SALAM PAPUA (TIMIKA) – Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Mimika (IPMAMI) di kota studi Bandung, Jawa Barat, dengan tegas menolak upaya percepatan pemekaran wilayah otonomi baru di Kabupaten Mimika.

Adapun pernyataan sikap IPMAMI Bandung yang dikirim ke redaksi salampapua.com, Selasa (25/3/2025), bahwa IPMAMI Bandung menolak dengan tegas upaya segelintir orang yang berambisi untuk melaksanakan upaya pemekaran di Kabupaten Mimika dengan mengatasnamakan masyarakat.

IPMAMI Bandung menolak dengan tegas pemerintah Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua Tengah untuk memberikan SK percepatan pemekaran.

IPMAMI Bandung menolak dengan tegas Lembaga adat dan organisasi intelektual di Kabupaten Mimika yang memberikan izin pemekaran dengan alasan apapun.

IPMAMI Bandung mengutuk dengan keras aksi oknum-oknum yang menghasut masyarakat sipil untuk perizinan pemekaran.

IPMAMI Bandung menolak dengan tegas karena percepatan pemekaran tidak memenuhi persyaratan potensi daerah DOB di Mimika, karena letak geografis wilayah DOB tidak sesuai dengan kriteria atau persyaratan pemekaran.

IPMAMI Bandung meminta agar berhenti dan mengakhiri segala macam cara untuk percepatan pemekaran wilayah baru. Untuk persoalan ini, IPMAMI Bandung akan mengkaji secara akademis serta melibatkan tokoh adat dan agama.

 “Kami minta kepada panitia di Pemkab Mimika dan Pemprov Papua Tengah agar pemekaran Mimika Barat (Kokonao) dan Mimika Timur (Agimuga) untuk dipertimbangkan sebaik-baiknya dengan akal sehat. Kami IPMAMI Korwil Bandung sudah mengkaji secara akademis dengan matang bahwa adanya DOB akan berpotensi konflik karena tidak sesuai dengan persyaratan DOB yang diatur dalam UUD pasal 23 tahun 2014,” ucap Senior IPMAMI Bandung, Harun Beanal.

Berdasarkan UUD pasal 23 tahun 2024, sambungnya, meliputi potensi Sumber Daya Alam (SDA) seperti pertanian, perkebunan, perikanan, hutan, tambang, air dan pariwisata alam yang akan dikuasai oleh orang asing tanpa melihat kehidupan masyarakat lokal, khususnya suku Amungme dan Kamoro.

Dari potensi Sumber Daya Manusia (SDM), kurang adanya kualitas, keterampilan, dan jumlah penduduk asli yaitu 2 suku asli sebagi pemilik wilayah dan 5 suku kerabat, yang masih bisa dibilang di bawah 100.000 jiwa penduduk.

Potensi Sumber Daya Sosial dan Budaya, tradisi, kearifan lokal, seni, budaya, dan solidaritas sosial masyarakat yang belum sekali bisa menjadi kekuatan pembangunan.

Potensi Ekonomi dan Industri, dalam hal ini UMKM, industri lokal, perdagangan, pariwisata, dan jasa-jasa lain yang tidak bisa menghasilkan pendapatan bagi masyarakat pribumi, sehingga masyarakat pribumi cenderung disingkirkan oleh elit-elit ekonomi, elit-elit politik dan elit-elit industri tambang emas.

Selain itu, menurutnya, terkait potensi Geografis bahwa letak wilayah yang strategis untuk jalur perdagangan, transportasi, atau penghubung antar wilayah masih sangat jauh dan belum ada sama sekali yaitu salah satunya transportasi untuk keberlangsungan hidup ekonomi masyarakat pendalaman di wilayah pegunungan dan pesisir, mengingat harga tiket pesawat dan kapal yang terlalu mahal.

Sementara itu Melian Magal menuturkan, rencana pemekaran harusnya melalui kajian yang mendalam dan melibatkan berbagai elemen seperti akademisi, mahasiswa, tokoh masyarakat, dan masyarakat luas.

“Tanpa partisipasi yang luas, pemekaran daerah bisa beresiko tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat,” kata mahasiswa asal kampung Waa Banti, Distrik Tembagapura ini.

Isu DOB, sambungnya, seringkali muncul di media sosial oleh sekelompok orang yang mengklaim mewakili masyarakat, tanpa mengikuti proses yang transparan dan sesuai prosedur.

Hal itu dapat merugikan masyarakat dan melanggar ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengajuan DOB harus melalui beberapa tahapan yang jelas, mulai dari kajian kelayakan hingga sosialisasi dengan masyarakat. Ini bertujuan agar masyarakat benar-benar memahami manfaat dan resiko dari pemekaran tersebut.

“Kita harus menyadari keinginan untuk membentuk DOB seringkali berkaitan dengan kepentingan elit politik yang ingin mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah tersebut. DOB tidak selalu menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan belum tentu menjamin pembangunan infrastruktur yang lebih baik. Pemekaran daerah bisa memicu ketegangan dan konflik antar warga,” ucapnya.

Melian mengaku, yang dikuatirkan adalah potensi eksploitasi sumber daya alam yang dapat merugikan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang, seperti yang terjadi pada perlakuan PTFI terhadap masyarakat adat.

“Kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas utama dalam setiap keputusan terkait pembentukan DOB,” ujarnya.

Penulis: Acik

Editor: Jimmy