih berkarya menganyam noken, memahat dan mengukir kayu menjadi patung, baki, rumah adat dan bentuk lainnya bernuansa budaya Kamoro dan budaya Papua pada umumnya.

“Kami kerja di rumah saja di Jalan Airport, Kompleks Matoa, Kelurahan Kebun Sirih, Mimika. Dulu pernah ajukan proposal ke Pemkab supaya bantu alat dan bangun sanggar, tapi sampai hari ini belum ada jawaban. Sampai saat ini kami masih butuh bantuan pemerintah,” ungkapnya.

Disampaikan, selain dipajang di rumahnya, Mama Tresia kerap membawa ukiran-ukirannya ke kantor-kantor swasta, Pemkab dan ke DPRD Mimika, yang ditawarkan dengan harga Rp 500.000. Harga tersebut diperhitungkan dari pembelian bahan dasar seperti kayu besi, pahat dan pewarnaan.

“Hari ini mama bawa ukiran baki dengan motif ikan. Saya tawarkan ke anggota DPRD, tapi belum ada yang beli. Tidak apa-apa, mungkin belum rezeki, ” ujarnya ikhlas.

Dia menyampaikan bahwa usia tidak menjadi halangan untuk terus berkarya meski hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Satu landasan yang dipegang ialah tetap berdoa, bersyukur dan mengandalkan Tuhan Yesus.

“Mama punya empat anak perempuan dan satu laki-laki. Yang anak laki-laki itu baru saja menikah, tapi belum ada pekerjaan. Anak saya sudah masukan lamaran ke Nemamgkawi tapi belum dipanggil,” kata perempuan yang selalu mengenakan kalung Rosario ini.

Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa orang Kamoro tidak terpisah dari aktivitas nelayan, menganyam noken, memahat kayu dan mengukirnya menjadi satu karya seni.

“Bapa dan mama beli kayu besi di mebel-mebel dan pahat sendiri dengan motif-motif yang bermacam-macam, tapi tetap ada (unsur budaya) Papuanya,” jelasnya.

Penulis : Acik

Editor : Jimmy