Penulis: Elfrida Natkime
Putri ketiga Silas Natkime, dan Cucu Tuarek Natkime
Mahasiswi Tingkat Akhir di Oregon State University, Oregon, USA, Jurusan Science Agriculture in Crop & Soil // Resilient Agroecosystems [Double Major]

SEBAGAI putri asli Amungme, saya merasa sangat bangga dan bersyukur dengan adanya Smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik, yang seperti Pak Tony Wenas sampaikan, merupakan smelter pertama dan terbesar di dunia dengan teknologi luar biasa. Saya pribadi merasa takjub atas pencapaian ini, dan ini tentunya menjadi kebanggaan bagi kita semua.

Namun sangat disayangkan dalam peresmian produksi Smelter Emas di Gresik dan dalam pencapaian sebesar ini tidak ada keterlibatan dari pihak Papua. Setidaknya, Bapak Gubernur Papua Tengah sebagai perwakilan kami Orang Asli Papua (OAP) atau minimal tokoh masyarakat Amungme seharusnya diundang. Sebab emas dan tembaga yang menjadi kebanggaan negara Indonesia ini berasal dari tanah dan gunung kami.

Sebagai masyarakat Papua, kami merasa bahwa dalam momentum bersejarah seperti ini, kami seharusnya turut dilibatkan. Pak Tony Wenas yang sudah lama bekerja di PTFI, sering tinggal di Tembagapura, dan sering berinteraksi dengan masyarakat asli, seharusnya memahami bagaimana perasaan kami. Jujur, kami merasa tidak dianggap. Kami hanya ingin diakui dan dihormati di tanah kami sendiri.

Sebagai Presiden Direktur, Pak Tony Wenas memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan perusahaan, tetapi juga menghormati masyarakat yang terdampak langsung oleh keberadaan PTFI. Rasa bangga yang seharusnya kami rasakan justru tergantikan oleh kekecewaan, karena tidak ada satu pun yang berusaha memperjuangkan integritas dan harga diri kami sebagai orang Papua dalam peresmian smelter ini. Padahal, smelter ini juga merupakan bukti nyata bahwa Papua adalah bagian dari NKRI.

Apapun alasan yang mungkin dikemukakan, tetap saja tidak mengubah kenyataan bahwa baik Pak Tony Wenas (PTFI) maupun Pak Menteri ESDM Bahlil Lahadalia (yang mewakili Pemerintah Pusat) telah mengabaikan kesempatan untuk menunjukkan penghargaan kepada kami.

Kami sering mendengar bagaimana Pak Menteri Bahlil membanggakan dirinya sebagai orang Papua yang lahir dan besar di tanah ini, berbicara tentang komitmennya untuk Papua. Namun dalam momen sepenting ini, kepedulian itu justru tidak terlihat. Jika benar beliau memahami hati, pikiran, dan budaya adat orang Papua, mengapa dalam langkah besar seperti ini kami tidak dilibatkan?

Saya teringat pesan dari Almarhum Bapa tua saya, Bapa Tua Anis Natkime: “Eralnegelme (Pemilik Uang) dan Buknegelme (Pemilik Tanah) harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.” Artinya, harus ada rasa memiliki dan rasa menghargai yang setara di atas tanah Amungsa ini.

Sungguh disayangkan, keputusan yang tidak bijak ini telah merusak nama baik dan hubungan baik yang selama ini coba dibangun antara PT Freeport Indonesia dengan kami masyarakat Amungme.

Kami berharap ke depannya ada penghargaan dan keterlibatan yang lebih besar bagi masyarakat Papua dalam setiap langkah besar yang terjadi di tanah kami sendiri.