SALAM PAPUA (TIMIKA) - Anak suku Amungme dan Kamoro, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah, menyesalkan peresmian produksi smelter emas milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik, Jawa Timur, pada 17 Maret 2025 lalu tanpa kehadiran perwakilan dari tuan tanah alias masyarakat Papua di Kabupaten Mimika yang merupakan pemilik hak ulayat atas tanah sumber konsentrat PTFI di gunung Grasberg.

Pasalnya, pabrik smelter di Grasik merupakan bagian dari hasil pengolahan tambang di tanah orang Papua di Kabupaten Mimika. Untuk itu, anggota DPRK Mimika Dolfin Beanal menegaskan bahwa persemian tersebut harus melibatkan atau menghadirkan anak-anak pribumi, baik mewakili lembaga adat, Gubernur, Bupati, DPRK ataupun tokoh masyarakat sebagai pemilik hak ulayat.

"Saya sebagai anggota DPRK dan merupakan anak asli sangat kecewa berat dengan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan PTFI. Itu berarti kami sebagai anak Papua seperti anak tiri yang dibutuhkan saat tertentu, tapi ada momen yang kami tidak diperlukan," ujar Dolfin.

Kader Partai Gerindra ini mengaku kecewa dan memohon kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk melihat hal seperti ini secara serius.

"Saya kader Gerindra kecewa dengan hal ini. Kita tidak minta sesuatu tapi kehadiran kita di sana sangat penting, karena kita ini merupakan korban permanen atas operasional tambang di Tembagapura," tegasnya.

Tidak hadirnya anak pribumi pada peresmian smelter itu menurutnya patut diduga atas ulah oknum-oknum yang ada di PT Freeport Indonesia.

"Harusnya kami diundang supaya kita dianggap dan merasa memiliki. Patut dicurigai ini karena ulah oknum-oknum di Freeport, karena mestinya Freeport tahu siapa-siapa yang harusnya diundang dan hadir di Gresik," tegasnya.

Kekecewaan yang sama juga disampaikan anggota DPRK Mimika yang merupakan anak suku Kamoro, Primus Natikapereyau.

Primus mengatakan, PTFI beroperasi di Timika, tapi pabrik pengolahannya dilakukan di Jawa Timur dan peresmiannya sama sekali tidak melibatkan anak-anak pribumi. Dan yang sangat membuat kecewa adalah peresmian produksi smelter itu sama sekali tidak melibatkan anak-anak pribumi.

"Tambang Freeport ada di Timika yang didiami oleh dua suku asli, suku kerabat dan OAP lainnya, tapi kemarin saat peresmian produksi smelter itu sama sekali tidak dilibatkan. Kami sangat kecewa dengan itu," ujarnya.

Sangat disayangkan, sebagai orang Papua hanya mengetahui melalui media massa tentang peresmian produksi smelter dan jumlah kandungannya. Ini menimbulkan kekecewaan dan kami merasa dilupakan.

Atas kekecewaan itu, Primus berharap agar ke depannya pemerintah pusat harus menghargai orang pribumi selaku pemilik ulayat atas operasinya PT Freeport Indonesia.

"Kami tidak harus dihargai dengan diberikan uang, tetapi setidaknya kami juga diundang supaya semua tahu bahwa Freeport itu betul adanya di Papua," tutupnya.

Penulis: Acik

Editor: Jimmy