SALAM PAPUA (TIMIKA) - Tina Komangal yang merupakan
perempuan asli suku Amungme asal kampung Waa Banti, Distrik Tembagapura,
Kabupaten Mimika, wilayah operasi PT Freeport Indonesia (PTFI), bercerita
bagaimana dirinya merajut masa depan di kawasan tambang PTFI dengan mengolah
tanaman pangan di atas lahan endapan tailing.
“Saya belajar banyak hal sejak menjadi mitra Freeport
Indonesia dan bersyukur meski tidak sekolah, saya dibimbing hingga bisa punya
usaha sendiri dan hasilnya bisa dinikmati bersama keluarga,” kata Tina yang
mengenakan kemeja batik dan bawahan hitam dibalut rompi dan helm sebagai Alat
Pelindung Diri (APD) saat mengawali ceritanya.
Untuk diketahui, di kawasan reklamasi tailing dan
percontohan ini, sebagian lahan endapan tailing telah diubah menjadi lahan
produktif melalui berbagai program reklamasi yang mencakup pertanian tanaman semusim,
hortikultur, tanaman perkebunan, peternakan sapi, kehutanan, dan budidaya
perikanan air tawar. Tailing merupakan pasir sisa dari hasil proses pengolahan
batuan bijih tambang di pabrik pengolahan PTFI. Tailing diendapkan dan dikelola
pada suatu daerah yang ditetapkan di area dataran rendah.
Tina merupakan salah satu dari sekian banyak warga Suku
Amungme yang sejak 2012 bekerja sebagai kontraktor di PTFI. Ia bersama delapan
karyawannya mengelola pertanian dan penghijauan. Tugasnya menanam dan merawat
tomat, cabe, kacang panjang, terong, pepaya, pisang dan buah-buahan lainnya.
“Meski lahan bercocok tanam ini pasir tailing, tapi sayuran
dan buah-buahan bisa tumbuh baik dan aman dikonsumsi,” ungkap perempuan 43
tahun ini di sela-sela kesibukannya memeriksa tanaman cabe yang terhampar di
kawasan MP-21, yakni Pusat Reklamasi dan Keanekaragaman Hayati yang dikelola PT
Freeport Indonesia (PTFI).
Dengan ramah Tina mengaku sebelum bergabung bersama PTFI,
dirinya menjadi Penerjemah Bahasa
Amungme di RS Banti.
“Dulu saya membantu orang-orang dari gunung yang mau berobat
ke rumah sakit. Mereka sulit berkomunikasi dengan petugas rumah sakit. Saya
yang membantu mereka cerita keluhan sakitnya ke petugas kesehatan,” kata Tina
yang mengaku dari profesinya ini belajar berbahasa Indonesia dengan baik.
Selama sembilan tahun ia menjadi juru Bahasa, Tina
memanfaatkan kesempatan emas setelah kemudian PTFI membuka pelatihan untuk calon
pengusaha dari tujuh suku di sekitar kawasan pertambangan.
“Di Freeport belajar mengelola keuangan, mendirikan usaha,
mengatur karyawan. Orang-orang Freeport sudah seperti guru saya, mendampingi
saya sampai bisa bekerja,” katanya dengan mata berkaca-kaca. Kini 12 tahun
berlalu sejak Tina bermitra dengan Freeport, berkat keuletan dan kerja
kerasnya, Tina berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga universitas, mampu
menyediakan rumah sehat untuk keluarga, dan mempunyai kendaraan sendiri. Itu
yang saya pikir tadinya hanya bisa didapatkan orang yang sekolah tinggi
(universitas), tapi ternyata saya bisa buktikan bahwa saya juga mampu,” katanya.
Selain Tina, ada juga pria asli suku Kamoro yang juga
mengaku taraf kehidupannya meningkat sejak bergabung sebagai mitra PTFI.
Pria asal suku Kamoro berusia 42 tahun ini adalah Frederikus
Okoare. Saat memulai melangkah mencari nafkah hidup, ia mengaku ragu oleh
minimnya pengalaman, tapi ia mulai berkembang saat mulai mengikuti pelatihan
demi pelatihan yang dilaksanakan PTFI.
“Dulu saat belum kerja, saya berpikir bagaimana bikin
legalitas usaha, lalu saya ikut pelatihan yang digelar oleh PTFI,” katanya.
Setelah mengikuti pelatihan yang panjang, Frederikus
mendapat pekerjaan sebagai kontraktor di bagian pengelolaan lingkungan PTFI.
Frederikus mulai bergabung sebagai mitra PTFI pada 2013 dan
kini telah memiliki 18 karyawan yang seluruhnya adalah putra Papua.
“Awalnya kami bertugas menanam pohon sagu, pohon cemara, dan
menanam mangrove,” katanya.
Seiring berjalannya waktu dan kemitraan yang terus
berlanjut, saat ini Frederikus dan timnya bertugas di Muara Ajkwa untuk
menyiapkan lahan endapan tailing menjadi kawasan mangrove yang baru.
Direktur & EVP Sustainable Development and Community
Relations PTFI, Claus Wamafma mengatakan, dalam menjalankan usaha pertambangan,
PTFI memperhatikan pengembangan masyarakat Amungme, Kamoro dan 5 suku kerabat
serta masyarakat Papua lainya.
“Masyarakat di sekitar area pertambangan adalah prioritas.
Berbagai upaya terus kami lakukan untuk memastikan mereka dapat terus bertumbuh
bersama PTFI, membangun ekonominya, meningkatkan kualitas hidupnya,” kata
Claus.
Dalam menjalankan bisnis, PTFI berkomitmen mewujudkan
praktik pertambangan yang baik, menjalankan investasi sosial dan lingkungan
yang berkelanjutan.
PTFI juga melakukan program-program pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat asli Amungme dan Kamoro serta lima suku kerabat yaitu Dani, Damal,
Mee, Moni dan Nduga dengan pola kemitraan bersama berbagai pihak, baik
pemerintah daerah, lembaga adat, yayasan, dan juga yang lainnya.
Penulis : Acik
Editor : Jimmy